Kisah Sukarno Terpesona KH Ahmad Dahlan oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh-tokoh Muslim.
PWMU.CO – Sukarno sekadar sebuah contoh, orang yang terpesona kepada KH Ahmad Dahlan di kala kali pertama bertemu. Saat itu, Sukarno terkesan dengan pencerahan keagamaan yang disampaikan KH Ahmad Dahlan.
Kelak, boleh jadi Sukarno merasakan bahwa sikap KH Mas Mansur yang “menyelamatkan” prosesi akad-nikahnya yang terancam batal, sebagai bagian dari buah pencerahan KH Ahmad Dahlan.
Kesan Pertama
Sukarno lahir pada 6 Juni 1901. Saat menuntut ilmu di Surabaya, dia kos (menumpang) di rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pemimpin Syarikat Islam. Rumah itu terletak di kawasan Peneleh Surabaya.
Sukarno seperti mendapat berkah saat tinggal di rumah tokoh “Penggelora Kesadaran Nasional” itu. Di rumah itu, banyak kenangannya yang bersejarah. Salah satunya, saat kali pertama Sukarno berjumpa dengan KH Ahmad Dahlan sekaligus mendapatkan pencerahan tentang agama Islam.
Dari kajian pendiri Muhammadiyah itu, Sukarno merasakan nuansa pembaharuan cara pandang dalam memahami Islam. Sukarno tercerahkan: Penjelasan tentang Islam yang didapatnya tidak seperti yang dipahaminya sebelum-sebelumnya. Dalam istilah Sukarno, ketika itu dia merasa mendapat “rejuvenation” dari Islam.
Hal di atas dapat kita maklumi, terlebih karena ada pengakuan dari Sukarno sendiri tentang latar belakang keagamaannya. Ceritanya, meski ibu dia beragama Islam tapi sebelumnya beliau berasal dari agama lain. Ibu dia orang Bali. Sementara, kata Sukarno, sang ayah meskipun Islam tapi penganut teosofi. Singkat kata, aku Sukarno di depan peserta Muktamar Muhammadiyah pada 1962 di Jakarta, saat itu sang orangtua tidak memberi pengajaran kepadanya tentang agama Islam.
Kembali ke kesan pertama. Sukarno tertarik dengan uraian tentang Islam yang diutarakan KH Ahmad Dahlan. Isinya, dinilai Sukarno bisa memberi pengertian yang lain tentang agama Islam. Itu, berbeda dengan apa yang banyak dipahami oleh kebanyakan orang saat itu yang kental dengan aspek tahayul, bid’ah dan khurafat. Sukarno menyimpulkan, di depan KH Ahmad Dahlan, Islam itu agama yang sederhana, yang gampang, yang bersih, yang dapat dilakukan oleh semua manusia.
“Mengintili” sang Pencerah
Kesan pertama dari Sukarno atas KH Ahmad Dahlan sangat kuat. Dia kagum dan itu ada buktinya. Apa itu? Sukarno muda selalu mengikuti kegiatan dakwah KH Ahmad Dahlan di Surabaya. Lihatlah kenangan Sukarno pada 1916, berikut ini:
“Saya berusia 15 tahun tatkala kali pertama berjumpa dan terpukau kepada KH Ahmad Dahlan.” Kemudian, lanjut Sukarno, “Saya mengintil Kiai Ahmad Dahlan”.
Lewat kalimatnya itu, Sukarno menerangkan bahwa dirinya selalu mengikuti atau membuntuti KH Ahmad Dahlan saat berdakwah di Surabaya. Kemudian, rupanya, atas aktivitas “mengintil” itu ada pengaruh kepada pribadinya. Sila cermati petikan pidatonya di Muktamar Muhammadiyah pada 1962 yang telah disebut di atas.
“Saya simpati kepada Kiai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil kepadanya. Tahun 1938, saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah. Tahun 1946 saya minta, jangan coret nama saya dari Muhammadiyah”.
Bahkan di kesempatan itu pula, Soekarno menyampaikan harapan, bahwa jika waktunya nanti tiba beliau ingin agar peti matinya diselubungi bendera Muhammadiyah.
“Diselamatkan” KH Mas Mansur
Lima tahun setelah kali pertama bertemu KH Ahmad Dahlan, ada yang menarik di kehidupan Sukarno. Di sebuah hari, pada 1921, Sukarno sudah dalam posisi siap untuk dinikahkan dengan Siti Oetari, putri HOS Tjokroaminoto. Tempatnya, di sebuah masjid, tak jauh dari rumah Ketua Syarikat Islam itu.
Kala itu, sebagaimana Sukarno, Siti Oetari juga sudah siap. Dia duduk dengan hikmat di dalam masjid, menunggu detik-detik pelaksanaan akad nikah.
Sayang, suasana acara itu kemudian berubah. Muncul “masalah”. Rupanya, penghulu yang akan memimpin prosesi akad nikah tak berkenan dengan gaya busana yang dikenakan Sukarno yang waktu itu tampil rapi berdasi.
“Anak muda, dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen dan tak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam,” kata si penghulu.
“Saya menyadari, dulu pengantin hanya memakai pakaian Bumiputera yaitu sarung. Tapi, itu adalah cara lama. Aturannya, sekarang sudah berubah,” respon Sukarno membela diri.
“Kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakain rapi itu, saya menolak untuk melakukan (proses) pernikahan (lebih lanjut),” lanjut si penghulu.
“Saya tidak mau didikte orang di saat perkawinan saya,” tukas Sukarno.
Atas perkembangan itu, penghulu memilih sikap: Dia tidak mau melanjutkan prosesi akad nikah Sukarno.
Selanjutnya, acara itu bisa tetap berlangsung setelah KH Mas Mansur mengambil inisiatif. Ulama muda, kala itu berusia 25 tahun dan lulusan Mesir, mengambil alih sebagai orang yang menikahkan Sukarno dan Siti Oetari. Hal itu dilakukan Mas Mansur karena ilmu yang dipunyainya dan juga persentuhan pemikirannya dengan KH Ahmad Dahlan. Bagi Mas Mansur, tidak ada masalah dengan model busana yang dipakai Sukarno (Majalah Matan, November 2017).
Siapa KH Mas Mansur
Lebih jauh, siapa KH Mas Mansur? Dia lahir di Surabaya pada 25 Juni 1896. Pada usia 10 tahun, yaitu pada 1906, dia belajar ke Kiai Kholil di Bangkalan. Setelah dua tahun di sana, dia berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar. Dalam tempo 7 tahun di Timur Tengah yaitu 1908 sampai 1915 dia tak hanya belajar di Mekkah, tapi juga di Mesir dan Libya. Di sana-lah spiritualitas dan intelektualitasnya terasah.
Mas Mansur di Mekkah dua tahun dan di Mesir-di Al-Azhar-empat tahun. Selama belajar, dia berkesempatan bertemu dengan pemimpin-pemimpin Islam ternama. Tapi, yang lebih penting, dia mendapatkan spirit pembaharuan pemikiran Islam dari sejumlah pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Ide-ide pembaharuan itu mempengaruhi jiwa Mas Mansur dan kelak mewarnai corak perjuangannya dalam usaha meningkatkan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia yang saat itu masih terjajah.
Mas Mansur pulang ke Indonesia pada 1915 dengan membawa semangat pembaharuan. Sebelum ke Surabaya-kota asalnya-dia ke Yogyakarta mememui KH Ahmad Dahlan untuk bertukar-pikiran di seputar pembaharuan pemikiran Islam dan penguatan dunia Islam. Setahun berikutnya keduanya bertemu lagi di Yogyakarta.
KH Mas Mansur—Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1937 sampai 1942—adalah ulama yang dalam ilmunya dan luas pergaulannya. Tak hanya dengan para ulama saja dia bergaul, tapi juga dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Bahkan, bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara mereka disebut sebagai Empat Serangkai.
Relasi Itu
Bermula dari pencerahan KH Ahmad Dahlan, terbit simpati Sukarno. Bermula dari keilmuan yang dimilikinya dan pertukaran pemikiran dengan KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansur sigap menyelesaikan “masalah di pernikahan Sukarno pada 1921.
Alhasil, secara sederhana, kesemua narasi di atas bisa menjelaskan relasi “Sukarno, KH Ahmad Dahlan, dan Muhammadiyah”. (*)
Kisah Sukarno Terpesona KH Ahmad Dahlan, Editor Mohammad Nurfatoni.