Moderasi Beragama dan Filantropi di Muhammadiyah oleh Dr Slamet Muliono Redjosari, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO– Muhammadiyah memiliki konsep dan aplikasi dalam mencegah radikalisme – terorisme dengan mengembangkan konsep moderasi beragama, bukan deradikalisasi.
Deradikalisasi dipandang memberi ruang atau menghalalkan kekerasan ketika melawan radikalisme. Dalam pandangan Muhammadiyah, perlawanan terhadap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru, dan ini justru kontra produktif.
Radikalisme memang musuh bersama yang harus diperangi. Namun cara mengeliminasinya tidak harus dengan tindakan kekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh aparat keamanan selama ini.
Karena yang dihadapi adalah umat Islam sendiri, maka moderasi beragama dipandang lebih humanis, sebab pelaku radikalisme diajak untuk berpikir ulang terhadap tindakannya.
Humanis
Baru-baru ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendatangi Kantor PP Muhammadiyah (29/1/2021). Kedatangan Listyo merupakan salah satu program menjalin hubungan baik dengan ormas Islam. Kapolri berharap bisa bersinergi dengan Muhammadiyah, khususnya tentang praktik moderasi.
Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan Kapolri dalam menangani radikalisme – terorisme dengan pendekatan humanis, lebih merakyat. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti pun mengusulkan tagline baru untuk Kapolri yaitu #Polisi Sahabat Umat.
Apa yang disampaikan Muhammadiyah ini cukup menarik, karena perlu diciptakan formula untuk menekan paham-paham radikal dan intoleransi dengan cara soft approach, bukan dengan pendekatan kekerasan (hard approach).
Muhammadiyah sejak awal kurang tertarik dengan kebijakan pemerintah dalam menangkal radikalisme – terorisme yang menggunakan pendekatan kekerasan.
Menurut pengalaman selama ini Densus 88 main gerebek dan tembak terhadap orang yang dicurigai. Padahal tersangka belum tentu benar-benar pelaku terorisme akhirnya ada telanjur mati.
Contoh kasus Siyono, aktivis Muhammadiyah Klaten, yang dituduh teroris ternyata bukan. Tapi dia mati ditangan aparat. Saat keluarganya menuntut keadilan, aparat pakai jurus berkelit dengan banyak alasan.
Karena itu pendekatan moderasi tepat karena dipandang lebih humanis dan menghindari kekerasan terhadap orang yang diduga pelaku radikalisme – terorisme. Pendekatan moderasi sudah dilakukan oleh para warga persyarikatan.
Wasathiyah
Saat pengukuhan guru besar, Haedar Nashir menyatakan, radikal tidak dapat dilawan dengan radikal sebagaimana dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi.
Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam tulisannya Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan menyatakan, jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama, maka moderasi merupakan pilihan.
Dia berargumentasi, moderasi Indonesia merupakan kontinuitas dari akar masyarakat di kepulauan ini yang berwatak moderat. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai titik temu dari segala arus keindonesiaan.
Muhammadiyah paling konsisten menyuarakan moderasi dalam menghadapi radikalisasi atau radikalisme serta melakukan kritik terhadap deradikalisasi. Karena jika konsisten sebagai kekuatan moderat maka langkah yang ditempuh harus moderat dan bukan dekonstruksi.
Din Syamsuddin dalam sebuah seminar menyampaikan, moderasi beragama tidak bisa dilepas dari dinamika politik internasional pasca peristiwa 11 September. Di saat itu Amerika Serikat mencoba merangkul beberapa kelompok untuk mengamankan kepentingan internasionalnya.
Dalam tulisannya berjudul Mendudukkan Moderasi Beragama secara Proposional, mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu menyatakan, Islam memiliki istilah wasathiyah sebagaimana merujuk pada al-Quran yang menyebut umat ini sebagai ummatan wasathan.
Wasathiyah ini dinamis namun tegas, tidak kalah dan lembek, tapi berwibawa dan tampil memimpin dengan keadilan, berlaku adil terutama pada diri sendiri.
Muhammadiyah sejak dulu wasathiyah, baik secara priscipal maupun praksis. Salah satunya adalah dakwah ilal khair upaya mengajak kepada keunggulan dan amar makruf nahi munkar atau pencegahan dari kerusakan.
Implementasinya dengan ikut aktif secara meritokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk politik. Peran Muhammadiyah bukan hanya menjawab tantangan ekstremisme umat Islam, tapi juga ekstremisme negara seperti kemungkaran struktural, bukan kompromi.
Pendekatan Kekuasaan
Lebih spesifik lagi, Biyanto dalam pidato pengukuhan guru besar menyatakan, usaha melakukan kontra radikalisme dan penyembuhan terhadap mereka yang terpapar ideologi radikal justru kontra produktif.
Tawaran moderasi sebagai alternatif sebagaimana tema makalahnya Antara Deradikalisasi dan Moderasi (13/2/2020) menunjukkan, pemberantasan radikalisme harus dilakukan dengan kehati-hatian. Tidak boleh mengandalkan pendekatan kekuasaan sehingga mudah mengaitkan radikalisme dengan masjid, majelis taklim, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Dengan moderasi maka akan mengubah ideologi, pemikiran, pemahaman, sikap, dan tindakan seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal. Strateginya melalui reedukasi, resosialisiasi, dan penanaman nilai-nilai multikulturalisme.
Moderasi dan Filantropi
Dalam konteks moderasi, Muhammadiyah mengaitkan tindakan filantropis. Filantropi sejak awal dikembangkan Muhammadiyah dengan menyentuh kebutuhan masyarakat secara riil berupa pendidikan dan kesehatan.
Dalam pengukuhannya sebagai guru besar, Hilman Latief menyampaikan, hasil survei sebuah lembaga di Inggris yang bernama Charities Aid Foundaton (CAF) di tahun 2018.
Lembaga survei ini menempatkan Indonesia sebagai peringkat 1 sebagai negara yang penduduknya dermawan. Di sini ada yang mengaitkan kedermawanan itu dengan mayoritas pendudukanya yang muslim.
Dalam tulisannya bertema Etika Islam dan Semangat Filantropisme, Membaca Filantropi sebagai Kritik Pembangunan, Hilman Latief menegaskan, Islam menginspirasi kaum muslimin untuk berbuat kebaikan, berbagi kepada sesama, memperkuat solidaritas sosial.
Praktik berderma masyarakat Indonesia memang terus meningkat dengan bertambahnya jumlah lembaga filantropi seperti Lembaga Amil Zakat dan penghimpunan dana-dana sosial.
Peristiwa 1 September dengan runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) New York menjadikan peta dunia bergeser. Karena ada proyek counter-terrorism, sehingga memengaruhi aktivitas filantropi Islam yang mengurusi kesehatan, pendidikan, anak-anak, perdamaian.
Semangat Al-Maun
Gerakan war on terrorism financing sempat membuat beberapa lembaga amal dan filantropi sulit dalam transfer uang antar negara yang dilakukan negara Islam. Konsep keseimbangan sangat ditekankan untuk seorang muslim dalam mencari dan mengelola harta.
Semangat inilah yang dipelihara di kalangan persyarikatan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan harus mengajarkan berkali-kali tentang semangat filantropi dan keadilan dari surat al-Maun kepada murid-muridnya agar Islam dapat menjadi gerakan sosial.
Kiai Dahlan mendirikan sekolah dan mendorong kalangan muda yang menjadi kadernya untuk mencari ilmu dan bertebaran di mana-mana, namun mereka diminta kembali tetap menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah berikut semangat filantropinya.
Gerakan filantropi merupakan bagian masyarakat sipil dan berbasis komunitas kecil, dan dikelola oleh kelompok. Falsafah yang dikembangkan dari sebuah gerakan filantropi adalah kemandirian, persaudaraan, kemitraan berbasis kerelawanan dan kerelaan untuk mendorong kemaslahatan dan kesejahteraan.
Dalam konteks politik, gerakan filantropi sebagai respon atas proxy wars negara adidaya yang menggugah dimensi etik kelompok Islam untuk membangun solidaritas mereka dengan sentimen politik. Filantropi Islam bisa dikatakan sebagai perlawanan politik dan perlawanan stigma terorisme.
Moderasi Muhammadiyah diaplikasikan dengan mengembangkan konsep filantropi yang menumbuhkan manusia mandiri, peduli dan memperhatikan kemaslahatan orang lain seperti perwujudan amal usaha pendidikan, kesehatan, panti asuhan, ekonomi, Lazismu, MDMC. (*)
Surabaya, 4 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto