PWMU.CO – Sukses dengan Spiritual Leadership dan Kurikulum Rumahan disampaikan Ir Misbahul Huda MBA dalam Pengajian Rutin Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Manyar, Gresik, secara virtual, Jumat (8/1/2021) malam.
Pria kelahiran Madiun, 27 Januari 1963 ini mengungkapkan hasil riset tahun 2019 oleh Thomas J Stanley PhD tentang 100 faktor yang menentukan kesuksesan seseorang. Riset tersebut dilakukan di Amerika dengan total 1001 responden, di mana 733 responden adalah miliuner.
“Ternyata faktor nomor 1 sampai 10 adalah leadership berbasis spiritual. Yaitu jujur, disiplin, mudah bergaul, dukungan pendamping, kerja keras, kecintaan pada yang dikerjakan, kepemimpinan, kepribadian kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide,” jelasnya.
Penulis buku, trainer, dan motivator itu menegaskan pentingnya spiritual leadership karena banyak orangtua abai terhadap persoalan ini.
“Ini karakter, tetapi mereka habis-habisan mengejar IQ, rangking,” tegasnya.
Maka, lanjutnya, ketika ibu-ibu terima rapor yang biasa ditanyakan ke wali kelas adalah rangking anaknya. Kalau kelas VI, kelas IX, yang dilihat danemnya berapa.
“Padahal lulus terbaik, rangking, atau cumlaude, itu urutan ke-30. Sekolah favorit urutan ke-23, IQ urutan ke-21,” ungkapnya.
Menurut mantan Direktur Utama JePe Press Media Utama itu, tidak salah jika orangua memilih sekolah favorit dan berharap memiliki anak lulus cumlaude, tapi jangan sampai mengabaikan faktor 1-10.
“Nah kalau kemudian faktor sukses itu spiritual leadership maka situasi pandemi sekarang yang memaksa sekolah harus di rumah mungkin tidak perlu terlalu dirisaukan, malah ini kesempatan orangtua untuk mematangkan spiritual anaknya di rumah,” papar dia.
Lulusan terbaik Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM tahun 1986 ini lalu mengajak peserta menjadi orangtua efektif di masa pandemi.
“Agar suasana rumah menjadi nyaman maka jadikan belajar di rumah ini momentum membangun spiritual environment. Ngaji bareng, jamaah di rumah. Jadi ada spiritual environment, learning environment, dan social family environment yang baik,” terang dia.
Jadi, sambungnya, yang dimaksud belajar di rumah (BDR) itu bukan belajar di sekolah yang dipindah ke rumah. Jika berpikirnya seperti itu, maka jangan heran jika banyak orangtua yan resah karena harus bertindak sebagai guru.
“Ini mesti uring-uringan. Nggak bisa. Guru ya guru, orangtua ya orangtua. Soal-soal akademik biar dituntaskan oleh guru. Tetapi rumah memahamkan, mematangkan aspek softskill yang tidak bisa diceramahkan tetapi dicontohkan oleh ayah bunda yang baik. Ada domain sendiri-sendiri. Di mana aspek spiritual ayo kita matangkan ketika situasi BDR ini,” papar penulis buku Bukan Sekadar Ayah Biasa ini.
Berkurangnya Peran Sekolah
Rektor Universitas Al Falah Surabaya tahun 1995-2003 ini menegaskan, di masa pandemi Corona-19 ini, mau tidak mau, menyebabkan peran sekolah semakin menyusut dan peran keluarga semakin membesar.
Karena itu dia menegaskan pentingnya agility education atau pembelajaran yang lincah. Artinya jadikan semua properti dan kegitan yang ada di rumah menjadi kegiatan belajar-mengajar.
“Temasuk penguatan peran ini adalah perlunya kurikulum rumah yang inside-out bukan yang outside-in,” ujarnya. Menurutnya, kurikulum outside in tidak melihat potensi anak-anak. Pelajaran hanya dicekokkan ke anak-anak. Sedangkan Inside out itu kurikulum yang melihat potensi anak-anak.
Misbahul Huda menyakinkan bahwa semua anak punya kelebihan, punya poensi. Di sini orangtua menemukan bakat, lalu melejitkan.
“Jangan sampai ada orangtua yang mengatakan, ‘Aduh anaku gak iso opo-opo.’ Kalau sampai seperti itu berarti Anda menyangkal ayat Allah laqad khalaqna al-insaana fi ahsani takwim. Sungguh pada setiap ciptaan, termasuk anak-anak kita, ada kelebihan ada keunggulan, ada keunikan,” terang dia.
Direktur Utama PT Temprina Media Grafika tahun 1999-2013 itu menjelaskan, dalam ayat itu Allah bersumpah sampai empat kali: wattiin, wazzaituun, wathuurisiiniiin, wahaa dzal baladil amin. Itu artinya menyangatkan: Temukanlah kelebihan itu, lalu lejitkan.
Menurut dia, modal pendidikan inside out inilah yang dikembangkan di Jepang, Jerman, dan di negara Eropa lainnya sehingga anak lulus SD, guru wajib menemukan passion-nya, keunggulannya.
“Jadi jangan ajari burung berenang. Waktu habis, capek. Jangan ajari ikan terbang,” tutur penulis buku Mission Ini Possible itu membuat permisalan.
Kurikulum Rumahan
Misbahul Huda menerangkan, orangtua efektif harus punya banyak kreativitas dan inovasi. Bisa menjadikan semua properti di rumah menjadi media pembelajarann.
Misalnya untuk anak SD atau TK bisa diajarkan beberapa kompetensi dalam waktu 5-10 setelah tidur. Bangun tidur berdoa (spiritual), minum (kesehatan), melipat selimut dan membersihkan tempat tidur (kerapian).
Masuk kamar mandi, sebelumnya, berdoa (spiritual), di kamar mandi pakai gayung (motorik kasar), membersihkan bekas kotorannya berempati pada pemakai berikutnya agar tidak jijik (sosial). Keluar menutup aurat, (emosional), berdoa (spiritual).
“Demikian juga ketika makan. Kalua sudah SMA ya diajak berkebun, ke bengkel, berdagang, dan lain-lain,” terangnya.
Suami Herlina Fauziah itu menekankan pentingnya sekolah keluarga. Menurutnya banyak keluarga muda yang tidak punya bekal ilmu keluarga memadai meskipun sudah sarjana S2.
“Buktinya Pak Menko PMK kita, Muhadjir Effend, sampai menyatakan perlunya sertifikat layak nikah. Sebab banyak yang modal nekat tidak punya ilmu, akibatnya imitasi meniru cara bapak dulu mendidiknya. Kalau mukul ya mukul, nempeleng ya nempeleng,” ujarnya seraya mempertanyakan, “Apakah efektif cara pendidikan 30 tahun yang lalu, diajarkan kepada anak sekarang yang akan menghadapi tantangan 30 tahun yang akan datang?”
Misbahul Huda juga tidak setuju cara mendidik orangtua yang membuat anaknya manja. Seperti seorang ayah yang mengatakan, “Ojok sampek anakku sengsara, cukuplah aku saja,” ujarnya.
Cara demikian itu menurut dia membuat anak dimanja sehingga menjadi anak home service. Tidak untuk survival. “Saya kira banyak orangtua sekarang pingin tahan banting anaknya, cara ngetes-nya ‘dibanting’ sesuai dengan perkembangan usianya. Harus dibebani, diberi tanggung jawab sesuai usianya. Tidak dimanja,” kata dia.
Walhasil, Misbahul Huda mendorong perlunya sinergi kegiatan belajar-mengajar antara sekolah dan rumah.
“Saya kira, perbedaan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan rumah ini tidak perlu dipertentangkan. Justru perlu kompelemntasi, saling melengkapi, sinergi,” tutur dia.
Kekurangan di rumah, ujarnya, distandarisasi oleh sekolah. Demikian juga kekurangan sekolah akibat pandemi dilengkapi di rumah dengan ikhlas dan efektif oleh orangtua. (*)
Penulis/Editor Ria Pusvita Sari