PWMU.CO – Pilih Mantan atau Bekas? Dalam Gramatika Bahasa Jawa Pos kata mantan dan bekas—meski artinya sama yaitu tidak berfungsi lagi, sinonimnya eks (Inggris: ex)—tetapi digunakan berbeda untuk menyebut orang.
Menurut buku panduan bahasa Jawa Pos itu, kata bekas cenderung memiliki konotasi negatif. Karena itu kata bekas tidak pas digunakan untuk menyebut orang.
Kata ini umumnya digunakan untuk menyebut benda. Namun, kata bekas kadang juga digunakan untuk menyebut orang dengan maksud merendahkannya.
Contoh: bekas gudang, bekas botol sirup, bekas koruptor, bekas perampok.
Sedangkan kata mantan digunakan untuk lebih menghormati orang yang diacu. Menurut Jawa Pos, kata mantan biasanya berkenaan dengan otang yang diacu yang tidak lagi memangku jabatan atau profesi yang luhur.
Contoh: mantan presiden, mantan gubernur, mantan kepala sekolah.
Pilih: Bekas Orang Jahat atau Mantan Orang Baik?
Membaca penjelasan perbedaan pengunaan kata mantan dan bekas di atas, ada yang menganjal di hati saya. Dan ini lebih dari sekadar tentang gramatika bahasa.
Pertama, soal pembedaan kata bekas untuk menyebut orang dengan maksud merendahkannya dan kata mantan yang mengacu pada profesi luhur. Ini hemat saya mengandung unsur diskriminasi. Manusia, baik atau buruk, dibedakan berdasarkan bahasa.
Kedua, jika kata bekas atau mantan diartikan sebagai yang tidak berfungsi lagi, sinonimnya eks, bukankah penyematan kata bekas pada pelacur—bekas pelacur—adalah ungkapan fakta yang positif?
Sebab bekas pelacur artinya orang yang sudah tidak lagi menjadi pelacur. Boleh jadi dia sudah bertobat dan meninggalkan dunia hitamnya. Dalam posisi seperti itu, bekas pelacur adalah orang baik.
Jika kita konsisten dengan penggunaan kata mantan untuk orang baik, maka bekas pelacur bisa disebut dengan mantan pelacur. Demikian juga terhadap bekas koruptor atau bekas perampok. Sebut saja mantan koruptor, mantan perampok.
Dengan uraian seperti itu, pemaknaan arti sebaliknya berlaku pada kata mantan. Oke-oke saja saat kita menyebut mantan gubernur dalam pengertian seorang pejabat yang pensiun dari jabatan gubernur.
Tapi jika kata mantan kita sematkan pada profesi lain yang bersifat luhur, seperti—maaf—mantan ustadz, maka konotasinya bisa dua. Pertama, seorang yang sudah tidak lagi menjalani ‘profesi’ sebagai ustadz, misalnya karena kini sudah menjadi pegusaha.
Tapi dalam konteks ini juga ada kemusykilan. Karena sebenarnya ustadz bukanlah profesi melainkan panggilan tugas, panggilan jiwa. Bahkan amanah dari Tuhan. Jadi gelar itu akan melekat sepanjang hayat.
Karena itu penyebutan mantan ustadz bisa berkonotasi yang kedua, yaitu eks ustadz yang bermakna bekas orang baik, misalnya—sekali lagi maaf—karena sudah menjadi orang jahat, semisal jadi koruptor. Nauzubilah!
Dalam konotasi yang kedua ini, maka jika kita konsisten bahwa pengunaan kata bekas untuk maksud merendahkan, akan lebih tepat jika kita menggunakan bekas ustadz. Sebab, dia beralih dari orang baik menjadi orang jahat.
Penjahat dan Ahli Hikmah
Ada kisah berhikmah yang perlu kita renungkan agar kita lebih bijak soal mantan atau bekas ini. Ditulis oleh seorang sufi revolusioner Muhamamd Zuhri (1939–2011) atau yang akrab disapa Pak Muh.
Dalam buku Langit-Langit Desa Kumpulan Hikmah dari Sekarjalak dia menulis cerita berjudul “Penjahat dan Ahli Hikmah”:
Seorang penjahat yang puluhan kali masuk LP (Lembaga Pemasyarakatan) mengunjungi ahli hikmah. Dengan kewibawaan seorang penjahat kelas berat, ia berkata:
“Tobat yang bagaimana menurut Kiai, yang bisa diterima Tuhan dari seorang penjahat seperti saya ini?”
“Yang perlu bertobat itu bukan Anda, melainkan saya!” jawab ahli hikmah.
“Orang seperti saya ini tidak lagi membutuhkan sindiran seperti itu, Kiai,” komentar penjahat.
“Demi Allah, Anda adalah orang baik selama tidak mengulang perbuatanmu lagi! Segala perbuatanmu telah dipidana oleh yang berwajib. Dan telah dihukum pula oleh masyarakat dengan memberimu predikat penjahat sehingga membuatmu kurang bebas berbicara dan bertingkah laku seenak hatimu!”
“Sebaliknya dengan diriku. Semua orang mengatakan bahwa saya adalah orang baik. Sedangkan kenyataan hatiku sering berniat jahat dari segala kejahatan yang pernah Anda lakukan, tanpa seorang pun mencuriganya.”
“Bukankah ibarat penjahat, saya termasuk penjahat yang belum pernah tertangkap,” jawab ahli hikmah bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu, tidak salah saya mencari saksi kemari untuk bertobat!” kata penjahat dengan serius pula.
Sekarjalak, 29 April 1992
Mantan dan Bekas Adalah Sinonim
Karena itu saya tidak setuju pembelahan penggunaan kata bekas dan mantan untuk orang karena baik tidaknya orang atau profesinya. Kata mantan, yang datang belakangan setelah kata bekas, adalah sebuah kekayaan kata yang dalam terminologi bahasa disebut sinonim.
Dan kita boleh menggunakan keduanya dalam ragam tulisan. Boleh saja menulis mantan pemabuk atau bekas presiden. Seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo. Seringkali dia menggunakan kata bekas untuk menunjuk orang terhormat.
Seperti dalam headline-nya Rabu (3/2/2021), Tempo menulis: “Sejumlah politikus senior dan bekas pengurus Partai Demokrat disebut-sebut menggalang dukungan untuk menggelar kongres luar biasa partai itu.”
Kadang kala Tempo juga menggunakan kata mantan. Contoh dalam berita berjudul “Reaksi Yudhoyono Membendung Manuver Moeldoko”, Kamis (4/2/2021):
“Pengurus daerah juga melaporkan bahwa penggerak upaya kudeta itu adalah dua politikus Demokrat, yakni Jhoni Allen Marbun dan Muhammad Nazaruddin.
Jhoni merupakan pengurus pusat Demokrat yang saat ini menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Lalu Nazaruddin adalah mantan bendahara umum Demokrat.”
Mantan dan Bekas dalam KBBI V
Dalam hal ini penjelasan kata bekas dan mantan yang dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V lebih masuk di hati.
mantan/man.tan/
a bekas (pemangku jabatan, kedudukan, dsna sebagainya): Ia — gubernur yang sekarang aktif dalam organisasi masyarakat.
Sedangkan kata bekas lebih banyak mendapat penjelasan dalam KBBI V Daring. Bisa menjadi kata benda (n, nomina dan kata sifat (a, adjektiva)
be.kas1 /bêkas/
- n tanda yang tertinggal atau tersisa (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dan sebagainya); kesan: ada — ban mobil di halaman; pada tembok ini tampak — tapak kaki
- n sesuatu yang tertinggal sebagai sisa (yang telah rusak, terbakar, tidak dipakai lagi, dan sebagainya): runtuhan — gedung-gedung besar; tidak ada —nya lagi
- a pernah menjabat atau menjadi …, tetapi sekarang tidak lagi; mantan: dia adalah — guru saya; dia — lurah
- a sudah pernah dipakai: barang —; usahanya adalah menjual dan membeli mobil —
be.kas2 /bêkas/
n tempat menaruh sesuatu; wadah: — tinta; — sirih
Jika Masih Ragu
Atau jika Anda masih takut, sungkan, ewuh-pakewuh, ragu, dan tidak merdeka saat mau menulis mantan atau bekas pada jabatan (orang) tertentu, ada jalan keluarnya: sebut saja tahunnya saat dia menjabat.
Misalnya Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015.
Di samping terhindar dari rasa sungkan dan segala tetek-bengek-nya, dengan menyebut tahun bisa menambah informasi—daripada hanya menulis mantan atau bekas yang tak merujuk pada kurun waktu tertentu.
Atau bisa juga menulis begini: BJ Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia.
Jadi, pilih mantan atau bekas? Yang jelas: “membekas di hati”, bukan “(me)mantan di hati”. He-he-he …! (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni