Risiko Penolakan Abdul Mu’ti Jadi Wakil Menteri oleh Tony Rosyid, pengamat politik dan pemerhati bangsa
PWMU.CO-Siapa yang tidak suka jabatan? Dalam jabatan ada identitas dan status. Dalam jabatan ada curriculum vitae. Ini akan jadi catatan sejarah.
Dalam jabatan, ada kehormatan sosial. Dalam jabatan ada akses kekuasaan. Dalam jabatan ada kebanggaan untuk mengangkat nama besar keluarga. Dan dalam jabatan juga ada kesejahteraan.
Kata McClelland, ada tiga kebutuhan manusia. Need for achievement, kebutuhan akan prestasi. Need for affiliation, kebutuhan akan kasih sayang. Dan need for power, kebutuhan untuk berkuasa.
Salah satu kebutuhan alami manusia adalah kekuasaan. Makin tinggi jabatan seseorang, makin tinggi akses kekuasaan yang dimiliki. Di situ kesejahteraan dan sejenisnya bisa diakses.
Di saat banyak orang berebut jabatan, Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini menolak ditawari jadi salah satu wakil menteri. ”Gak mampu,” katanya.
Tentu, publik gak percaya alasan itu. Alasan yang dibuat-buat untuk meredam kegaduhan. Supaya yang memberi tawaran gak tersinggung.
Sosok Mu’ti adalah seorang guru besar. Aktivis dan lama berkarier di organisasi besar, yaitu Muhammadiyah. Orang tahu, Muhammadiyah cukup rapi dan disiplin pola perkaderannya.
Muhammadiyah melahirkan sosok Hamka yang tegas. Sekarang ada Anwar Abbas, mantan Sekjen MUI dan Abdul Mu’ti, Sekum PP Muhammadiyah. Dua sosok yang sangat tegas dan lugas.
NU masa lalu juga melahirkan ulama tegas seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Lalu Gus Dur yang karena berpegang pada prinsip dan ketegasannya rela meninggalkan istana dan melepaskan jabatannya sebagai presiden. Sosok-sosok tegas seperti ini sudah mulai langka kita temui hari ini.
Sosok Berintegritas
Kembali ke Mu’ti. Ia adalah Sekum PP Muhammadiyah. Posisi sebagai Sekum hanya akan diberikan kepada sosok yang matang, mampu menggerakkan organisasi, administrator, jago lobi, dan piawai dalam berkomunikasi. Mu’ti punya semua itu. Jadi gak mungkin gak mampu untuk menjadi sekadar wakil menteri.
Ketua PP GP Ansor bisa jadi menteri, masak Sekum PP Muhammadiyah gak mampu jadi wakil menteri. Gak mungkin!
Sedikit banyak saya tahu sosok Mu’ti. Kebetulan dia kakak kelas saya di salah satu universitas negeri di Semarang. Sama-sama lanjut pascasarjana di universitas negeri yang sama di Jakarta. Mu’ti adalah sosok berintegritas dan punya kapasitas.
Tidak hanya jadi wakil menteri, jadi menteri pun Mu’ti mampu. Dalam hal ini, pasti ada alasan lain mengapa ia menolak jabatan yang diberikan oleh Jokowi.
Boleh jadi karena negara sedang berjalan ke arah yang salah, sehingga menjadi alasan bagi Mu’ti gak ikut di kapal yang berisiko tinggi untuk tenggelam. Sementara ia anak muda yang cemerlang, dan masih panjang kesempatan kariernya untuk mengabdi kepada umat dan bangsa di masa depan.
Risiko Penolakan
Soal alasan yang sebenarnya, hanya Mu’ti dan Tuhan yang tahu persis mengapa ia menolak permintaan presiden itu. Ketegasan sikap Mu’ti bukan tanpa risiko. Siapapun yang menolak bergabung dengan penguasa, seringkali dianggap oposisi. Bahkan tak jarang diposisikan sebagai lawan. Malah ada yang risiko dipolisikan.
Mu’ti seorang pemberani. Tegas dalam mengambil keputusan dan menjaga prinsipnya. Sikap dan ketegasan ini layak diapresiasi. Jabatan yang umumnya menjadi lahan rebutan bagi partai, ormas, timses, donatur, kolega dan keluarga penguasa, dengan tegas ditolaknya.
Sikap Mu’ti perlu jadi referensi. Pertama, tak boleh berebut jabatan sehingga peluang orang-orang profesional dan berkemampuan yang ingin mengabdi kepada bangsa dan negara jadi sempit. Kedua, jangan terima jabatan jika merasa situasi tak kondusif untuk produktif.
Ketiga, jangan ambil jabatan jika tak betul-betul yakin bisa membenahi. Keempat, siap menghadapi segala bentuk risiko ketika Anda menolak jabatan. Risiko usaha bagi pengusaha, risiko politik bagi politisi, dan bahkan risiko penjara bagi aktivis.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, dua imam madzhab yang sangat populer bagi umat muslim di Indonesia seringkali dijadikan rujukan ideal bagi mereka yang berani menolak jabatan. Mungkin Mu’ti mengikuti jejak kedua imam ini. (*)
Jakarta, 25 Desember 2020
Editor Sugeng Purwanto