Rindu Suara Nyaring Buya Syafii Maarif, kolom oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Ahmad Syafii Maarif, siapa yang tidak kenal dengannya. Tokoh Muhammadiyah dan tokoh nasional yang suaranya didengar banyak pihak.
Buya Syafii Maarif, biasa ia dipanggil, saat ini menjadi pribadi yang dekat dengan banyak pihak, termasuk dengan Jokowi, Presiden RI. Bahkan bisa dikatakan terlalu dekat.
Tidak ada yang salah seorang tokoh dekat pada kekuasaan. Terpenting ia tetap bisa menjaga integritasnya pada nilai-nilai kejujuran, seraya menempatkan diri semestinya.
Tentu kejujuran yang tidak semata dimaknai oleh materi. Tapi lebih luas dari itu, jujur menyuarakan keadilan dan persamaan di depan hukum, dan seterusnya.
Pantaslah jika ia didapuk sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Diharapkan dari pikirannya yang lurus akan dapat mewarnai lembaga itu.
Buya Syafii adalah pribadi yang kritis pada isu-isu yang menyangkut keagamaan dan kenegaraan, khususnya menyangkut keadilan dan kemanusiaan.
Jika ada pihak yang coba melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan itu punya potensi perpecahan, maka ia selalu hadir membelanya. Setidaknya itu yang bisa kita lihat darinya.
Publik lalu menjadi mafhum dengan sikapnya, dan itu terutama jika ada “penyerangan” pada rumah ibadah non-muslim (gereja), Buya Syafii akan murka menyikapinya.
Apa yang dilakukannya itu bisa jadi bagian dari panggilan agama yang diyakininya. Dan itu untuk meluruskan, bahwa Islam dalam peristiwa “penyerangan” itu bukanlah Islam yang sebenarnya.
Islam tidak mengajarkan ajaran kekerasan, jika tidak diserang. Perusakan rumah ibadah non muslim, itu perbuatan yang justru dilarang.
Makanya itu, Buya Syafii akan mudah memberikan pernyataan, bahkan pernyataan keras, jika ada pihak Muslim yang ditengarai melakukan perbuatan tidak terpuji itu.
Ditengarai itu mestinya dimaknai tidak semua kejadian yang terjadi pantas dilabelkan pada umat Islam atau seolah umat Islam yang melakukan. Tidak mustahil ada tangan-tangan jahat yang bekerja menyudutkan umat Islam.
Pernyataan sikap yang disampaikan Buya Syafii acap terkesan terburu-buru. Bahkan mendahului penyelidikan atas peristiwa itu sendiri. Bersikap seolah mampu menguak misteri pada sebuah peristiwa zonder didahului penyelidikan.
Lalu muncul narasi yang dipilihnya, bahwa itu perbuatan yang dipengaruhi oleh gerakan terorisme, Arabisme, dan semacamnya, yang bertujuan menghancurkan kebhinekaan.
Narasi yang dipilih Buya Syafii terbilang keras dan cenderung memojokkan kelompok Muslim, seakan itu pelaku sebenarnya. Seolah tidak ada motif lainnya dalam peristiwa itu. Lalu pembelaannya pada non muslim tampak berlebihan.
Beda Perlakuan Sikap
Cukup banyak pembelaan Buya Syafii, jika itu menyangkut gesekan muslim dan non-Muslim. Selalu ia menjadi pembela kesewenang-wenangan, setidaknya menurut versinya.
Bagaimana ia menyikapi Ahok, saat Muslim marah pada peristiwa al-Maidah yang dilecehkan.
Buya Syafii memilih menyikapinya dengan justru menyalahkan Muslim yang menghadapi Ahok dengan sikap berlebihan, menjadikan enerji bangsa terkuras.
Bukan pernyataan Ahok yang memantik persoalan, tapi justru dalam pandangannya, itu kegagalan muslim melahirkan pemimpin, tetapi tidak mau mengakui kegagalan yang ada.
“Saya tidak membela Ahok, yang saya prihatinkan, gara-gara Ahok enerji bangsa terkuras habis. Anda harus mampu membaca masalah bangsa ini secara jernih, tidak dengan emosi,” katanya.
Kegagalan Muslim melahirkan pemimpin itu satu soal, tapi perlakuan Ahok menista agama adalah soal lainnya. Mestinya melihatnya demikian. Bukan melempar pernyataan seraya mengaburkan persoalan.
Sedang pada peristiwa penyerangan jemaat di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, sikap Buya Syafii cukup keras.
Gereja itu memang dekat dengan kediamannya. Mendengar itu, ia langsung mendatangi melihat langsung dari lokasi peristiwa. Keluar pernyataan sikapnya di lokasi itu juga.
“Tindakan itu sudah biadab. Harus diusut tuntas. Saya kira dia tidak sendiri, ada temannya dan harus benar-benar diusut. Harus ditelusuri dicari betul siapapun orang ini, dan dalang di belakangnya,” tegasnya.
Itu peristiwa penyerangan seorang anak muda (23 tahun) pada jemaat yang tengah melakukan kebaktian minggu pagi. Penyerangan dengan pedang seorang diri, dan melukai tiga jemaat, termasuk seorang pastur, Pastur Prier. Dan juga melukai seorang polisi yang bertugas di sana.
Juga sikap Buya Syafii yang keras, saat terjadi bom di Surabaya. Itu tindakan bom bunuh diri, yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan, di tiga gereja Surabaya (13 Mei 2018).
“Bom gereja Surabaya ini bukan biadab lagi, tapi super biadab. Sangat di luar batas kemanusiaan, karena ada anak-anak yang jadi korban tewas… Jangan ada lagi yang membela mereka.”
Konsen Buya Syafii pada nilai kemanusiaan tampak penyikapannya dalam dua peristiwa yang menyangkut gereja; penyerangan jemaat di gereja St Lidwina, dan pengeboman gereja di Surabaya.
Pada hari yang sama, dan bahkan kesimpulan belum diambil pihak kepolisian, tapi Buya Syafii sudah menyikapinya dengan keras. Terkesan emosional sikapnya. Setiap peristiwa terkadang tidak berdiri sendiri. Sayang itu diabaikannya
Dalam dua pekan belakangan ini, ada peristiwa besar yang menyita perhatian publik, bahkan publik dunia. Itu menyangkut nilai kemanusiaan, di mana enam nyawa laskar FPI meregang nyawa oleh tembakan polisi.
Sayang sampai hari ini belum terdengar suara nyaring Buya Syafii untuk menyikapinya. Seperti beda perlakuan sikap. Bukankah enam nyawa anak muda yang mati itu, perlu mendapatkan perhatian atas nama kemanusiaan selayaknya?
Suara nyaring Buya Syafii, setidaknya dapat menyuarakan, bahwa peristiwa itu mesti dikuak dengan seadil-adilnya. Tidak perlu Buya Syafii sampai mesti keluarkan narasi “biadab” atau bahkan “super biadab” melihat peristiwa itu. Tidak perlu.
Cukuplah jika suara nyaring Buya Syafii itu disuarakan dengan meminta pada Presiden Jokowi agar membentuk tim independen pencari fakta atas kejadian itu. Hal yang sudah disuarakan banyak pihak akan perlunya tim itu, untuk menguak peristiwa yang terjadi.
Presiden Jokowi tampak enggan membentuk tim itu. Dan suara nyaring Buya Syafii, sebagai sohib dekat presiden, pastinya akan didengar dengan baik.
Suara nyaring Buya Syafii Maarif, sungguh dinanti, ingin didengar atas peristiwa terbunuhnya enam anak manusia pada peristiwa km 50 Jakarta-Cikampek.
Suara itu, sampai saat ini, masih senyap tidak terdengar, meski itu cuma suara parau sekalipun. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.