PWMU.CO– TP3 menyatakan, pembunuhan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) patut diduga telah direncanakan sebelumnya. Apa pun alasannya, tindakan aparat polisi sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan.
Demikian pernyataan sikap Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam Laskar FPI yang dibacakan anggotanya Marwan Batubara di Jakarta, Kamis (21/1/2021).
Marwan menyatakan, dari kompilasi infomasi yang dilakukan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan, dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak.
”TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing,” kata Marwan.
Tindakan brutal aparat polisi ini, sambung dia, merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas asas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan yang berlaku. ”Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait,” tandasnya.
Presiden Bertanggung Jawab
Ditegaskan, TP3 menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan. Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut.
TP3 menyatakan, pembunuhan enam laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM.
”Kami dari TP3 dengan ini menyatakan bahwa tindakan aparat negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity).
Pembunuhan enam laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang no. 5 tahun 1998.
”Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2000,” tuturnya.
Harus Terungkap
TP3 menilai, sambung dia, penyerangan sistematis terhadap warga sipil enam Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik.
”Sampai saat ini, Negara Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan itu dan tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka,” ujarnya.
Bagi kami, tambah dia, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
”TP3 dengan ini menyatakan akan melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan atas enam warga sipil ini terungkap jelas dan pelakunya diadili,” tandasnya.
”TP3 melakukan langkah-langkah advokasi setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh pemerintah dan Komnas HAM, yang kami nilai jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan,” katanya.
Rilis TP3 dihadiri anggota terdiri Prof Dr Muhammad Amien Rais, KH Dr Abdullah Hehamahua, Dr Busyro Muqoddas, KH Dr Muhyidin Djunaedi, Dr Marwan Batubara, Prof Dr Firdaus Syam, Dr Abdul Chair Ramadhan, Habib Muhsin Al-Attas Lc, Hj. Neno Warisman, Edy Mulyadi, Rizal Fadillah SH MH, HM Mursalim R, Dr Bukhori Muslim, Dr Syamsul Balda, Dr Taufik Hidayat, Dr HM Gamari Sutrisno MPS, Ir Candra Kurnia, Adi Prayitno SH. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto