PWMU. CO – Lingkungan kompleks perumahan yang asri, aman, dan bebas dari banjir ternyata tidak selalu membuat “nyaman” penghuninya. Setidaknya itulah yang dirasakan H Yoyok Soedaryo, warga perumahan Putat Indah, Kelurahan Putat Gede, Surabaya.
Pria kelahiran Cilacap, 25 Oktober 1939 ini mengaku sudah sejak tahun 1990 tinggal di kawasan tersebut. Yang membikin dirinya kurang nyaman, karena di perumahan itu minus masjid. “Mayoritas warganya non-muslim, dan tidak ada masjid, sehingga tidak bisa shalat Subuh berjamaah,” ujar pensiunan TNI Angkatan Laut tersebut.
(Baca: Kisah Calon Pendeta Maria Sugiyarti yang Akhirnya Dapat Hidayah Masuk Islam)
Masjid paling dekat, berada di tengah bundaran dekat gerbang masuk-keluar jalan tol, yang aksesnya harus menyeberang jalan padat kendaraan. “Itulah yang membikin kami tidak nyaman kalau mau shalat Subuh berjamaah di masjid,” tukasnya.
Ia menyadari bahwa dirinya sudah menjadi muslim sejak lahir. “Tapi baru Islam KTP, belum menjadi muslim yang taat menjalani agama. Shalat juga masih jarang-jarang,” akunya. Setelah pensiun dari TNI, dorongan untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama dirasakan sangat kuat. Ia kemudian beberapa kali menunaikan ibadah haji, dan terus belajar al-Quran dengan mengundang guru ngaji. “Tahun 1985, saya naik haji bersama istri dan anak pertama. Itu masih belum menghayati, lalu berangkat haji lagi. Pendalamannya pun bertahap, melalui teman pergaulan,” ungkapnya.
(Baca juga: Untuk Apa Saldo Kas Masjid Ratusan Juta jika Jamaahnya Melarat)
Kini, di rumahnya diselenggarakan pengajian untuk umum. Pada 24 September lalu misalnya, ruang tamu rumah dua lantai itu dipenuhi puluhan jamaah yang sedang menyimak ceramah dari seorang ustadz. Sementara di bagian belakang, tampak sibuk beberapa petugas menyiapkan makan siang para jamaah. “Pemandangan seperti itu rutin terjadi pada setiap Sabtu keempat,” kata Afghon Andjasmoro, salah seorang jamaah.
Seiring kualitas keberagamaannya yang terus meningkat, ia sangat gandrung shalat Subuh berjamaah di masjid. Tapi karena ada probem teknis, disarankan oleh staf di kantor, agar dia membangun masjid di lahan kosong milik dia, dekat rumah.
Seperti kata al-Quran, “Inna ma’al usri yusra.” Setiap ada kesulitan selalu ada kemudahan. Maka di tengah kesulitan dia menjalani shalat Subuh berjamaah di masjid, malah bisa membangun masjid sendiri. Ia pun merasa memperoleh kemudahan dalam bisnisnya. Sekedar informasi, setelah pensiun sebagai anggota TNI Angkatan Laut, beliau menekuni bisnis pengeboran gas lepas pantai.
“Lalu saya menghubungi Pimpinan Muhammadiyah Cabang Wiyung, melalui notaris Budi Pahlawan, untuk mewakafkan tanah saya seluas 350 m2. Tidak lama setelah ikrar wakaf, dibentuk panitia pembangunan,” kisah dia.
Mengetahui akan dibangun masjid, Ketua RW Kelurahan Putat Gede yang non-muslim sempat mempersoalkan, dengan alasan mengganggu warga, terutama kalau puji-pujian jelang Subuh. Tapi setelah dijelaskan bahwa masjid ini tidak mengikuti tradisi seperti itu, akhirnya diizinkan.
(Baca juga: Bubarkan, Pengajian yang Tak Lahirkan Gerakan Kepedulian Sosial)
Faktor lokasi juga jadi pertimbangan Ketua RW untuk urung mempersoalkan. “Karena meski bersebelahan dengan rumah saya, lokasi masjid masuk wilayah Kelurahan Pakis, bukan Putat Gede,” kata suami dari almarhumah Mary, yang menikah lagi dengan Nike itu.
Pembangunan masjid dua lantai seluas bangunan 200 m2, sudah berlangsung sejak Ramadhan lalu. “Sebagian biaya pembangunan dari saya, dibantu teman-teman yang antusias,” tuturnya.
Setelah selesai, ia berharap bisa shalat Subuh berjamaah, dan masjidnya makmur. “Saya sudah menghubungi jamaah di kampung sebelah, agar anak-anak mereka ngaji di sini, dan mereka mau,” tutur ayah dari Rima, Rio, Tiyo dan Mira. (nadjib hamid)