PWMU.CO– Ideologi sebuah organisasi dapat dilihat dari fatwa yang dikeluarkan ulamanya ketika menjawab persoalan umat. Fatwa muncul berdasarkan paham yang dianut para ulama. Ideologi Muhammadiyah tergantung kepintaran ulama di Majelis Tarjih dan Tajdid.
Hal itu disampaikan Dr Pradana Boy Zulian, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam Kajian Rutin Penguatan Pemahaman Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam Interdisipliner oleh PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat), Selasa (19/1/2021).
Kajian hari itu mengusung tema Fatwa di Indonesia: Metode di Muhammadiyah dalam Membuat Hukum dan Implikasinya bagi Muslim di Tanah Air.
Menurut Pradana Boy, ada dua fungsi fatwa. Pertama, perubahan sosial. Geliat ekonomi Islam atau ekonomi syariah di Indonesia didorong oleh fatwa MUI. Seringkali ada studi yang dilakukan oleh mahasiswa tentang perbandingan lembaga ekonomi syariah dan non syariah. Kesimpulannya, selalu mengatakan bahwa syariah lebih baik. Dan faktor pendorongnya adalah fatwa MUI.
Kedua, penegak ideologi. Boy bercerita ketika ia menulis disertasi, ia membahas tentang MUI. Pengujinya Prof. Farid Al-Attas menyebut salah satu kesimpulan dari disertasi yang ia tulis adalah MUI didominasi oleh orang-orang dengan ideologi salafisme.
”Fatwa-fatwa MUI yang mencerminkan dominasi ideologi salafisme merupakan bukti bahwa dalam konteks tertentu, fatwa menjadi alat penegakan ideologi. Dalam konteks Muhammadiyah, fatwa Muhammadiyah bersifat modern. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap penentuan awal bulan Ramadhan. Di balik fatwa-fatwa Muhammadiyah terdapat ideologi Muhammadiyah,” ujar Boy.
Penelitian Fatwa
Boy mengutip penelitian Reihanah Abdullah di Malaysia. Dalam penelitian tersebut, 95,4 persen masyarakat Malaysia mengenal fatwa. Tetapi 95,4 persen yang pernah mendengar istilah fatwa itu tidak mengetahui apa hakikat fatwa.
Sebanyak 13,9 persen responden mengatakan, fatwa adalah pertanyaan dan jawaban tentang agama. Jumlah 16,8 persen mengatakan, fatwa berhubungan dengan hukuman. Sebanyak 17,3 persen responden menyamakan fatwa dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Ada 41,1 persen menganggap fatwa sebagai tindakan dan perkataan mufti atau posisi mufti tentang persoalan hukum.
Pradana Boy mengatakan, meskipun di Indonesia belum ada penelitian serupa, tetapi gambarannya tidak terlalu jauh dengan apa yang terjadi di Malaysia.
”Di Indonesia sangat jarang ada fatwa yang bersifat individual. MUI memiliki Komisi Fatwa, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih. Lembaga-lembaga ini ada karena menurut Ibnu Qoyyim, ulama itu menduduki posisi para nabi. Kalau umat membutuhkan penjelasan sebuah persoalan, larinya ke ulama,” imbuhnya.
Lahirnya Majelis Tarjih
Ia menyebut, salah satu faktor pendorong lahirnya Majelis Tarjih di Muhammadiyah karena penetrasi Ahmadiyah ke Muhammadiyah. Ada satu masa ketika Muhammadiyah dan Ahmadiyah sangat akrab, bahkan para jamaahnya memiliki keanggotaan ganda.
Bahkan beberapa tokoh Ahmadiyah sempat diundang dan mendapatkan kesempatan berbicara di forum Muhammadiyah sehingga memengaruhi pengurus teras Muhammadiyah. Hal ini melahirkan kesadaran bahwa ideologi Muhammadiyah harus dijaga, salah satunya melalui Majelis Tarjih.
Pada saat itu, lanjut dia, ketika mengusulkan lembaga fatwa, nama Tarjih justru tidak keluar. KH Mas Mansur, inisiator lembaga fatwa mengusulkan tiga nama, yaitu Majelis Tasyri’, Majelis Tanfidz, dan Majelis Taftisy. Namun setelah disepakati berubah nama menjadi Majelis Tarjih.
Pada tahun 1995, Amin Abdullah masuk ke Majelis Tarjih atas ajakan Amien Rais sebagai Ketua Umum terpilih PP Muhammadiyah di Muktamar Aceh. Salah satu problem yang membuat Amien Rais mengajak Amin Abdullah adalah kemandekan pemikiran di Muhammadiyah sejak tahun 1980an. Sehingga Amien Rais berpikir Amin Abdullah sebagai seorang ahli filsafat bisa menggerakkan kebekuan pemikiran ini.
Amin Abdullah kemudian mengubah nama Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan memasukkan pendekatan interdisipliner. Hal tersebut memunculkan banyak kritik. Pada tahap ini, lanjut Boy, masyarakat perlu berbicara tentang interdisipliner.
”Ini menunjukkan bahwa pendekatan interdisipliner dalam studi Islam dan dalam Majelis Tarjih sangat penting, namun sekaligus sangat berat. Sehingga belakangan nama Pengembangan Pemikiran Islam dihapus,” imbuh Pradana Boy.
Mewarisi Posisi Nabi
Pradana Boy mengungkapkan, fatwa yang merupakan pandangan ulama tentang satu persoalan pada umumnya dipertanyakan terlebih dahulu. Maka ada istilah mufti (produsen fatwa), al-mustafti (orang yang meminta fatwa), istifta (proses pembuatan fatwa), dan darul ifta (lembaga yang menaungi proses pembuatan fatwa).
Pada umumnya, Boy melanjutkan, fatwa bersifat responsif. Hukum selalu datang belakangan. Peristiwa datang terlebih dahulu, baru diikuti oleh hukum. Ifta adalah bagian dari ijtihad karena merespon sesuatu yang tidak ada teksnya secara eksplisit. Ijtihad berarti memberikan pemecahan terhadap persoalan yang secara eksplisit tidak ada teksnya dalam al-Quran atau hadits.
Pradana Boy menyebut, salah satu makna ijtihad adalah ma’rifati ahkami asy-syar’iyyati allati thoriquha al-ijtihad (proses untuk mengetahui hukum-hukum syariah melalui penggunaan akal).
Penulis Maharina Novi Editor Sugeng Purwanto