PWMU.CO – Islam tidak pernah melarang kita mencintai dunia. Yang dilarang adalah apabila kecintaan terhadap dunia itu mengalahkan segalanya. Beribadah dan berbuat baik, yang merupakan investasi akhirat, kita abaikan demi kepentingan dunia. Itu berbahaya.
Yang dimaksud dunia bukan sebatas harta-kekayaan, namun segala yang serba dekat, di sini, dan sementara. Jabatan itu dunia. Popularitas, karier, keluarga, jaringan juga jelas dunia. Semuanya, jika kita cintai secara berlebihan, kita kejar mati-matian, segera akan benar-benar mendatangkan bahaya.
(Baca: Waspada di Era Sosmed, agar Jangan Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga)
Tidak sedikit orang yang hidupnya salah-salah, keliru-keliru, pusing-pusing, nyasar-nyasar, hingga masuk ke penjara gara-gara terlalu mencintai dunia. Orang begitu percaya dan mau menyerahkan segalanya kepada “orang pintar” adalah karena dia sangat ingin meraih atau mempertahankan karier dan jabatan dunia. Juga, orang dengan mudah tertipu aneka modus penipuan berupa undian berhadiah hingga penggandaan uang, dan mau menyerahkan sejumlah uang yang dipersyaratkan si penipu, jelas karena dia sangat berharap hasil berupa harta dunia.
Contoh semisal itu tidak minim jumlahnya. Simak saja di media massa. Semakin maju zaman, ternyata berita yang aneh-aneh begitu tidak kunjung sepi fenomenanya. Bahkan, orang yang sudah memiliki segalanya namun masih melakukan korupsi, bukankah itu terjadi karena yang bersangkutan begitu memuja dunia? Ya, dunia memang pangkal segala dosa dan salah.
(Baca juga: Mewaspadai Kehadiran Para Pendengki)
Ada kisah menarik di bagian akhir surah Al-Qashash. Intinya, ketika Qarun keluar kepada kaumnya dengan penuh kemegahan, para pemuja dunia lekas berkata, “Amboi, andai saja kita diberi kekayaan seperti Qarun. Dia benar-benar mendapat keberuntungan besar.” Waktu itu, hanya orang-orang yang dianugerahi ilmu (alim) yang mampu berpikiran waras. Mereka bilang, celakalah orang-orang yang memuja Qarun. Sebab, pahala Allah itu lebih baik bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Dan, pahala itu tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (QS Al-Qashash/28: 79-80).
Nah, siapakah orang yang dianugerahi ilmu itu? Dialah “alim” yang jamaknya adalah “ulama.” Dalam Islam, ulama bukan sekadar orang-orang pandai atau punya gelar berderet. Ulama juga bukan seorang pakar dalam disiplin ilmu tertentu. Pengertian ulama, tiada lain, mencakup siapa saja yang dengan ilmunya tadi, kemudian begitu tunduk dan takut kepada Allah. Itulah orang-orang alim alias ulama yang sebenarnya. Dan, mereka itulah yang akan selamat dari fitnah dunia, bagaimana pun kacau dan ngawur kehidupan ini. Karena, ulama sudah kebal terhadap bunga-bunga dunia. (*)
Kolom M Husnaini, penulis buku-buku inspiratif.