PWMU.CO – Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Trisno Raharjo SH MHum memberikan dua catatan pada laporan investigasi Komnas HAM atas pembunuhan anggota Laskar FPI beberapa waktu lalu.
Hal itu dia sampaikan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik dan Hukum dan HAM dalam konferens pers virtual yang dihadiri Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqqodas dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Yono Reksoprodjo.
“Setelah Komnas HAM menyampaikan hasil penyelidikannya, maka kita telah mempelajari segala sesuatu yang telah disampaikan dan kemudian dengan seksama, apa yang disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM pada siaran pers tersebut, Majelis Hukum dan HAM memberi catatan,” ujarnya.
Pertama, soal penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya. “Yang telah disampaikan oleh komnas HAM pada penyilidikannya adalah menyatakan benar ada penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya,” ujarnya.
Menurut Trisno, jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) maka penyelidikan itu dilakukan untuk mencari fakta, apakah ada suatu tindak pidana atau tidak.
“Dalam hal ini telah disampaikan Kapolda dalam siaran persnya yang awal setelah peristiwa ini terjadi. Penyelidikan itu dikaitkan dengan kerumunan dan penegakan aturan terhadap Covid-19,” terangnya. Tentu, sambungnya, ini menjadi menarik karena mengingat penyelidikan ini dilakukan tidak pada waktu dan tempat yang pas.
“Mengapa dikatakan demikian karena HRS (Habib Rizieq Shihab) itu telah dipanggil oleh penyidik. Artinya penyidik telah memiliki bukti-bukti awal kemudian perlu untuk memastikan terhadap satu peristiwa lalu dilakukan apa yang disebut Komnas HAM sebagai pembuntutan,” terangnya.
Dia menegaskan, di dalam KUHP hal ini tidak diatur secara cukup, akan tetapi kepolisian memiliki Peraturan Kapolri tentang manajemen penyidikan.
“Di dalam manajeman penyidikan ada ketentuan berkenaan dengan pembuntutan. Dan itu diturunkan oleh aturan-aturan yang ada di Bareskrim. Dan pembuntutan ini macam-macam karena terkait dengan jenis atau bentuk tindak pidana yang ada,” tegasnya.
Yang menarik menurut Trisno ternyata pembuntutan (surveillance) yang dilakukan itu terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan. “Kalau ini adalah terkait protokol kesehatan kami dari Majelis Hukum dan HAM menyatakan bahwa hal ini berlebihan,” tuturnya.
Kemudian, dia melanjutkan, pembuntutan ini pun standarnya kalau berhubungan dengan protokol kesehatan ini tentu berlebih-lebihan. “Dengan dasar inilah saya melihat bahwa Komnas HAM tentu perlu melakukan pendalaman terkait aspek ini, karena suatu penyelidikan dan pembuntutan itu apabila telah selesai harusnya dibuat laporan,” tegas dia.
“Nah laporan ini seharusnya didalami oleh Komnas HAM, mengingat di dalam pembuntutan ada istilah dinyatakan suatu pembuntutan itu telah diketahui. Pada dasarnya tidak perlu dilakukan upaya-upaya pembuntutan,” terangnya.
Yang menarik, sambungnya, penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM adalah pernyataan komisioner yang menyampaikan tentang peristiwa pembuntutan ini dalam tiga tingkatan. Yaitu ada gesekan yang rendah, menengah, dan tinggi dan kemudian menyatakan bahwa ada kesempatan dari Laskar FPI untuk meninggalkan penyelidikan tetapi justru malah menunggu.
“Ini hemat kami adalah kurang tepat disampaikan dan tidak proporsional. Mengapa saya katakan demikian? Kalau pembuntutan ini sudah diduga terindikasi diketahui maka haruslah dihentikan,” kata dia.
Justru pertanyaannya, ujar dia, mengapa Komnas HAM tidak menyatakan penyidik atau penyelidik Polda Metro Jaya seharusnya punya kesempatan untuk tidak meneruskan pembuntutan.
“(Jadi), tidak ada keseimbangan terhadap informasi ini. Menurut kami tidak ada informasi yang baik kepada masyarakat secara terbuka,” kata dia.
Copy Paste Kasus Siyono
Kedua, soal pengamanan TKP (tempat kejadian perkara). Trisno Raharjo mengatakan, setelah peristiwa pemberhentian di rest area kilometer 50 Komnas HAM menyatakan bahwa dua anggota FPI meninggal dunia akibat peristiwa saling serempet antarmobil dan saling serang antara petugas dan anggota laskar FPI di mana didapat temuan saling digunakannya senjata api.
Sedangkan empat orang lainnya itu keluar dan dilumpuhkan. Yang dimaksud dilumpuhkan itu menurut Trisno adalah mereka sudah menyerah, lalu dipindahkan ke dalam mobil dan dibawa pergi. Dan selanjutnya terjadilah apa yang kita ketahui meninggalnya empat anggota FPI di dalam kekuasaan polisi.
“Ini menurut pandangan kami, polisi telah mengabaikan SOP-nya dan melupakan suatu peristiwa yang terjadi di tahun 2016 ketika Densus Antiteror 88 melakukan penangkapan terhadap almarhum Siyono, di mana Siyono tidak diborgol dan dianggap melakukan perlawanan,” jelasnya.
“Sehingga peristiwa ini menurut saya adalah copy paste atas tindakan terdahulu dan hemat saya polisi tidak cukup belajar. Dari kondisi ini yang justru patut ditanyakan yang belum disampaikan Komnas HAM: mengapa penyelidik Polri tidak mengamankan TKP ketika ada dua orang yang meninggal akibat pembuntutan oleh pihak kepolisian ini,” tambahnya.
Untuk itu, sambungnya, rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan ingin agar kasus dibawa ke persidangan sangat tepat dan penting.
“Di samping itu juga perlu dilakukan penegakan hukum secara terbuka, mengingat yang melakukan penyidikan adalah kepolisian, maka kepolisian harus melakukan ini dengan sungguh-sungguh dan sampai kepada pengadilan jangan seperti kasus Siyono yang diambangkan,” tegasnya.
Menurtunya ada ada contoh tentang hal ini. Yaitu pada tahun 2019 ketika penembakan terhadap Imawan Randi di Kendari. “Semula pihak kepolisian seperti kurang merespon penegakan hukum terhadap kasus itu tetapi pada akhirnya dilakukan,” ujarnya.
Dia juga merujuk pada kasus Novel Baswedan dan Djoko Tjandra yang melibatkan anggota polisi dan sampai di persidangan. Juga fakta sejarah ketika Kapolri Widodo Budidarmo menyerahkan anaknya yang melakukan tindak pidana ke proses persidangan.
“Maka penyerahan terhadap sistem peradilan pidana secara terbuka dan sungguh-sungguh itu wajib dilakukan. Di samping itu kami menganggap Komnas HAM belum selesai dengan hanya rekomendasi ini. Tapi harus memantau dan berkewajiban memastikan penyelesaian persoalan ini adalah sampai kepada pengadilan sistem peradilan kita,” kata dia. (*)
Penulis/Editor Mohamamd Nurfatoni.