Sandiaga Uno, Menuju Nasional Monolitik Sistem, kolom oleh Ady Amar pengamat sosial politik dan Editor Buku Sandiaga yang Terus Berlari.
PWMU.CO – Seorang aktivis emak-emak semalam mengirim pesan. Nadanya penuh kecewa. Begini yang dia ungkap, “Sebenarnya untuk apa ya, kita 2019 lalu harus cape-cape membela sesuatu yang tidak jelas?”
Kekecewaan yang muncul saat pengumuman “kabinet revisi” oleh Presiden Jokowi-Ma’ruf, itu muncul nama Sandiaga Uno, bagian yang dapat jatah duduk di Kabinet Indonesia Maju jilid dua.
Setelah di awal pembentukan Kabinet Indonesia Maju, beliau menolak dengan alasan menyangkut etis atau moral. Tidak mungkin ia bergabung di dalam kabinet. Jika harus membantu presiden Jokowi, ia akan membantu dari luar saja. Itu yang disampaikannya pada banyak kesempatan.
Sandi, biasa ia dipanggil, tampak tahu apa itu integritas dan ingin menjaganya dengan baik. Ia tentu tidak ingin menyakiti para pendukungnya saat Pilpres 2019 yang lalu. Setelah pasangannya sebagai calon presiden Prabowo Subianto sudah terlebih dulu terkena bius rayuan, lalu didapuk menjadi Menteri Pertahanan (Menhan).
Baru kali ini, mereka yang kalah dalam kontestasi Pilpres, lalu melebur dalam kabinet yang dibentuk presiden terpilih. Jokowi memang piawai membagi-bagi jatah pada rival calon presiden (Prabowo) yang dikalahkannya.
Menjadi sempurna jika rival Cawapres Sandiaga Uno pun mampu ditaklukkan dalam rayuan,larut ikut bergabung membantunya. Dan itu terjadi sore Selasa (22-12-2020) kemarin.
Tentu Sandi punya hitungan-hitungannya sendiri manis-pahitnya bergabung. Atau tetap membantu presiden dari luar: main dua kaki agar enak di sini dan enak di sana.
Lalu pilihan yang diambilnya enak di sini, meski lalu dalil-dalil klasik bisa diungkapkannya, bahwa membantu bekerja dari dalam akan jauh lebih efektif. Kontribusinya akan lebih tampak. Inkonsistensi sikap? Tentu tidak. Itu lebih pada pragmatisme.
Alasan apa saja bisa diungkap, tapi pragmatisme melihat persoalan mampu mengalahkan apa pun lalu jadi kenyataan. Prabowo dan disusul Sandi, adalah kisah pragmatisme itu dibangun.
Tidak ada yang salah dari pilihan yang diambilnya, meski itu tampak tidak etis, atau setidaknya di luar kebiasaan, bagaimana kandidat yang kalah lalu dirangkul sebagai pembantu dalam kabinet yang dibentuknya.
Rangkulan Massal
Pantaslah politisi Nasdem Irma Chaniago tampak kesal melihat dirangkulnya Sandi. Katanya, “Untuk apa ya ada pilpres yang lalu itu?”
Irma yang kerap disebut dung* oleh filsuf Rocky Gerung, kali ini menggunakan nalarnya secara sempurna. Irma menunjukkan keterkejutan, lalu terekspresi dalam kalimat penuh sesal. Irma tampak pakai nalar saat nalar sedang tidak dibutuhkan.
Bareng-bareng garap negeri, bisa jadi yang diharapkan pemerintahan Jokowi. Maka rangkulan massal akan terus dilakukan. Tidak dibuka ruang oposisi walau selubang jarum.
Semua mesti masuk dalam barisan, agar semuanya terkontrol dengan baik. Sekali tombol dipencet, maka semua lalu bergerak bagai mesin terprogram.
Ini bisa disebut konsep menasionalkan sistem monolitik. Semua disatukan dalam bingkai nasional. Maka persepsi mesti sama, tidak boleh ada yang berbeda.
Prabowo dan apalagi Sandi, yang dijatah sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, tidaklah bisa berharap banyak dengan misi-misi besarnya, saat yang lalu disampaikan dalam kampanye Pilpres.
Pragmatisme Prabowo-Sandi adalah khas politisi kita. Jangan bicara etis-tidak etis dalam pandangannya. Meski tetap kita hormati pilihannya.
Bagaimana dengan kelompok yang masih bertahan di luar monolitic system, maka nasibnya sudah diperlihatkan dengan contoh-contoh yang sudah dibuat: Syahganda cs dan Habib Rizieq Shihab.
Tapi jangan kecilkan kelompok di luar sistem itu, karena ia hadir dengan segenap jiwa raga plus Tuhan selalu menjadi sandaran kekuatannya. Lalu semua dilihatnya sebagai biasa-biasa saja. Agak tidak ilmiah memang, tapi mana ada kekuatan supranatural bisa dijelaskan dengan detail. Itu iman yang bicara, Bro! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.