NKRI Harga Mati, Katanya oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah di Lamongan.
PWMU.CO– NKRI Harga Mati sering diteriakkan politikus dan pejabat negeri ini. Padahal menelisik sejarahnya bentuk negara ini berubah-ubah mengikuti dinamika politik dan permainan para politikusnya.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, kemudian ditandatangani piagam pengakuan kedaulatan dari kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, maka Republik Indonesia bubar. Berdiri negara Republik Indonesia Serikat (RIS), 71 tahun yang lalu.
Negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta hanya menjadi satu negara bagian di antara 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom lainnya. RIS beribukota di Jakarta. Dari peristiwa ini sebenarnya pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945.
KMB berlangsung 23 Agustus 1949 sampai 29 Oktober 1949. Pesertanya terdiri utusan Republik Indonesia, Belanda dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yang terdiri utusan negara bagian.
Delegasi Indonesia dipimpin Bung Hatta didampingi tokoh nasionalis seperti Moh. Roem, Mr Supomo, Ali Sastroamijojo, Djuanda, Sukiman, Sumitro Djojohadikusumo, Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel TB Simatupang. BFO antara lain Sultan Hamid II, Anak Agung Gde Agung, dan delegasi Belanda dipimpin Johannes Henricus van Maarseveen.
KMB menghasilkan keputusan pengakuan kedaulatan negara RIS, utang pemerintah kolonial Belanda sebesar 4,3 miliar gulden ditanggung RIS, dan penyerahan wilayah Irian Barat dibahas kemudian. Keputusan ini harus diterima sebagai harga mendapat pengakuan kedaulatan dari bekas penjajahnya.
Mosi Integral Natsir
Tokoh partai Masyumi Mohammad Natsir yang menjadi perdana menteri kemudian mengajukan Mosi Integral kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945.
Mosi ini diterima semua negara bagian secara aklamasi sehingga membatalkan negara federal bentukan Belanda. Perdana Menteri Natsir mampu meyakinkan sejumlah negara bagian menjadi provinsi.
Akhirnya RIS bubar dan berdiri lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Presiden RI Mr Asaat menyerahkan jabatannya kepada Sukarno yang sebelumnya menjabat Presiden RIS berlangsung tanpa konflik. Sebuah teladan kepemimpinan para pendiri bangsa yang dengan santainya bertukar posisi demi keutuhan Indonesia.
Negara baru ini menyusun UUD Sementara 1950 dengan memilih pemerintahan parlementer. Hingga terlaksananya pemilihan umum pertama 1955 yang memilih anggota DPR dan Konstituante untuk menyusun UUD.
Proposal Juanda
Namun negara baru ini perkembangan politiknya semakin otoriter di bawah rezim Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom. Situasi ini membuat Bung Hatta memilih meletakkan jabatan sebagai wakil presiden pada Desember 1956.
Tahun 1957 terpilih Ir Juanda sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, didampingi KH Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri dari Partai NU. PM Juanda mengajukan proposal kesatuan wilayah Indonesia termasuk laut pada PBB tanggal 13 Desember 1957.
Proposal Juanda kemudian dikenal sebagai Deklarasi Juanda menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan di mana laut-laut sebagai penghubung antar pulau-pulau bukan sebagai pemisah. Pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid tanggal 13 Desember ditetapkan sebagai Hari Nusantara.
Masalah Irian Barat yang menggantung sejak Konferensi Meja Bundar 1949 dituntaskan pada tahun 1963 setelah melalui perjuangan panjang Operasi Mandala, Trikora dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
NKRI Bukan Harga Mati
Sejumlah rangkaian peristiwa sejak 17 Agustus 1945 menunjukkan bahwa NKRI bukan harga mati, melainkan harga diri yang harus dibela dan dipertahankan dengan segenap kekuatan fisik dan intelektual.
Keberhasilan era Presiden Suharto memasukkan wilayah Timor Timur pada tahun 1976 kemudian lepas pada masa Presiden Habibie tahun 1999 menunjukkan NKRI menghadapi banyak ancaman, tantangan dan gangguan kapan pun.
Demikian juga lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada masa Presiden Megawati yang dimenangkan Malaysia. Realita ini menunjukkan NKRI bukanlah harga mati yang paten seperti benda mati yang bentuknya tetap.
Peristiwa deklarasi kemerdekaan Negara Papua Barat oleh kelompok Benny Wenda meskipun dilakukan secara virtual di Twitter pada 1 Desember 2020 lalu menunjukkan banyak pihak yang sepertinya tidak mengakui jika NKRI harga mati.
Negara bubar bukan isapan jempol. Contohnya sudah ada. Uni Sovyet tahun 1990, Yugoslavia 1991. Sebelumnya Kesultanan Turki Utsmaniyah 1924, Andalusia 1492.
Di era Sukarno-Hatta, Juanda, dan Presiden Suharto wilayah Indonesia bisa bertambah Irian Barat, lautan, dan Timor Timur. Tapi sejak Reformasi 1998 wilayah Indonesia berkurang seperti lepasnya Timor Timur, Pulau Sipadan dan Ligitan.
Jargon NKRI Harga Mati tidak ada artinya kalau sekedar diteriakkan. Tapi perilaku pejabatnya korup dan tak pandai berdiplomasi. Indonesia awalnya cuma imajinasi di kalangan aktivis pergerakan. Akhirnya menjadi fakta yang mewujud. Itu diperoleh dengan kecerdasan dan pengorbanan jiwa serta harta.
Kalau sekarang politikusnya hanya rebutan jabatan, korupsi, dan otoriter untuk melanggengkan kekuasaan, bisakah Indonesia bertahan mencapai usia 100 tahun pada 2045?
Tidak hanya jargon NKRI Harga Mati, tapi membiarkan NKRI digerogoti korupsi, kolusi, nepotisme, pembunuhan terhadap rakyat, manipulasi demokrasi, dan sumber daya alam.
Muhammadiyah punya konsep Darul Ahdi wa Syahadah untuk membangun negeri ini. Umurnya sudah melampaui 108 tahun. Melihat para politikus yang berebut kekuasaan dan bermain dengan pengusaha menguasai kekayaan semoga saja NKRI bisa berumur panjang. (*)
Editor Sugeng Purwanto