Politik Islam Muhammadiyah oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Dalam berpolitik, Muhammadiyah tidak menawarkan top figure yang diberhalakan, tapi melahirkan kredo kolektivitas solid sebagai sumber moral dan etik.
Prospek Islam politik di negeri kita memang payah. Meski sukses berjuang merebut kemerdekaan terdepan dengan jumlah pahlawan tak terhitung, justru kurang beruntung saat mengisi kemerdekaan. Bahkan boleh dibilang tidak mendapat tempat sama sekali. Modal takbir keras dan heroik saja ternyata tak cukup.
Islam politik yang diusung partai politik dan ormas, misalnya, sering kalah bersaing dengan kekuatan politik kaum nasionalis sekuler. Kegagalan mempertahankan Piagam Jakarta dan hapusnya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila adalah bukti otentik kekalahan itu. Meski sebagaian ada yang menghibur diri, sebagai hadiah terbesar umat Islam agar NKRI tetap utuh terjaga.
Pertanyaan dr Radjiman Wedyodiningrat pada sidang BPUPKI tentang apakah yang akan kita jadikan dasar negara? Mungkin ini pertanyaan prematur. Terbukti tak cukup bisa dijawab dengan konsep matang oleh politisi Islam saat itu. Ada kegamangan dan ketidaksiapan yang berakibat fatal.
Sebagian sejarawan seperti Dr Taufik Abdullah menyesalkan kenapa pertanyaan tentang dasar negara muncul di awal sidang. Hal yang sama sekali di luar pikiran para politisi muslim saat itu.
Suasana politik masa kemerdekaan agaknya kembali berulang pada masa reformasi. Politisi muslim kembali gagap dengan riuh kebebasan politik liberal akibat demokrasi transaksional. Banyak yang tak cukup siap. Islam politik hanya indah di permainan, tapi tak cukup pandai bikin goal, kata Prof Din Syamsuddin.
Tapi mungkin bukan hanya itu. Musuh politik umat Islam adalah dirinya sendiri, tulis Dr Koentowidjojo. Egoisme politisi muslim tak bisa dielak. Semua ingin menjadi imam. Tapi miskin figur yang representatif yang bisa menyatukan, sebut Fachri Ali membenarkan. Inilah problem klasik Islam politik yang belum pernah bisa diurai.
Partai Politik dengan Simbol
Islam politik juga rapuh dan tak cukup mampu membawa aspirasi keumatan. Lebih sibuk pada urusan internal dan konflik kecil-kecil atau riuh dengan politik identitas. Prediksi Marcus Mietzner patut direnungkan. Bahwa biaya merawat partai politik pada masa demokrasi liberal itu mahal. Tak cukup hanya dengan idealisme tapi juga uang.
Dalam situasi politik yang tidak berpihak itu, Muhammadiyah tampil elegan. Berbeda dengan FPI atau HTI yang kemrungsung dan meleset dalam kalkulasi hitung politik. Atau NU yang dibenam kekuasaan politik praktis. Muhammadiyah justru tampil dewasa, elegan, dan cermat dalam hitung politik.
Istiqamah menjaga jarak pandang agar tetap menjadi suar atau suluh yang menerangi. Muhammadiyah mengambil ruang kosong yang ditinggalkan Islam politik. Dan menjelma menjadi kekuatan Politik Islam yang mengubah, dinamis, dan hadir.
Kekuatan politik Muhammadiyah ada pada konsolidasi internalnya. Sesuatu yang amat mahal di tengah ambiguitas politik. Keteguhan memegang prinsip dan cita-citanya adalah sebuah kekuatan yang tidak bisa dinilai dengan jumlah suara atau berapa banyak kursi di dapat.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap partai politik bersimbol Islam, getaran moralnya menjadi teladan di tengah kebingungan massa rakyat. Para pemimpin dan ulama Muhammadiyah seakan menjadi antitesis bagi realitas politik yang tengah berlangsung di panggung politik.
Awalnya memang banyak yang meragukan peran politik Muhammadiyah. Saya pikir itu wajar dan tidak mengapa, tapi sejarah tidak bisa berbohong, kekuatan politik Muhammadiyah amat sangat terasa, menjadi warna yang kokoh dan kuat. Sesuatu yang tak bisa dibantah oleh siapapun.
Satu hal penting yang patut dicatat adalah Muhammadiyah melahirkan kolektivitas solid bahwa membangun negeri tidak bisa sendirian. Ini negeri buat semua dan harus dikerjakan dengan gotong-royong, kata Ir Soekarno, salah seorang kader Muhammadiyah dalam catatan hariannya yang menawan. (*)
Editor Sugeng Purwanto