Buya Hamka, Hidup Sulit di Masa Rezim Nasakom oleh Artawijaya, penulis buku dan aktivis dakwah.
PWMU.CO-Senin, 27 Januari 1964. Buya Hamka baru saja usai mengisi pengajian kaum ibu di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Ia baru saja tiba di rumahnya yang tak jauh dari masjid tempatnya mengajar. Hari itu puasa Ramadhan 1383 Hijriyah baru saja masuk hari kedua belas.
Sekitar pukul 11.00 tengah hari, empat orang dari kepolisian dengan membawa surat penahanan sementara, datang menangkap ulama asal Minangkabau, Sumatera Barat itu. Buya Hamka tentu terkejut. Apalagi, polisi mengatakan bahwa dirinya ditahan karena dugaan melanggar Penpres No.11/1963. Tuduhan itu tak main-main: melakukan subversif terhadap pemerintah!
”Jadi saya ditangkap?” tanya Hamka.
”Ya,” jawab polisi berpakaian preman itu sambil meminta izin untuk menggeledah di dalam rumah. Setelah menggeledah isi rumah, membongkar laci-laci, dan mengobrak-abrik buku-buku yang ada di kamar tidur, para polisi itu kemudian membawa ulama itu.
Dengan mobil Morris, Hamka yang pernah menjadi anggota Konstituante dari Partai Masjumi itu kemudian diangkut menuju kantor polisi. Perlengkapan yang ia bawa hanya tas kecil berisi pakaian sehari-hari, handuk, sarung, dan sajadah. Sang istri yang melihat kejadian itu kemudian jatuh pingsan.
”Ya Allah sabarkan hatiku, sabarkan hatiku…”ujarnya.
Rusydi Hamka, putra dari tokoh Partai Masjumi itu mengenang masa-masa sulit saat sang ayah ditangkap oleh rezim Nasakom Soekarno. Ia menceritakan kenangan itu dalam sebuah buku berjudul Pribadi dan Martabat Prof Buya Hamka.
Sebagai seorang anak, ia bisa merasakan betapa pilunya melihat sang ayah digelandang di depan ibu dan adik-adiknya. Namun ketegaran sang ayahlah yang membuat mereka menjadi kuat menerima cobaan itu.
Tuduhan Palsu
Setelah di tahanan, barulah Buya Hamka tahu bahwa ia ditangkap karena dituduh sebagai ketua gerombolan yang akan membunuh Soekarno dengan pendanaan dari Tengku Abdurrahman, Perdana Menteri Malaysia.
Polisi menuduh ia mengikuti rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963, bersama para mantan aktivis Partai Masjumi antara lain Dalari Umar dan Gazali Sahlan, terkait rencana tersebut.
”Saudara hendak mengadakan kup atas kekuasaan pemerintah yang sah. Saudara ikut dalam komplotan hendak membunuh Bung Karno. Rekan saudara, Dalari Umar, menyimpan empat peti granat untuk dilemparkan kepada Bung Karno. Tidak ada guna lagi membela diri berputar belit, semua rahasia sudah di tangan polisi. Pengkhianat-pengkhianat negeri akan diganyang,”ujar interogator dari polisi, mencecar Buya.
Cap sebagai pengkhianat membuat Hamka merasa terhina. Apalagi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya semuanya dusta. Karena pada malam tanggal 11 Oktober 1963 sebagaimana yang dituduhkan polisi, ia justru sedang berada di Masjid Agung Al-Azhar, menghadiri malam ta’aruf pengurus Muhammadiyah Jakarta yang baru saja dilantik.
Hadir dalam pelantikan itu Menko H. Muljadi Djojomartono, Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri, dan Gazali Sahlan yang mewakili gubernur Jakarta Raya. Jadi, tanggal itu, Hamka tak ada di Tangerang.
Belakangan diketahui bahwa fitnah itu memang sengaja dirancang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ketika itu dekat dengan kekuasaan dan berusaha terus untuk menghabisi para mantan tokoh Partai Masjumi, termasuk Buya Hamka.
Sebelumnya, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan surat kabar yang dikelola oleh para aktivis PKI seperti Bintang Timur terus memfitnah Buya Hamka sebagai plagiat.
Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wick yang ditulisnya dituduh menjiplak karya sastra di Prancis. Lekra membuat isu skandal sastra terbesar terkait novel itu. Semua tuduhan itu, tentu saja semata-mata karena kebencian mereka terhadap Hamka sebagai ulama yang berlatar belakang aktivis Partai Masjumi.
Tulisan ini juga bisa dibaca di artaazzamwordpresscom.wordpress.com
Editor Sugeng Purwanto