Saweran pun Diundat: Sandiaga dan Serangan Emak-Emak Militan oleh Ady Amar, pemerhati budaya.
PWMU.CO-Twitter Sandiaga Salahuddin Uno, dalam beberapa hari ini diserbu netizen, terutama emak-emak. Tepatnya setelah Sandi, biasa ia dipanggil, bergabung dalam kabinet Indonesia Maju.
Serbuan emak-emak itu, serbuan tidak biasa. Serbuan kekecewaan tingkat dewa. Lalu mengundat-undat uang saweran yang pernah diberikan.
Emak-emak militan itu tidak malu-malu meminta kembali saweran yang pernah diberikan, saat masa kampanye Pilpres 2019 yang lalu.
Tentu meminta kembali, itu sekadar bahasa simbol dari kekecewaan saja. Tidak ditafsir saweran yang diberikan itu mesti dipulangkan kembali. Nilai saweran itu meski kecil nominalnya, terutama bagi Sandi yang tajir melintir, tapi tinggi nilai moralnya. Nilai saweran itu besar maknanya, itu bagian dari rakyat membersamainya, terutama para emak-emak. Mustahil bisa dinilai dengan nominal.
Maka, kemarahan atau lebih tepat kekecewaan emak-emak itu adalah hal wajar. Bagaimana tidak, karena Sandi sudah mengutarakan bahwa ia akan berada di barisan oposisi lima tahun ke depan. Tapi janji tinggal janji.
Prabowo Beda dengan Sandi
Saat Prabowo dicomot Pak Jokowi sebagai pembantunya, sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Indonesia Maju, banyak yang ngece, menertawakan langkahnya itu. Lalu muncul pembenar dari mereka yang tadinya mengidolakannya, lalu ikut-ikutan menyebutnya dengan Jenderal Kardus.
Kekecewaan pada Prabowo tentu ada, bukan tidak ada. Tapi tidak sampai mengundat-undat saweran segala. Tampak biasa saja. Seperti hilang Prabowo tidak menjadi sesuatu.
Ya, Prabowo tidak menjadi sesuatu buat banyak pemilihnya. Memilihnya saat Pilpres lebih pada karena tidak ingin memilih Pak Jokowi untuk menjadi presiden kedua kalinya. Tidak ada pilihan lainnya.
Terutama pemilih muslim tingkat perkotaan dan kalangan terdidik, memilih Prabowo itu lebih pada keterpaksaan. Lalu hanya berharap pada calon wakil presidennya, Sandi.
Maka Sandi yang tampil milineal, meski usia tidak mudah lagi, cakep dan menarik, enak dipandang (good looking), dan dikesankan saleh, lalu jadi harapan untuk dipilih.
Itulah Sandi effect, dan lalu dengan sendirinya mengangkat pula tingkat elektabilitas Prabowo untuk dipilih. Memilih Sandi, itu otomatis memilih Prabowo.
Karenanya, saat Prabowo memilih membantu Jokowi, tidaklah sampai membuat kekecewaan berarti. Malah di samping caci maki, tidak sedikit yang lalu memakai sandaran agama atas ketidakterpilihannya menjadi presiden.
”Allah Mahatahu akan makhluknya, dan karenanya Allah tidak memenangkan Prabowo untuk memimpin negeri ini.” Lebih kurang demikian ungkapan yang bersandar pada Tuhan, itu jadi andalan untuk menghibur diri para pemilihnya.
Partai Emak-emak
Tapi itu tidak pada Sandi, yang setahun kemudian lalu mengikuti jejak Prabowo. Masuk dan bergabung dengan Pak Jokowi, sebagai pembantunya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Karenanya, kekecewaan pada Sandi tentu beda dengan kekecewaan pada Prabowo. Sandi memang masih diharapkan, khususnya ”Partai Emak-emak” untuk tampil kembali dalam kontestasi 2024.
Tapi sebagai politisi yang pengusaha, tentu Sandi punya hitungan-hitungannya sendiri. Ia lebih memilih sebagai pembantu Jokowi, ketimbang harus menunggu 2024, yang dinamika politiknya sulit dianalisa dengan baik.
Politisi, bisa dikatakan, memang makhluk yang sulit dipegang janji dan kata-katanya. Ingin membersamai rakyat yang memilihnya dalam lima tahun ke depan, tapi tiba-tiba berbelok di tikungan menanggalkan janji-janjinya.
Sandi pun sudah memberikan klarifikasinya mengapa ia harus bergabung dalam kabinet Jokowi. Alasan sudah disampaikan. Bahkan sudah shalat minta petunjuk (istikharah) segala. Untuk itu ia lalu mantap membantu Jokowi.
Entah setahun lalu, saat memutuskan menjadi oposisi untuk lima tahun ke depan, apakah Sandi memutuskannya dengan istikharah pula. Cuma Sandi dan Tuhan yang tahu. Soal ini tidaklah perlu untuk repot-repot diklarifikasi segala. Tidak penting, kok! (*)
Editor Sugeng Purwanto