HM Saechan-Hj Maisaroh, Pasangan yang Pimpin Muhammadiyah-Aisyiyah Babat, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Pasangan suami-istri yang memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah atau Prof Haedar Nashir dan Dr Siti Noordjannah Djohantini, ada juga di Babat, Lamongan.
HM Saechan dan Hj Maisaroh adalah suami istri yang memimpin Muhammadiyah-Aisyiyah di Cabang Babat, pada tahun 1970-1990. “Mereka berdua merupakan pasangan yang menggerakkan roda organisasi di tingkat ranting dan cabang,” kata Abdul Kholiq, 74 tahun, sesepuh Muhamadiyah Babat.
Hal itu juga dibenarkan oleh Hj Susilowati pelaku sejarah Aisyiyah Babat yang kini berusia 73 tahun. “Mereka berdua seperti KH Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah. Pasangan suami istri yang memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Mereka berdua adalah teladan bagi kader kader Muhammadiyah dan Aisyiyah dalam hal memimpin organisasi dan beribadah,” terangnya.
Riwayat Hidup HM Saechan
M Saechan lahir di Babat, Lamongan, 3 Agustus 1920 dari pasangan H.Mashadi dan Masri’ah. Kedua orangtuanya adalah aktivis Masyumi di Babat dan sudah berpaham Muhammadiyah.
Pendidikan yang dilalui M Saechan adalah di sekolah rakyat (SR) Babat. Kemudian melanjutkan ke tingkat SLTP tapi tidak lulus karena terkendala biaya.
Kegiatan keagamaan dilaksanakan dengan mengaji di langgar. Di samping itu dia mengaji kepada Kiai Fadloli yang berasal dari Sidayu Gresik dan santri KH Ammar di Pondok Maskumambang Gresik.
Selain itu Saechan juga mengaji pada KH Husnun Ambar lulusan Pesantren Persis Bangil yang dikenal sangat tegas dalam berdakwah memberantas TBC (tahayul, bidah, dankhurafat).
Saechan yang memiliki NBM 135.683 dan terdaftar di Pimpinan Muhammadiyah Pusat pada tanggal 10 Juli 1956 sudah mulai aktif mengurus Muhammadiyah Babat sejak tahun 1950. Selanjutnya ia menjabat menjadi Ketua Pimpinan Muhammadiyah Cabang (PCM) Babat pada periode (1975 -1980), (1980-1985), dan (1985 -1990).
Dia menikah pada tahun 1946 saat berusia 26 tahun, dengan Maisaroh yang berusia 16 tahun. Maisaroh merupakan pengusaha rokok dan toko palen—menyediakan kebutuhan sehari harim seperti sabun, odol, sikat gigi, dan lan-lain—yang cukup sukses.
Dari pernikahannya itu ia dikarunia enam orang anak. Yaitu Maimunatun, M. Mansur, M. Munif, Maisunah, Abdullah, dan Mailifatin.
Rumahnya di Jalan Muhjidin Nomor 2 Telp 38 Babat saat itu digunakan sebagai sekretariat PCM Babat, menjadi saksi bisu pergerakan Muhammadiyah Babat.
Di tempat inilah berkumpul para tokoh penggerak Muhammadiyah Babat seperti Mochammad Shaleh, Soenhadji Tadjam, Mustaqim Kauman, Tasyam Purnomo, Gholib Ghufron, Marlim THS, Zaenal Mas’ud, Ruslan Efendi.
Juga Oesman Effendy, Adenan Nur Shodiq, Syafi’i Hasyim, A Zaenuri, Wasil Maksum, Abdul Kholiq, Moch Thoha, Moch Thohir, Mahmud Irfan, Muchlis Sulaiman, Khoirul Huda, Kuswarih, Muntholib Sukandar, Fatkhur Rahman Anwar, Zarqoni Sutedja, dan Shofwan Ilyas.
Saechan yang melaksanakan ibadah haji tahun 1984 dikenal bertangan dingin dalam pengelolaan organisasi Muhammadiyah. Ia berkarakter tenang dan tidak banyak bicara. Persoalan Muhammadiyah dalam berdakwah amar makruf bisa diterima masyarakat Babat yang mayoritas pedagang
Ia yang tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di Masjid Muhyidin itu meninggal dalam usia 82 tahun pada 6 Februari 2002 setelah beberapa lama megalami sakit. Ia dikubur di makam keluarga di Desa Sawo, Babat, Lamongan
Riwayat Hidup Maisaroh
Maisaroh lahir di Babat Lamongan tahun 1930. Ia putri pasangan H Anwar dan Hj Fathimah. Orangtua Maisaroh adalah pedagang tembakau yang sangat dikenal di Babat. Kedua orangtuanya sudah berpaham Muhammadiyah saat itu.
Pendidikan yang dilalui adalah di SR Babat. Ilmu agamanya diperoleh dari didikan langsung kedua orangtuanya. Ibunya, Fathimah merupakan guru ngaji pada saat itu.
Maisaroh mulai aktif mengurus Aisyiyah Babat sejak tahun 1960. Ia menjadi Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Babat pada tahun 1970 -1990. Dibantu Susilowati (wakil ketua), Rukmi (sekretaris), Nu’ah (bendahara), Makrifah (seksi keyatiman) dan Sukartinah (seksi kesehatan).
Pada tahun 1970 Maisaroh merintis berdirinya BKIA Aisyiyah bersama Susilowati, Makrifah, Sukartinah, Fatimah Zainuri, dan Insyiyah Gholib. BKIA itu kemudian berkembang menjadi Rumah Bersalin Aisyiyah (RBA) dengan menempati rumah di Jalan Raya Babat. Selanjutnya RBA melebur menjadi Bakis (Balai Kesehatan Islam) dan akhirnya menjadi Rumah Sakit Muhammadiyah Babat
Rumahnya di Jalan Muhjidin juga dijadikan sebagai pusat kegiatan pergerakan Aisyiyah Babat. Di tempat inilah para penggerak Aisyiyah Babat selalu bertemu. Mereka adalah Susilowati, Fatimah Zainuri, Rukmi, Nu’ah, Makrifah, Sukartinah, Insyiyah Gholib, Maimunatin Cholil, dan Maimunatun.
Maisaroh menjabat sebagai Ketua PCA Babat sampai tahun 1990. Selanjutnya estafet kepemimpinan PCA Babat beralih ke Hj Maimunatun yang merupakan anak kandungnya.
Maisaroh bersama suaminya tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di Masjid Muhyidin ini meninggal dunia pada tanggal 8 September 2019 di usia 89 tahun. Ia dimakamkan bersebelahan dengan suaminya.
Testimoni
Dalam pandangan putri pertamanya, Hj Maimunatun, kedua orangtuanya HM Saechan-Hj Maisaroh memiliki sifat-sifat yang taat beragama. Suka membaca, sabar, disiplin, amanah, jujur, rapi (menyimpan arsip), perhatian, dan sayang pada keluarga. Tidak bicara kalau tidak perlu dan berdedikasi tinggi terhadap Muhammadiyah
“Bapak dan Ibu merupakan tokoh panutan di keluarga. Begitu juga di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Bila ada kegiatan konsolidasi organisasi dan pengajian yang dilaksanakan bersama antara Muhammadiyah-Aisyiyah bapak ibu selalu datang bersama. Beliau kompak dalam berdakwah” jelas Maimunatun yang pernah memimpin PCA Babat selama empat periode.
“Muktamar Muhammadiyah di Bandung tahun 1965, kami bertiga: saya, ayah dan ibu, menghadirinya. Saya saat itu sedang menempuh pendidikan di Madtasah Muallimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Saya dijemput kemudian diajak ke Bandung,” kenangnya.
Dalam pandangan H Muntholb Sukandar, 74 tahun, Saechan orangnya pendiam. Dia tidak berbicara bila tidak perlu. Kalau bicara tidak pernah dengan suara keras apalagi dengan nada tinggi.
“Saya tidak pernah melihat beliau marah pada seseorang. Kata-katanya lirih, kalimatnya tertib, dan terukur. Isinya pembicaraannya padat dan berbobot,” ujar pelaku sejarah Muhammadiyah Babat antara tahun sejak tahun 1964 itu.
“Sekalipun demikian Pak Saehan bukanlah seorang yang tertutup, arogan, dan individualis. Sebaliknya, almarhum sangat ramah, hangat dalam bergaul dan selalu menghiasi wajah dengan senyum keikhlasan,” tambahnya.
Menurut Anggota DPRD Jawa Timur dari PPP tahun 1988-1992 dan 1992-1997, Saehan adalah pemimpin yang mengutamakan kebersamaan. Kolektif dan kolegial, menjadi ciri utama dalam kepemimpinannya.
“Hampir tidak pernah suatu keputusan diambil tanpa melalui proses rapat dan musyarawah. Dengan demikian, setiap pengurus yang menjadi mitra dalam kepemimpinan mengetahui persoalan organisasi. Tidak ada yang ditutupi dan disembunyikan. Tidak ada rahasia atau setengah kamar,” kata Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan ini.
Menurut dia, semasa kepemimpinan Saechan, banyak tantangan yang dihadapi Muhammadiyah di Babat. Baik di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Termasuk pada tahun 1969 menjelang G30S PKI, yang situasi politiknya sangat panas. Kelompok komunis di Babat selalu membuat manuver, sehingga keadaan semakin panas.
Muntholb Sukandar mengungkapkan, di bawah kepemimpinan Saechan yang sangat kompak. Semua elemen Muhamadiyah bisa bergerak maksimal. Pemuda Muhammadiyah dengan drumband yang sangat terkenal di wilayah Lamongan. Hizbul Wathon, dengan klub sepakbola PSHW Babat yang namanya harum sampai di tingkat Jawa Timur. Kokam dengan kelompok bela diri yang tidak boleh dianggap sepele PKI.
“Berkat kepemimpinan Pak Saehan, AUM (amal usaha Muhammadiyah) besar di PCM Babat lahir dan kemudian menjadi andalan utama. SD Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah, Rumah Sakit Muhamadiyah,” kata Penasehat PCM Babat ini.
“Ada peribahasa dalam bahasa Arab yang mengatakan ‘al-fadlu lil mubtadi wa-in ahsana al-muqtadi“. Keutamaan tetap bagi perintis sekalipun penerus lebih baik,” ujarnya tentang kepeloporan H Saechan.
Sementara itu H Zarqoni Sutedja MBA, menambhakan Saechan adalah orang yang lemah lembut. Juga pribadi yang sangat ikhlas dalam berjuang untuk persyarikatan.
“Pak Saechan tidak pernah marah. Waktu serta pikirannya untuk mengurusi Muhammadiyah,” ungkap Zarqoni Sutedja yang pernah menjadi Wakil Sekretaris PCM Babat periode 1978-1984 dan Sekretaris periode 1984-1986. (*)
HM Saechan-Hj Maisaroh, Pasangan yang Pimpin Muhammadiyah-Aisyiyah Babat; Editor Mohammad Nurfatoni.