Ancaman Partai Politik bagi Negara oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO-Pada saat demokrasi diberhalakan di mana-mana, maka partai politik pun jumawa di mana-mana. Mengapa? Massal masyarakat tidak bisa membayangkan demokrasi tanpa partai politik. Partai politik selama ini berusaha keras untuk memonopoli politik dan makin berhasil sampai ketahuan motifnya yang tidak selalu mulia. Seperti monopoli ekonomi, monopoli politik niscaya merugikan masyarakat.
Walaupun banyak partai politik, monopoli partai politik dalam pasar politik jelas sekali dalam narasi utama negara-negara yang mengaku demokratis. Disemburkan bahwa tugas politik warga negara dimulai dan berakhir di bilik suara.
Di luar bilik suara, warga negara dianggap tidak kompeten berpolitik lalu unjuk rasa disebut parlemen jalanan atau politik kaki lima. Narasi intimidatif oleh eksekutif bahwa warga yang menolak vaksinasi akan dipidana atau didenda tidak saja menyalahi prinsip-prinsip civil liberty, pada saat efikasi vaksinnya sendiri tidak meyakinkan.
Memperbanyak jumlah partai politik terbukti tidak mengurangi monopoli partai politik sejengkal pun. Bahkan untuk kasus Indonesia mutakhir, bahkan penantang presiden inkumben akhirnya menjadi menteri dalam kabinet.
Dari sekian partai hampir semua bergabung dalam kabinet. Sementara segelintir partai politik semacam PKS, dan Demokrat disebut wujuduhu kaadamihi. Adanya bak ketiadaannya. Dengan semua media utama dikuasai oleh elite partai politik, praktis tidak ada lagi check and balances atas rezim ini.
Petugas Partai
Konsekuensi pertama atas kecenderungan ini adalah maladministrasi publik yaitu pembuatan hukum dan penafsirannya tidak berpihak pada publik tapi berpihak pada penguasa oligarki partai politik. Apalagi dengan biaya politik yang mahal, oligarki partai politik didukung oleh kartel ekonomi beberapa taipan yang menginginkan payback.
Extra judicial killings atas 6 laskar FPI pada awal Desember 2020 segera berlalu begitu saja tanpa memperoleh respon yang memadai oleh DPR, dan miskin liputan oleh media massa, sementara kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 awal Januari 2021 memperoleh liputan yang berlebihan.
Sebagai konsep, partai politik lebih baru daripada demokrasi. Tapi kini jelas, paling tidak di Indonesia, bahwa ancaman partai politik adalah pembunuh kedaulatan rakyat. Bakat bawaan buruk partai politik sudah dikenali oleh para pendiri bangsa, negarawan, ulama, dan cendekia yang lurus.
Konstitusi kita UUD 1945 tidak mengenal partai politik. The founding figures telah memilih republik dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bukan demokrasi pilihan langsung one-man one-vote model AS yang kini justru masuk ke krisis demokrasi.
Para pendiri bangsa meyakini pada kekuatan hikmah dalam permusyawaratan para wakil rakyat. Keterwakilan (representedness) lebih penting dari keterpilihan (electability). Semua kelompok minoritas (utusan golongan agama, adat, suku) dan daerah yang beragam harus diwakili dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Presiden dipilih MPR sebagai mandataris MPR, bukan petugas partai politik.
Ancaman Negara
Semua jabatan publik adalah amanah, tidak diperebutkan melalui proses kontestasi transaksional yang makin mahal. Sebagai amanah, semua jabatan publik dijabat hanya satu periode (jika layak) by default.
Proses pergantian pejabat publik dipermudah. Kecenderungan mempertahankan jabatan publik dengan berbagai cara bahkan melalui membangun dinasti disebabkan karena rekrutmen pejabat publik dilakukan melalui proses yang transaksional dan mahal melalui partai politik.
Kini elite penguasa membangun narasi bahwa yang mengancam NKRI dan Pancasila adalah organisasi massa semacam HTI atau FPI. Bahkan dinarasikan bahwa PKI pun tidak seberbahaya kedua organisasi massa tersebut. Padahal bukti begitu banyak adalah partai politik yang memiliki semua sumber daya dan kesempatan untuk melakukan kudeta konstitusional, dan korupsi secara terstruktur, sistematik dan masif.
Tapi ada kabar gembira. Milenials, di Indonesia yang sedang dianugerahi bonus demografi, makin apolitis karena partai politik tidak pernah melakukan pendidikan politik bagi warga. Afiliasi milenial bukan pada partai politik, tapi pada sesuatu yang lain yang lebih bermakna bagi mereka.
Jumlah golput yang makin besar dalam berbagai Pemilu, monopoli politik partai yang makin menjengkelkan dan memuakkan menunjukkan bahwa partai politik bukan aset nasional tapi tagihan nasional. (*)
Editor Sugeng Purwanto