PWMU.CO– Hari Ibu yang diperingati tiap 22 Desember mengambil peristiwa bersejarah Kongres Perempuan I di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Di antara anggota panitia kongres ini adalah pimpinan Aisyiyah yaitu Siti Munjiyah dan Siti Hayinah.
Siti Munjiyah, anak keenam dari delapan bersaudara dari Raden Kaji Lurah Hasyim. Dia bersaudara dengan KH Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, dan Siti Umniyah. Nama terakhir ini dikenal pendiri Nasyiatul Aisyiah. Mereka hidup di lingkungan kampung Kauman Yogyakarta dan mengaji kepada KH Ahmad Dahlan.
Siti Munjiyah lulusan Madrasah Mualimat Muhammadiyah. Pandai qiroah dan hafal ayat al-Quran. Karena itu sering dikirim Aisyiyah untuk ceramah di pengajian Wanita Taman Siswa, Wanito Utomo, Jong Java, dan lainnya. Dia jika ceramah di lingkungan Aisyiyah menggunakan bahasa Jawa. Di organisasi lain memakai bahasa Melayu.
Suratmin dalam Biografi Tokoh Kongres Perempuan Pertama, menerangkan, dalam Kongres Perempuan tahun 1928, Siti Munjiyah menjadi wakil ketua komite kongres. Ketuanya RA Sukonto. Munjiyah dalam acara itu berpidato mewakili Aisyiyah di urutan kedua.
Pidatonya berjudul Derajat Perempuan. Dia mengatakan, pertemuan perempuan seperti ini juga merupakan agenda Aisyiyah. Bersyukur cita-cita yang telah lama dipikirkan itu dapat terwujud. ”Semoga gerakan yang diselenggarakan hari ini terus dipelihara untuk menambah usahanya, dan harus sanggup memberantas dan menghadapi segala rintangan. Kaum perempuan dapat dipertinggi derajatnya yaitu dengan jalan menepati segala sesuatu kewajiban yang bertalian dengan kaum perempuan.”
Dia mengingatkan kepada peserta kongres, setiap cita-cita yang tinggi dan mulia hanya mungkin dapat dicapai dengan bekerja keras, penuh kesabaran dan tawakal. Untuk mencapai tujuan tersebut ada yang perlu mendapat perhatian beberapa hal yaitu mengekalkan barisan persaudaran dengan kokoh, karena setan telah berusaha kuat mencegah persatuan yang kokoh itu.
Mengatasi segala hambatan itu, dia menyarankan, rajin mencari pengalaman dengan tidak memilih-milih ilmu pengetahuan dan memperluas pemandangan, bekerja dengan penuh kesabaran yang berarti tidak jemu-jemunya melakukan sesuatu dengan cerdik dan berhati-hati.
Perdebatan Panas
Peminat sejarah, Muarif, dalam tulisannya menuturkan, tema yang cukup menonjol dan sempat menjadi perdebatan panas ketika Munjiyah menyampaikan pandangan agama Islam terhadap hak-hak perkawinan. Suasana perdebatan itu dimuat Soeara Moehammadijah no. 5 dan 6 Th. XI/Agustus 1929.
Nyonya Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial yang turut menyaksikan jalannya kongres melukiskan suasana ketika Munjiyah berpidato. Siti Sundari, utusan Poetri Indonesia, menginterupsi kongres dan menuduh Munjiyah sebagai pendukung standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki.
Selain peran Siti Munjiyah sebagai wakil ketua kongres, utusan Hoofdbestuur (HB) Aisyiyah yang menjadi panitia adalah Siti Hayinah. Hayinah menyampaikan pidato dengan tema Persatuan Manusia.
Hayinah aktivis perempuan lahir di Yogyakarta tahun 1906. Ayahnya Haji Mohammad Narju. Dia anak perempuan dari tiga bersaudara juga tinggal di Kauman.
Umur 19 tahun sudah menjabat sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiyah. Dia berperan mengendalikan organisasi dan dakwah. Dia juga Pemimpin Redaksi Soeara Aisjiah.
Kota Pergerakan
Kongres Perempuan diselenggarakan oleh panitia terdiri dari RA Soekonto dan Ismoediati (Wanita Oetomo), Siti Munjiyah dan Siti Hayinah (Aisyiyah), Soenarjati, Soejatin (Poetri Indonesia), Siti Soekaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyai Hajar Dewantara (Taman Siswa), RA Harjadiningrat (Wanito Katholik), dan Moerjati (Jong Java).
Peserta kongres tampak didominasi dari Aisyiyah dan Siswa Praja Wanita (SPW), yang kelak berubah nama menjadi Nasyi’atul Aisyiyah. Kelompok Aisyiyah dan juniornya ini memeriahkan kongres dengan memakai kerudung putih. Remaja SPW mengisi acara dengan menyanyi dan pentas teater.
Muarif dalam tulisannya mengutip pendapat Susan Blackburn, peneliti Monash University, Melbourne, yang meramesi kenapa kongres sejarah Hari Ibu ini memilih kota Yogyakarta sebagai tempatnya. Alasannya, tokoh-tokoh inisiatornya adalah warga Yogya yang aktif di organisasi perempuan.
Selain itu Kongres Perempuan ini digelar dua bulan setelah Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Batavia sehingga semangatnya masih berkesinambungan. Sejumlah organisasi lahir di Yogyakarta, seperti Mardi Kiswa (1900), Muhammadiyah (1912), Taman Siswa (1922), Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Arbeidsleger (Tentara Buruh) Adi-Dharma, Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (PPPB), dan lain-lain.
Organisasi seperti Boedi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), Inlandsche Journalisten Bond (IJB) pun tumbuh pesat juga di Yogya. Bahkan kantor pimpinan SI pernah dipindah ke kota ini.
Faktor dinamika organisasi-organisasi pergerakan ini yang mendorong mengadakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta yang kemudian dikekalkan sebagai Hari Ibu. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto