PWMU.CO– Zaim Saidi ditangkap polisi. Tuduhannya menggunakan dinar dirham untuk transaksi di Pasar Muamalah Depok yang dia dirikan. Dia dijerat pasal 9 KUHP dan pasal 33 UU No. 7/2011 tentang Mata Uang. Karena tidak pakai rupiah.
Tuduhan itu menunai kritik. Sebab hukum dijalankan secara munafik. Tidak ada keadilan. Di Bali menurut survei Bank Indonesia (BI), transaksi 90 persen memakai dolar polisi diam saja. Di Pasar Glodok Jakarta pun ada transaksi yang menggunakan dolar dan renmimbi aman-aman saja.
Di daerah perbatasan seperti Sebatik dan Entikong transaksi menggunakan ringgit, polisi tutup mata. Di daerah perbatasan ini malah menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan invasi ekonomi negara tetangga.
Padahal pengalaman sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, salah satu alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia gara-gara beredarnya ringgit di pulau itu.
Kabar terbaru PT China Life Insurance Indonesia (CLII) meluncurkan asuransi dwiguna individu pertama dalam mata uang renminbi di pasar asuransi jiwa Indonesia.
Zaim Saidi adalah intelektual muslim yang bercita-cita mengembalikan transaksi dengan uang emas dan perak yang lebih stabil dan Islami. Uang kertas merupakan bagian dari sistem kapitalis yang merugikan.
Praktik Pasar Muamalah itu bukan penipuan. Transaksi dijalankan dengan nilai kejujuran. Namun dia langsung ditangkap sebagai pelaku kriminal. Bandingkan dengan Permadi Arya alias Abu Janda yang jelas-jelas rasis menghina Natalius Pigai dan melecehkan agama Islam hanya diperiksa lalu dilepas hingga masih bisa ngoceh di mana-mana.
Dinar dalam Tafsir Pasal
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai jeratan hukum terhadap Zaim Saidi seperti pasal 9 KUHP atau UU No. 1/1946 tentang Hukum Pidana tidak tepat digunakan. Sebab Zaim hanya membuat atau memesan emas dari PT Aneka Tambang (Antam).
”Tafsir ini berbahaya karena berapa banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau semacam benda yang dapat dibayarkan,” kata Fickar dikutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (3/2/2021).
Menurut dia, aturan itu melarang penggunaan mata uang lain yang dibuat seolah-olah berlaku di Indonesia, selain rupiah. Pembuatan kupon atau bentuk barang lain yang digunakan sebagai alat transaksi seharusnya tak menjadi masalah.
Lempengan kecil emas dan perak buatan PT Antam yang disebut dinar atau dirham ini realitasnya belum tentu masuk kualifikasi sebagai mata uang.
Pasal 9 KUHP menyebut: Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.
Jeratan sangkaan kedua pada pasal 33 UU No. 7/2011 tentang Mata Uang juga patut diperdebatkan. Pertama, kata Fickar, kepingan emas yang kemudian digunakan sebagai koin transaksi tersebut tidak diidentifikasikan sebagai produk yang dikeluarkan oleh suatu negara, sehingga memiliki seri mata uang.
”Untuk menerapkan pasal sangkaan ini, perlu dipastikan apakah nilai tukar kepingan emas itu selaras dengan bobot produk tersebut di pasaran. Jika benda yang disebut dinar dirham itu bukan produk negara yang mengeluarkan, maka Zaim Saidi tidak bisa disangka dengan pasal ini,” ujar dosen FH Universitas Trisakti ini.
Dia berpendapat, tak ada kepentingan publik yang terusik dalam perdagangan menggunakan koin dinar dan dirham ini. Jika masyarakat yang membeli tidak merasa dirugikan maka tidak perlu ditarik ke ranah pidana.
Gerakan Pemakaian Dinar
Gerakan pemakaian dinar dan dirham marak tahun 2003. Di tahun itu Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dalam sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur usul supaya negara-negara OKI memakai dinar-dirham untuk transaksi.
Usulan itu terdengar lagi pada Konferensi ke-12 Mata Uang Negara-negara Asia Tenggara di Jakarta pada 19 September 2005. Kali ini disampaikan Menteri BUMN Sugiharto. Pertimbangannya, menghadapi ancaman inflasi setiap saat terhadap mata uang negara-negara ASEAN dan serangan spekulan valas.
Dinar dan dirham diyakini solusi mengantisipasi ancaman inflasi karena emas memiliki stabilitas nilai. Menyambut seruan ini PT Aneka Tambang memproduksi dinar-dirham yang standarnya diawasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan London Bullion Market Association (LBMA).
LBMA ini merupakan sebuah lembaga pengatur standar harga emas aktual yang berlaku di masyarakat dan harga emas tetap (fixed gold price). Gerakan memakai dinar-dirham terus meluncur di masyarakat dengan koin buatan PT Antam itu. Termasuk apa yang dilakukan oleh Zaim Saidi.
Sekarang setelah keluarnya UU No. 7/2011 tentang Mata Uang apakah kampanye gerakan dinar-dirham yang dahulu diserukan oleh pejabat negara menjadi terlarang? Sayangnya polisi langsung mengkriminalkan Zaim Saidi. Tak ada dialog lebih dulu. Akibatnya gaduh lagi negeri ini karena perlakuan tak adil terhadap orang yang dianggap kadrun. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto