Investigasi Korupsi Bansos dengan Sumber Anonim oleh Sirikit Syah, jurnalis dan pakar komunikasi.
PWMU.CO– Investigasi wartawan Tempo untuk kasus korupsi dana bantuan sosial (Bansos) bekas Menteri Sosial Juliari P. Batubara memunculkan nama Ketua Komisi III DPR Herman Hery dan seseorang yang disebut Madam.
Munculnya dua nama ini menjadikan PDIP mendapatkan kritikan keras karena politikusnya tega-teganya memotong dana bantuan untuk wong cilik terdampak pandemi covid-19. Praktik korupsinya dengan memotong harga pengadaan sembako per paket. Jika ditotal nilainya mencapai triliunan rupiah. Ini tak selaras dengan slogan partai banteng yang katanya membela rakyat kecil.
Namun ada yang mengkritik laporan investigasi Tempo itu sebagai trial by the press. Menuduh seseorang tanpa bukti dan narasumbernya tak disebutkan. Kritikan itu disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Dr Andi Yulian dan Dr Ade Armando.
Bahkan Ade Armando menyebut berita itu seperti sampah hoax dan sumber misinformasi. Dia juga menuduh Tempo menyetir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelidikannya. Gaya pemberitaannya menyalahi etika jurnalistik.
Saya punya pendapat berbeda. Pengungkapan kasus korupsi tentu boleh dilakukan banyak pihak. Tak hanya KPK. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi tentu boleh melakukan investigasi untuk membongkar penyelewengan pejabat negara.
Selama kaidah jurnalistik dijalankan, Tempo tak bisa disalahkan. Bahkan ketika beritanya ternyata salah. Sebab media massa tidak selalu benar. Wartawan juga bisa salah. Tapi ketakutan untuk berbuat salah tak boleh mengerem semangat media untuk mengungkap fakta. Ini sudah tugas wartawan untuk menyampaikan fakta peristiwa yang menyangkut kepentingan publik.
Narasumber Anonim
Bila media salah, penyelesaian sengketa jurnalistiknya bisa minta maaf melalui hak koreksi atau hak jawab. Bisa pula mengadukan ke Dewan Pers. Bahkan dapat juga menuntut dengan pasal pidana jika ada kesalahan fatal atau tendensius. Itu yang diatur dalam UU No. 40/1999 tentang Pers.
Awak media bisa kena pasal pidana bila kesalahannya with malice atau having malicious intent. Ada niat jahat. Kalau salahnya tidak sengaja alias absence of malice, contoh mungkin narasumbernya yang sengaja memfitnah dan media tidak sadar akan hal itu lalu memberitakan, maka media tidak bisa dihukum.
Sumber berita investigasi kasus sensitif kebanyakan anonim. Atau off the record. Karena sumber berita enggan berurusan dengan komplain atau gugatan hukum. Memang kalau semua narasumber anonim, maka patut dipertanyakan keabsahan beritanya.
Beda lagi jika ada lima narasumber, empat orang anonim, hanya satu saja narasumber yang bersedia diungkap identitasnya tapi isi informasinya sama dan saling mendukung, maka laporan investigasi itu bisa dikatakan valid secara jurnalistik.
Investigasi Washington Post
Dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, saat investigasi skandal Watergate tahun 1974 salah satu narasumbernya anonim. Hanya disebut Deep Throat. Tapi informasi dari sosok anonim ini rinci dan sangat valid. Bisa mengungkap siapa saja pejabat yang terlibat dalam penyadapan kantor Partai Demokrat dan yang mengatur dana kampanye Presiden Richard Nixon dari Partai Republik.
Menuduh Tempo mendikte KPK dalam penyelidikan korupsi dana Bansos sepertinya tidak punya dasar. Penegak hukum seperti KPK, polisi jaksa, tidak serta merta menggunakan hasil investigasi media massa sebagai patokan utama dalam mengambil putusan.
Hasil investigasi media terhadap kasus-kasus korupsi hanya sebatas menjadi rujukan dan bukan alat untuk mendikte penegak hukum. Aparat hukum punya prosedur sendiri agar perkara yang diselidiki bisa diterima pengadilan.
Seperti skandal Watergate, hasil investigasi Washington Post menguatkan bukti-bukti dalam sidang di pengadilan. DPR pun mengeluarkan putusan impeachment. Akhirnya memaksa Presiden Nixon untuk mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Gerard Ford.
Sosok Deep Throat yang memasok informasi kepada wartawan Washington Post tetap tersembunyi. Baru terungkap setelah 24 tahun di saat kematiannya pada 19 Desember 2008. Ternyata dia mantan pejabat nomor dua FBI. Namanya Mark Felt. Saat meninggal usianya 95 tahun. (*)
Editor Sugeng Purwanto