Pigai, Say No to Racism, kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – “Dua hal yang paling saya benci di dunia ini, rasisme dan negro …” Gerr … tawa pun meledak, karena joke itu dianggap lucu, padahal sebenaranya pahit dan kurang ajar.
Rasisme itu mendarah dan mendaging. Terinternalisasi dan menjadi habitus. Jika Anda seorang rasis deep down di dalam hati, maka dalam kondisi normal hal itu bisa dikontrol atau dependam.
Tapi, sikap itu tiba-tiba muncul tanpa disadari, seperti kondisi psikologis Freudian ketika seseorang “tak sengaja” mengumpat. Saat itulah ketahuan bahwa seseorang itu rasis asli.
Pekan ini ada dua pernyataan rasis yang sangat tidak pantas dilontarkan di ranah publik. Satu oleh seorang politikus nomaden bernama Ruhut Sitompul, dan satunya pagi oleh seorang PSK (pekerja sosmed komersial).
Sasarannya satu orang, yaitu Natalius Pigai, putra Papua, mantan komisioner Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).
Ruhut merujuk Pigai dengan sebutan “congor kau”. Lalu menambahkan, “Kaca saja takut lihat gantengnya kau.” Permadi Arya lebih tajam lagi, menyebut Pigai, “Sudah selesai belum evolusi kau.”
Bagi manusia yang paham mengenai rasisme, dua pernyataan itu sudah sangat jauh berada di luar nalar. Hanya orang-orang bebal, tak berperasaan, dan tidak paham mengenai rasisme yang tega mengucapkan hal itu.
Tidak ada humor atau pun joke dalam rasisme. Pernyataan sekecil apapun mengenai ras adalah penghinaan. Ungkapan “congor” mungkin biasa bagi masyarakat Jawa Timur. Tapi, bagi masyarakat di luar Jawa Timur ungkapan itu sangat tidak pantas karena “congor” hanya pantas disebutkan untuk mulut sapi.
Kalau Ruhut menganggap ungkapan “Kaca pun takut lihat gantengnya Pigai” sebagai humor, bisa dipastikan bahwa selera humornya rendah. Itu memang sudah ketahuan dari peran-perannya sebagai si Poltak dalam sinetron-sinetron murahan di televisi. Itu adalah “dark humor” humor kelam yang tidak patut dilontarkan di ruang publik.
Juga pernyataan Permadi Arya yang menyebut soal evolusi adalah penghinaan telanjang yang, tentu saja, seribu persen tidak lucu. Menyebut evolusi secara tersirat Permadi Arya menyamakan Pigai dengan simpanse atau monyet.
Pada Agustus 2008 silam di Surabaya terjadi insiden rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya gegara dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Insiden itu meluas menjadi demonstrasi anti rasisme dan pembakaran dan pengrusakan di Manokwari, Sorong, dan beberapa kota di Papua. Seseorang ditangkap dan ditahan di Surabaya karena dianggap menginisiasi tindakan rasis itu.
Apa yang dilakukan Ruhut dan Permadi Arya terhadap Pigai secara substansi tidak beda dengan makian rasis yang terjadi di Surabaya, meskipun reaksinya tidak sekeras di Surabaya dan tidak ada politisasi yang menunggangi kasus itu.
Bangun kebangsaan Indonesia ini masih rapuh dan sering terancam oleh sikap rasisme tersembunyi maupun terbuka. Sungguh mengherankan Ruhut dan Permadi yang sering berteriak “Aku Pancasila” dan “NKRI Harga Mati” ternyata tidak paham bahwa rasisme adalah ancaman paling berbahaya bagi Pancasila dan NKRI. Rasisme akan membuat Pancasila tidak ada artinya dan NKRI akan bubar.
Kalau mengacu pada Pak Ndut maka core of the core Pancasila adalah kesatuan dalam keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika. Ini mengharuskan penghormatan terhadap keberagaman suku, ras, agama, budaya yang berbeda-beda di Indonesia. Tidak peduli ente Batak yang kawini sama Jawa (lalu cerai), atau ente orang Papua berkulit legam, semuanya punya harkat kehormatan yang sejajar dan setara tanpa beda.
NKRI juga hanya bisa utuh dan menjadi harga mati kalau didasarkan pada kesetaraan derajat dan kesamaan cita-cita, yang menyatukan seluruh warga negara dalam cita-cita yang sama. Dari Sabang sampai Merauke keberbedaan yang mencolok hanya bisa disatukan oleh sebuah angan-angan yang sama. Kita menjadi “komunitas terbayang” imagined community yang rapuh kalau tidak didasari oleh kesetaraan derajat dan kesamaan perlakuan.
Hantu-Hantu Rezim Indonesia
Otoritarianisme Orde Baru sadar betul bahwa ancaman terbesar terhadap Pancasila dan NKRI adalah rasisme. Karena itu rasisme adalah barang haram yang tidak boleh disentuh apalagi dimakan. Rasisme dijadikan tabu nasional yang wajib dihindari. Rasisme menjadi common enemy, musuh bersama, yang harus dihadapi dengan segenap daya.
Karena itu Orde Baru merumuskan tabu nasional dalam akronim SARA, yaitu suku, agama, ras, dan antar-golongan. Jangan sentuh empat tabu itu. Orde Baru mempertahankan tabu itu dengan kekuatan represif karena sadar betul akan bahaya latennya.
Ziblatt dan Levitsky dalam “How Democracies Die” menyebut bahwa sebuah rezim otoritarian akan menciptakan hantu untuk menakut-nakuti rakyat dan memberi legitimasi kepada rezim untuk memperpanjang kekuasaannya.
Ferdinand Marcos dan Soeharto sama-sama memakai hantu komunisme untuk melanggangkan rezimnya. Hasilnya lumayan. Marcos bisa berkuasa 21 tahun sejak 1965 sampai ditumbangkan oleh people power 1986.
Soeharto lebih kreatif lagi dari Marcos. Ia menciptakan hantu lain yang tidak boleh disentuh. Jangan sentuh jubah raja. Begitu ungkapan terhadap “Raja Soeharto”. Jangan sentuh Cendana, jangan sentuh ABRI, jangan sentuh isu SARA. Kau sentuh jubah raja kelar hidup loe. Soeharto bertahan 32 tahun dengan hantu-hantu itu.
Rezim Jokowi kurang lebih sama saja. Ada hantu-hantu yang diciptakan untuk mempertahankan rezim. Hantu Islam radikal dan Islam populis, hantu khilafah, hantu FPI, dan hantu-hantu yang lain.
Tapi SARA tidak masuk dalam skenario hantu nasional. Entah wacana ini tidak dipahami oleh rezim atau memang tidak paham ancaman serius SARA dan rasisme.
Say No to Racism di Olahraga
Ini sekadar reminder saja bagaimana rasisme begitu dimusuhi di luar sana, di Amerika dan Eropa, dan kampanye besar-besaran dilakukan untuk membersihkan rasisme. “Say No to Racism“, “Katakan Tidak pada Rasisme” menjadi tema di mana-mana termasuk di olahraga.
Di Liga Sepakbola Inggris pemain asal Uruguay, Edinson Cavani, dihukum tiga kali tidak boleh bermain “hanya” karena tidak sengaja membuat posting di medsos yang dinilai rasis. Setelah memenangkan sebuah pertandingan dengan mencetak dua gol Cavani memeroleh banyak ucapan selamat dari fansnya.
Cavani pun membalasnya dengan unggahan “Gracias Negritos”, harfiah artinya “Terima Kasih, Si Hitam”, dan arti gaulnya semacam “Terima Kasih, Bro”.
Tapi, ungkapan “Negritos” dianggap rasis dan disamakan dengan “Negro”, sebuah ungkapan yang betul-betul “haram mughalladh“. Cavani pun harus rela dihukum larangan tiga kali bermain. Teman-temannya di Timnas Uruguay membela Cavani dan menagaskan bahwa tidak ada yang rasis pada ungkapan gaul itu. Tapi, Football Association Inggris bergeming. Vonis sudah jatuh tak bisa diganggu gugat.
Apa yang dilakukan Permadi Arya dan Ruhut Sitompul jauh lebih berat dari Cavani karena Permadi dan Ruhut secara sengaja mempermalukan dan merendahkan Pigai. Permadi menyebut-nyebut evolusi tanpa paham apa maksudnya dan apa implikasinya.
Permadi sangat mungkin tidak pernah membaca Darwin dan tidak paham perdebatan filosofis antara evolutionist vs creationist. Kalau Permadi percaya pada teori evolusi berarti dia tidak percaya kepada penciptaan Tuhan.
Pernyataan rasis Permadi dan Ruhut sangat berbahaya karena bisa menyulut gerakan disintegrasi masyarakat Papua sebagaimana yang terjadi dalam insiden di Surabaya.
Rasisme Terdahsyat
Di level internasional drama rasisme paling dahsyat sudah kita saksikan Rabu (6/1) WIB di Amerika ketika ribuan orang pendukung presiden petahana Donald Trump menyerbu dan menduduki Capitol Hill, DPR-nya Amerika, dan memaksa anggota DPR agar membatalkan hasil pilpres Amerika yang sudah memenangkan pasangan Joe Biden-Kamala Harris.
Seluruh Amerika mengecam anarkisme itu. Di sebuah negara yang sering disebut sebagai kampiun demokrasi yang berusia lebih dari 200 tahun ternyata masih terjadi tindakan anarkis yang tidak beradab.
Pangkal dari anarkisme itu adalah rasisme. Sejak peristiwa kematian George Floyd, Mei 2020, demonstrasi Black Lives Matter menentang rasisme pecah di seantero negeri. Puncaknya adalah kekalahan Trump dari Biden pada pemilihan presiden 3 November lalu. Trump tidak mengakui kekalahan itu dan menggerakkan pendukungnya untuk membatalkan hasil pilpres. Puncaknya adalah pendudukan Capitol Hill itu.
Para pendukung Trump itu pengusung gerakan “White Supremacy” supremasi ras kulit putih yang membenci kulit hitam dan kulit berwarna. Presiden Trump yang sudah putus asa karena tidak punya jalan lagi untuk bisa membatalkan kemenangan Biden akhirnya menghasut pendukungnya supaya menduduki Capitol Hill.
Trump dikecam hebat. Bahkan akun FB-nya di-suspend sampai waktu yang tidak ditentukan. Tidak tanggung-tanggung, founder FB, Mark Zuckerberg sendiri yang menskors Trump. Ketua DPR Nancy Pelosi juga akan memecat Trump melalui impeachment tanpa menunggu penyerahan kekuasaan resmi 20 Januari.
Ruhut dan Permadi Arya harus di-suspend akun medosnya dan wajib meminta maaf terbuka kepada Natalius Pigai, masyarakat Papua, dan bangsa Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD baru saja membual tentang kehebatan patroli polisi siber yang katanya sangat canggih sehingga bisa meringkus pelaku hate speech dalam waktu dua jam. Permadi dan Ruhut seharusnya sudah diringkus dalam dua jam setelah penghinaannya terhadap Pigai.
Tapi patroli polisi siber itu tampaknya akan lebih banyak mengawasi dan meringkus para pengritik kekuasaan daripada menangkap para rasis seperti Permadi dan Ruhut.
Karena itu polisi siber dikritik karena menjadi pengawas dan pengintai masyarakat seperti gambaran Big Brother dalam karya George Orwell “1984”. Sebagai mantan aktivis seharusnya Mahfud malu memakai Big Brother untuk mengawasi aktivitas kritis warga negara. Alih-alih malu Mahfud malah bangga. Mungkin Mahfud tidak pernah baca “1984” seperti Permadi dan Ruhut yang tidak pernah melihat “The Origin of Species“.
Presiden Joko Widodo harus mengambil tindakan tegas terhadap tindakan rasisme. Presiden Joko tidak boleh membiarkan, diam saja, dan berdalih bukan urusannya. Akibatnya bisa lebih serius dari Trump, impeachment, dan disintegrasi yang mengancam eksistensi NKRI.
Mudah-mudahan Mbak Puan bisa meniru Nancy Pelosi yang berani memecat Trump. (*)
Pigai, Say No to Racism: Editor Mohammad Nurfatoni