PWMU.CO – Sekolah berbudaya inklusif merupakan bagian dari sekolah ramah anak yang telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Hal itu disampaikan Kepala UPT Resource Centre (RC) Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik Innik Hikmatin SPd MPdI.
Innik Hikmatin mengatakan, pendidikan inklusif berorientasi pada education for all. “Semua melayani anak yang penuh dengan keberagaman,” ungkapnya kepada peserta Sosialisasi Pendidikan Inklusif yang digelar SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Sabtu (16/1/2021).
Perempuan kelahiran Gresik, 11 Oktober 1965 itu menjelaskan, pendidikan inklusif lebih ditekankan pada pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan ini, kata dia, juga mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
“Bukan harus ada anak kebutuhan khususnya, tetapi orientasinya adalah melayani semua anak sesuai dengan kebutuhannya,” tegasnya.
Tujuan Pendidikan Inklusif (PI)
Innik Hikmatin menjelaskan, PI memberikan kesempatan semua peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, lanjutnya, menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
“Jangan ada kekhawatiran jika ada anak berkebutuhan khusus, nanti repot, ruwet. Kita bisa berkomunikasi dengan orangtua dan RC. Jadi kita tidak lari dari tantangan, tapi kita komunikasi untuk membantu,” tuturnya.
Perempuan yang pernah belajar tentang layanan pendidikan bagi disabilitas di ALAF-QUT Australia itu menambahkan, PI dapat membangun karakter, nilai, dan norma peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus, ia yakin akan dapat membangun karakter dan rasa syukur kepada anak-anak.
“Kita berempati, apa yang dirasakan anak-anak yang spesial itu. Seandainya kamu seperti itu bagaimana?” ujarnya haru.
Kepada semua guru, karyawan, serta wali siswa SDMM, Innik Hikmatin menceritakan kisah anak berkebutuhan khusus yang sejak usia enam hingga 15 tahun tidak bersekolah karena dianggap merepotkan. Namun setelah si anak mendapat arahan dan bimbingan dari UPT RC untuk mengikuti kejar paket dan pendidikan selanjutnya, si anak dapat meraih prestasi.
Keuntungan Mengembangkan Budaya Inklusif
Founder Rumah Kreatif Disabilitas (RKD) Kabupaten Gresik itu menjelaskan dua hal untuk mengembangkan budaya inklusif, yaitu membangun komunitas inlusif dan menetapkan nilai-nilai inklusif.
Menurutnya, membangun komunitas inklusif yaitu setiap orang/anak merasa diterima di sekolah. “Jadi tidak boleh ada guru yang ketika ada anak yang tidak tersenyum atau sedih dibiarkan saja. Tidak menunjukkan layanan yang ramah anak,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, komunitas inklusif dapat terwujud jika antarsiswa saling membantu, guru dan staf saling bekerja sama, serta memperlakukan semua siswa dengan respect. “Selain bekerja sama dengan orangtua, sekolah juga bekerja sama dengan pemerintah daerah dan melibatkan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, lanjutnya, membangun nilai-nilai inklusif dapat dilakukan dengan menaruh harapan yang besar kepada semua siswa. “Guru, pemerintah daerah, siswa, dan orangtua saling berbagi filosofi inklusi. Setiap siswa diperlakukan setara,” jelasnya.
Tak hanya itu, Innik Hikmatin menegaskan, guru, staf, dan siswa harus saling memperlakukan secara manusiawi sesuai dengan peran masing-masing. “Guru dan staf berupaya untuk mengatasi hambatan seluruh siswa dalam belajar dan berpartisipasi di sekolah. Sekolah berupaya untuk meminimalkan segala bentuk diskriminasi,” jelasnya.
Bagi anak berkebutuhan khusus, Innik Hikmatin menganjurkan ada sahabat setiap hari yang berganti-ganti. “Ketika mereka punya teman itu bahagia rasanya. Lalu temannya tadi diminta menulis pengalamannya,” ujarnya memberi contoh layanan.
Tak kalah penting, lanjutnya, guru, pemerintah daerah, siswa, dan orangtua saling berbagi filosofi inklusif. Pertama, mengingatkan kepada siswa pentingnya belajar bekerjasama dalam mengerjakan tugas kelompok, selain bekerja mandiri. Kedua, saling mengingatkan untuk menghargai perbedaan. Ketiga, saling mengingatkan perbedaan dapat dimanfaatkan untuk menjadi sumber daya yang mendukung pembelajaran. (*)
Penulis/Editor Ria Pusvita Sari.