PWMU.CO– Reshuffle Kabinet Presiden Joko Widodo, Rabu (23/12/2020), makin menguatkan jargon bahwa dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.
Masuknya Sandiaga Salahudin Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melengkapi keberadaan Prabowo Subianto dalam Kabinet Indonesia bersatu. Reshuffle kali ini meniadakan rivalitas politik dalam kekuasaan. Oposisi tinggallah orang-orang yang tak puas demonstrasi di jalanan.
Prabowo-Sandi yang menerima ajakan Jokowi menjadi menterinya di Kabinet Indonesia Maju menunjukkan elite politik tidak mempunyai prinsip ideal yang diperjuangkan. Mereka hanya ingin kekuasaan yang dibalut dengan jargon demi kepentingan persatuan bangsa.
Perjuangan partai politik antara dua kubu koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga dalam Pemilihan Presiden 2019 lalu seperti percuma. Padahal rakyat terbelah. Para politisi sudah berkampanye berbusa-busa, mencaci maki. Bahkan di kalangan massa terjadi gontokan akhirnya menjadi korban piramida kekuasaan politik semata.
Lelucon Elite
Menanggapi reshuffle ini, Profesor Vedi Hadiz dari Universitas Melbourne Australia mengatakan, masuknya Sandiaga, dan sebelumnya Prabowo Subianto, ke jajaran kabinet Indonesia Maju menunjukkan sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip di antara kedua pasangan yang bersaing dalam Pilpres 2019 lalu.
”Ini menunjukkan bahwa masyarakat yang telah sedemikian terpolarisasi ketika Pemilu kemarin itu, sampai gontok-gontokan, ternyata hanya menjadi lelucon di kalangan elite, karena dengan mudah rupanya mereka bisa berekonsiliasi apabila kepentingan mereka bertemu,” kata Profesor Vedi kepada abcnews.
”Sebetulnya tidak ada yang prinsip yang membedakan mereka. Itu hanya soal akses dan kontrol kepada kekuasaan dan sumber daya saja yang menjadi masalah,” tambah Vedi Hadiz yang guru besar studi Asia dan Direktur Asia Institute.
Menurut dia, mereka bersatu sekarang bukan berarti mereka tidak akan bercerai-berai di tahun 2024. Aliansi-aliansi ini sifatnya transaksional. Jadi nanti 2024 ya (mereka) akan melihat lagi, kawan jadi lawan kemudian jadi kawan lagi. Biasa ini.
”Inilah format politik Indonesia. Nggak ada perbedaan prinsipil antara para protagonis itu, tapi rakyat kadang-kadang berpikir ada,” tutur Vedi yang pernah mengajar di UI dan Universitas Nasional Singapura.
Selain itu, kabinet ini juga mengkonfirmasi adanya politik oligarki di Indonesia, yakni struktur pemerintahan yang kekuasaannya berpusat hanya pada sekelompok orang.
Profesor Vedi menilai, kekuatan yang mendominasi politik Indonesia adalah representasi dari pertemuan antara kekuatan politik birokratis dan ekonomi yang sebenarnya hubungannya telah terstrukturkan sejak zaman Orde Baru.
”Dan di zaman Reformasi ini ternyata fusi kepentingan ini dalam bentuk kekuatan oligarkis masih bertahan,” ujar Vedi yang juga pernah mengajar di almamaternya Murdoch University.
”Orang-orangnya sih bisa datang dan pergi, … tapi pada dasarnya mereka merupakan perpanjangan tangan dari struktur relasi kekuasaan yang telah terbentuk sejak Orde Baru dan bisa dilestarikan pada zaman demokrasi ini. Karena (para oligark) itu ternyata bisa mendominasi partai politik, parlemen, ormas, media, dan sebagainya,” tutur Vedi.
Kepentingan Jangka Pendek
Meski tidak menampik bahwa ada berbagai pihak yang sudah memasang kuda-kuda dan bermain catur untuk Pilpres 2024, Profesor Vedi menilai yang dilakukan Jokowi dalam mengganti beberapa menterinya adalah upaya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek lebih dulu.
”Untuk merangkul segala sumber oposisi setidaknya untuk jangka pendek sehingga tidak ada rintangan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan apapun yang ingin diajukan oleh pemerintahan Jokowi ini,” kata penulis di Jurnal Prisma LP3ES ini.
Vedi mengingatkan, saat ini hanya ada dua partai politik yang tidak tergabung dalam koalisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
”Dua partai politik ini, di dalam sistem yang seperti ini, praktis seperti berada di dalam hutan belantara, karena tidak mempunyai dampak apa-apa dalam pertarungan politik di tingkat parlemen,” tandasnya.
Jadi, sambung dia, kita lihat juga apakah nanti mereka akan bermain secara ekstra-parlementer. Dia mengingatkan pada hubungan yang terjalin antara PKS dan FPI pada tahun 2016 dan 2017 sebagai oposisi terhadap pemerintah.
Menanggapi reshuffle kabinet secara umum, Vedi Hadiz mengatakan ada semacam keinginan untuk memasukkan apa yang dianggap oleh Jokowi sebagai kebaikan dari pola-pola organisatoris dan manajemen dari dunia usaha.
”Ini di banyak bidang, sampai di bidang kesehatan, misalnya. Kemudian kita juga lihat, sekarang praktis dalam kabinet ada geng pengusaha HIPMI, Erick Tohir, Sandiaga Uno, dan M Lutfi, yang meskipun mereka terhubung ke partai atau tokoh politik, tapi sebenarnya hubungan bisnis antara mereka sudah dari dulu,” katanya. (*)
Editor Sugeng Purwanto