PWMU.CO – Kasman Singodimedjo dan 4 Model Politik Aktivis Muhammadiyah Era Orde Lama disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Poltik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Ma’mun Murod Al-Barbasy MSi.
Dia menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam Launching dan Diskusi Buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo Ke-116 Tahun dan Peresmian Aula Mr Kasman Singodimedjo Fisip UMJ, Selasa (22/12/2020).
“Pak Kasman itu kecintaannya luar biasa terhadap Islam politik. Jadi sampai-sampai sudah tidak masuk kepengurusan PPP masih jadi jurkam ke mana-mana,” ujarnya mengenang salah satu sejarah hidup Kasman Singodimedjo.
Berkaitan dengan sikap poltik Kasman itu, MMA—sapaan akrab Ma’mun Murod Al-Barbasy—kemudian menjelaskan relasi Muhammadiyah, setidaknya aktivis Muhammadiyah, di era Orde Lama.
“Dan ini saya kira bisa menjadi pencerminan untuk era saat ini,” ujarnya. Menurutnya setidaknya ada empat model gaya politik Muhammadiyah ketika berhadapan dengan rezim Orde Lama.
Pertama, model Mr Kasman Singodimedjo. Menurut MMA, Kasman berpolitik bukan untuk menjadi anggota DPR atau yang lainnya tetapi yang penting bagaimana bisa menyuarakan kepentingan Islam.
“Dia rela berhadapan dengan rezim Sukarno, dia rela berhadapan dengan dengan rezim Soeharto karena prinsip-prinsip politik yang dia pegang berdasarkan paham keagamaan yang dia miliki, tentu saja Muhammadiyah dan Islam. Cukup berintegritas. Cukup keras terhadap rezim,” terang Direktur Pusat Islam dan Pancasla (PSIP) FISIM UMJ yang menganggap Kasman sebagai “Aku banget.”
Kedua, model Jusuf Wibisono. Tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi Menteri Keuangan tahun 1951-1952 di era Kabinet Sukiman-Suwirjo yang dipimpin Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo. Juga pada tahun 1956-1957 pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dipimpin Ali Sanstroamidjojo.
“Dia tidak suka Sukarno, tapi dia tidak pernah mengkritisi Sukarno. Malah termasuk agak berseberangan dengan Pak Kasman. Karena Pak Kasman-nya galak sementara Jusuf Wibisono tak mau galak. Dia tidak pernah, bahasa kasarnya, menjilat-jilat Sukarno tapi juga tidak pernah menjelek-jelekkan Sukarno,” terang MMA.
Ketiga, model Muljadi Djojomartono. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat antara tahun 1960-1966.) Menteri Sosial antara tahun 1957 dan 1962. Dia pernah bersama Kasman di JIB (Jong Islamieten Bond) dan di Masyumi. Pernah pula menjadi anggota DPR mewakili Masyumi.
MMA menjelaskan, ketika Muhammadiyah keluar dari Masyumi dan Masyumi dibubarkan Sukarno, justru Muljadi diangkat Menteri Sosial oleh Sukarno tahun 1961-1966.
“Inilah yang sempat memunculkan perdebatan. Termasuk diserang oleh kelompoknya Hamka. Pak Kasman termasuk gak suka juga dengan gaya Muljadi ini,” ungkapnya.
Tapi, tegasnya, Muljadi bukan orang-orang yang menjilat-jilat Sukarno. “Ini yang harus dipahami. Dia dekat dengan penguasa tapi tak perlu juga menjilat-jilat. Sampai kemudian menjual, mungkin ya mohon maaf, menjual Muhammadiyah secara murah di hadapan penguasa misalnya. Pak Mulyadi bukan tipe itu,” terangnya.
Keempat, model Roeslan Abdulgani. MMA menjelaskan, Roeslan itu orang Muhammadiyah. “Ketika Kiai Dahlan kali pertama datang di Surabaya, setelah bertemu dengan Kiai Mas Mansur di Yogya, kemudian diundang ke Surabaya, termasuk Pak Ruslan yang datang di pengajian Kiai Dahlan itu,” papar dia.
Tapi, sambungnya, Roeslan Abdulgani menjadi tokoh PNI yang luar biasa. Bahkan disebut tokoh tiga zaman. Yaitu era Demokrasi Liberal Sukarno, Demokrasi Terpimpin Sukarno, dan Suharto.
“Pada perkembangannya Cak Ruslan kemudian agak menjauh dari Muhammadiyah padahal dia itu tokoh Muhammadiyah,” ujarnya.
Teladan Tak Menjilat Kekuasaan
MMA mengatakan, dari semua model itu—baik yang dekat dengan pemerintah maupun yang jauh dari pemerintah—prinsipnya mereka bukan tipe-tipe penjilat.
“Ini yang perlu saya tegaskan di sini. Jadi silakan kalau misalnya dalam perkembangan sekarang ini dan mungkin juga banyak temen-temen di Muhammadiyah yang ingin dekat dengan kekuasaan dan lain sebagainya, ya monggo saja,” ujarnya.
Tapi harapan saya, tambahnya, tidak usahlah membawa-bawa nama Muhammadiyah untuk harga yang terlalu murah. “Kita punya keteladanan, setidaknya dari empat model relasi Muhammadiyah dan politik.”
Selain MMA, pembicara lain dalam diskusi yang digelar secara luring dan daring melalui Zoom Clouds Meetings itu adalah Drs Lukman Hakiem (pemerhati sejarah dan politik Islam) dan Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA (dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Dalam acara tersebut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi menjadi pembicara kunci dari Yogyakarta. Sebelumnya Wakil Ketua MPR RI Dr (HC) H Zulkifli Hasan MM juga memberikan sambutan, Dilanjutkan oleh Prof Dr dr Dewi Nurul Mustaqimah SPerio (K) Ms (putri bungsu Kasman Singodimedjo) dan Rektor UMJ Prof Dr Syaiful Bakhri SH MH (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.