Hubungan Bencana dan Perilaku Manusia oleh Dr Emeraldy Chatra, pakar komunikasi FISIP Universitas Andalas.
PWMU.CO-Allah swt berfirman, ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Ruum: 41)
Sebagian orang mengaitkan bencana dengan perbuatan maksiat manusia. Namun dibantah oleh orang lain, seraya berkata, ”Di Eropa dan Amerika orang bermaksiat terus, mengapa mereka tidak kena bencana sesering kita?”
Allah swt berfirman bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut adalah akibat tangan manusia. Berarti bencana itu akibat dari perbuatan manusia. Apakah bisa manusia ”membuat” gempa, topan, banjir atau gunung meletus? Kalau kita meyakini sepenuhnya ayat 41 surat Ar Ruum di atas, tentu kita akan menjawab: Bisa!
Bagaimana logika hubungan bencana dan perilaku manusia? Saya akan menggunakan perspektif orgonomi untuk menjelaskannya. Orgonomi itu cabang dari psikoanalisis. Orgon atau orgone artinya energi kehidupan. Orgonomi dikembangkan oleh Wilhelm Reich, murid sekaligus asisten Sigmund Freud sejak sebelum Perang Dunia II di Austria.
Sebenarnya keyakinan bahwa manusia dapat ”membuat” gempa atau badai itu sudah ada dalam masyarakat kita sejak ratusan tahun yang lalu. Namun cara mereka menjelaskan ”tidak ilmiah”, sehingga mudah sekali ditolak oleh orang-orang yang menginginkan hal itu diterangkan secara ilmiah.
Energi Negatif
Adalah psikoanalis AS yang cukup dikenal di tahun 40-an, Wilhelm Reich, yang mula-mula membuktikan secara ilmiah adanya energi negatif yang dapat memancar dari tubuh manusia. Energi negatif itu datang ketika manusia merasa gelisah, galau atau marah.
Apa dampaknya terhadap manusia dan alam? Energi negatif dapat menyebabkan manusia menjadi sakit. Energi negatif juga dapat membuat orang lain menjadi sakit. Hal itu dapat dibuktikan dengan tingginya tingkat absensi karena sakit manakala suasana kantor tidak kondusif dan sering membuat orang merasa kesal.
Energi negatif tidak hanya membias secara horizontal kepada manusia lain, tapi juga menguap ke ionosfir. Apabila ribuan manusia merasa gelisah, gundah, galau atau marah bisa kita bayangkan betapa banyaknya ionosfir diasupi oleh energi negatif. Jelaslah energi itu akan mengganggu keseimbangan energi di alam.
Alam kemudian merespon kelebihan energi negatif itu dengan membuat gerakan-gerakan tertentu, agar tercapai kembali keseimbangan energi. Nah, ketika alam merespon itulah berbagai bencana dirasakan oleh manusia. Begitulah ”tangan” manusia membuat kerusakan di darat dan laut.
Orang Eropa dan AS mungkin banyak bermaksiat, tapi apakah tingkat kegalauan dan kemarahan mereka lebih tinggi daripada orang Indonesia? Mungkin tidak. Kita tidak sama dengan mereka yang hidup lebih makmur, hukum mereka lebih memberi keadilan, dan yang tak kalah pentingnya, mereka lebih mengedepankan rasionalitas daripada emosi dalam menyikapi berbagai masalah.
Masyarakat Emosional
Kita adalah masyarakat yang lebih banyak menggunakan emosi daripada pikiran. Akui saja. Betapa mudahnya kita mengamuk atau mem-bully orang karena alasan-alasan yang tidak kita pahami secara persis. Betapa banyaknya kelakuan warga yang membuat orang lain kesal dan marah, walaupun sebagian besar kemarahan itu kita sembunyikan.
Pendek kata, kita masyarakat yang produktif menciptakan kemarahan dan kegelisahan. Dengan sendirinya, kita juga produktif membuat energi negatif yang akhirnya mengganggu keseimbangan energi alam.
Jalan keluarnya? Gunakanlah akal pikiran lebih banyak ketimbang emosi. Perbanyak amal saleh supaya orang tidak kesal dan marah. Perbanyak toleransi supaya menciptakan suasana damai. Insyaallah, ”tangan” kita tidak akan banyak membuat kerusakan di darat dan di laut.
Wallahu alam bis shawab.
Editor Sugeng Purwanto