Indikator Pemerintah Kuat Bukan Bubarkan Ormas oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jatim.
PWMU.CO– Indikator pemerintah yang kuat itu bukan dihitung dari jumlah pengeritik yang bisa dipenjarakan, atau jumlah Ormas yang bisa dibubarkan. Tapi berapa jumlah rakyat yang bisa diangkat taraf hidupnya dari kemiskinan ke kesejahteraan. Karena itulah tujuan bernegara.
Mahatma Gandhi itu kurus kering. Disebut tokoh besar (India) karena gagasan dan jumlah orang yang dilindungi dan diperjuangkannya besar.
Itu pernyataan Adhie M. Massardi, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), di Twitter-nya, Rabu (30/12/2020). Indikator pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat pun masih menjadi perdebatan, siapa saja yang sudah dimakmurkan.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ada jargon yang suka diucapkan para pejabatnya. ”Negara tak boleh kalah.” Dengan jargon itu pemerintahan melakukan tindakan represif yang disebutkan sebagai tindakan tegas kepada rakyat yang dianggap mengganggu.
Tindakan tegas yang menurutnya berdasarkan hukum itu terkadang juga dilakukan dengan melanggar hukum. Akibatnya tindakan ini dinilai mengancam pelaksanaan demokrasi. Pemerintah telah berlaku otoriter di beberapa kasus. Keadilan juga dipertanyakan.
Pembubaran Ormas
Dua periode pemerintah Presiden Jokowi telah membubarkan dua organisasi masyarakat (Ormas). Periode pertama membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Periode kedua pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (FPI). HTI dibubarkan pada hari Rabu, 19 Juli 2017. FPI juga dilarang pada hari Rabu, 30 Desember 2020.
HTI dibubarkan melalui Perppu No. 2/2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang mencabut badan hukum HTI.
Pengumuman pembubaran HTI cukup lewat jumpa pers Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM Freddy Harris.
Sedangkan pelarangan FPI lebih dramatis. Melibatkan enam kementerian untuk membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. SKB ditandatangani oleh Mendagri Tito Karnavian, Menkumham Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G. Plate, Kapolri Jenderal Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) Komjen Boy Rafly Amar.
Pengumuman pelarangannya disampaikan Menko Polhukam didampingi pejabat tinggi seperti Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Kepala BIN Budi Gunawan, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, Kepala KSP Moeldoko, Menkominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar, dan Kepala PPATK Dian Ediana.
Penangkapan Aktivis
Dua periode Presiden Jokowi sudah menangkap beberapa aktivis oposan. Periode pertama menangkap Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Aditiawarman, Rizal Kobar dan Ratna Sarumpaet pada Jumat (2/12/2016).
Tuduhannya makar. Kemudian mereka dibebaskan. Kivlan Zein ditangkap lagi karena perkara kepemilikan senjata api.
Lalu Ustad Alfian Tanjung ditangkap polisi tuduhan pencemaran nama baik dalam ceramahnya yang mengungkit PKI di Masjid Mujahidin, Surabaya, 30 Mei 2017. Setelah eksepsinya dikabulkan PN Surabaya dia bebas. Tapi begitu bebas dia ditangkap lagi pada 6 September 2017 dengan tuduhan penyataan PDIP yang 85 persen isinya kader PKI mengusung cagub Anti Islam.
Kali ini Alfian diadili di PN Jakarta Pusat mulai 27 Desember 2017. Dalam vonisnya PN Jakpus pada 30 Mei 2018 memutuskan perbuatan terdakwa telah terbukti, tapi bukan suatu perbuatan pidana. Karena itu melepaskan Alfian Tanjung dari segala tuntutan hukum.
Jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung dalam putusannya pada 12 November 2018 mengabulkan permohonan kasasi jaksa. Alfian dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Setelah bebas Alfian dilaporkan lagi oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Habib Muannas Alaidid pada Senin (17/2/2020) dengan tuduhan soal komunis juga.
Mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Mayjen TNI (Purn) Soenarko yang kritis terhadap pemerintah ditangkap pada 20 Mei 2019. Tuduhannya dugaan makar dan penyelundupan senjata.
Periode Kedua
Periode kedua, beberapa aktivis ditangkapi terkait pengesahan UU Omnibus Law. Seperti aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) seperti Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat. Begitu juga aktivis KAMI Medan Juliana, Devi, Khairi Amri, dan Wahyu Rasari Putri.
Sebanyak 35 anggota PII, GPI, dan GPII ditangkap setelah demo Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berujung rusuh. Setelah ditahan beberapa waktu akhirnya dilepaskan pada 14 Oktober 2020.
Sebelumnya aktivis dan peneliti kebijakan publik Ravio Patra ditangkap polisi pada 22 April 2020. Gara-gara dia mengkritik staf khusus presiden, Billy Mambrasar, karena diduga terlibat konflik kepentingan dalam proyek pemerintah di Papua.
Tulisannya yang diunggah di media Tirto.id, Ravio mengkritik penanganan pemerintah terhadap pandemi covid-19. Ia meminta pemerintah transparan dan terbuka. Beberapa hari kemudian HPnya di-hack orang kemudian menyebarkan konten ajakan penjarahan dan membakar. Atas dasar itu dia ditangkap.
Selain aktivis di atas masih ada beberapa aktivis yang ditangkap dengan pasal ujaran kebencian, mengganggu ketertiban umumdan lainnya saat memperjuangkan nasib rakyat, mengkritik pemerintah, dan penyelamatan lingkungan. (*)
Editor Sugeng Purwanto