Dinar-Dirham dan Mata Uang Tuhan ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – Zaim Saidi penggagas mata uang dinar dan dirham pada sebuah pasar di Depok Jawa Barat diamankan pihak Bareskrim Polri dengan tuduhan serius. Dia diduga melanggar Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Sikap Bareskrim Polri diduga terkait dengan pernyataan pihak Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang menegaskan, hanya mata uang rupiah yang berlaku di Indonesia, seraya menyinggung gerakan dinar-dirham yang digerakkan oleh komunitas tertentu.
Sebagian kalangan, khususnya umat Islam, menganggap mata uang dinar-dirham sebagai mata uang Islam dan menghidupkannya kembali sebagai bagian dari sunnah.
Pendapat tersebut diduga mengacu pada sebuah hadits riwayat Ahmad yang berbunyi: “Sungguh akan datang sebuah masa bagi manusia yang tidak berguna lagi kecuali dinar dan dirham.”
Hadis seperti ini maksudnya adalah “tidak berguna lagi kecuali harta.” Tetapi karena terbiasa dengan tekstualis maka diartikan letterlijk. Kalau memang seperti ini pemahamannya maka ketahuilah bahwa hadis ini dhaif karena dua faktor.
Pertama, perawi Abu Bakar bin Abi Maryam tidak menjumpai Miqdam bin Ma’di Karib. Jadi sanadnya terputus. Kedua, semua sanad hadis bersumber dari Abu Bakar bin Abi Maryam, ia mengalami ikhtilath (Majma’ Az-Zawaid).
Patuhi Uang Negara
Mata uang jika sudah disahkan sebuah negara maka kita wajib mematuhi, sebagaimana kewajiban perintah mematuhi ulil amri (an-Nisa’: 59). Dalam penafsirannya, Sahal bin Abdullah at-Tusturi berkata: “Patuhilah Pemerintah Negara dalam tujuh hal: 1) pemberlakuan uang; 2) Alat ukur dan timbang; 3) Hukum; 4) Haji; 5) Pelaksanaan Jumat; 6) Pelaksanaan dua hari raya; 7) Jihad (Tafsir al-Qurthubi 5/259).
Dinar dan dirham di masa Nabi SAW tidak ada tulisan Quran dan nama Allah. Karena dinar tersebut buatan Romawi, Persia, dan lainnya—dari negeri-negeri kufur. Uang dinar dirham Islam baru dicetak di masa Abdul Malik bin Marwan (Al-Hafidz Ibnu Al-Iraqi, Tharh At-Tatsrib, 7/219).
Dinar sendiri berasal dari nama Kaisar Romawi Denarius pada abad pertama yang menjadikan emas sebagai standar mata uang dan gambarnya tercetak pada koin emas yang dikeluarkan. Sehingga pada masa khulafaur rasyidin sekalipun, sahabat-sahabat utama Rasulullah SAW belum menganggap mata uang sebagai hal yang penting dibuat sebagai penanda kekuasaan khalifah.
Sejak Khalifah Abdul Malik bin Marwan di masa Bani Ummayah yang berkuasa pada tahun 705-715 baru mencetak uang bertuliskan lafal ‘Allah’. Cara tersebut menjadi trend, bahkan hingga saat ini: menjadikan Allah Rabb Tuhan semesta alam sebagai penjamin nilai uang.
Sebagaimana mata uang terkuat saat ini, US Dollar yang melekatkan kalimat “In God We Trust”. Tuhan dijadikan penjamin oleh pemerintah Amerika Serikat untuk meyakinkan dunia akan “kekuatan” mata uangnya.
Kekuatan nilai mata uang hakikatnya ditentukan oleh kualitas dan kekuatan ekonomi politik negara, bangsa, atau masyarakat yang mengeluarkannya. Bukan bahannya baik emas, perakm atau kertas.
Pada masa ketika ekonomi politik Romawi, Persia, dan Islam menjadi kekuatan dunia maka mata uang dinar dan dirham yang dikeluarkannya menjadi trend dan kiblat bangsa-bangsa lain.
Tidak terkecuali di Nusantara telah diketahui dan diyakini mata uang pada masa kejayaan kerajaan Majapahit bertuliskan lafal “Laa ilaha illallah”. Mengikuti trend dunia yang bersamaan dengan kejayaan Islam yang berpusat di Baghdad dan Andalusia sejak tahun 750 hingga 1492.
Revolusi Uang
Sebelum mengenal uang, transaksi antarmanusia dalam barang dan jasa dilakukan dengan barter, tukar menukar antara barang dengan barang, atau antara barang dengan jasa. Hingga kemudian manusia sepakat mengadakan alat tukar sebagai pengukur nilai barang dan jasa yang hendak dipertukarkan atau diperjualbelikan.
Uang mengalami beberapa revolusi dari tidak ada menjadi ada. Ke depan diperkirakan kembali “tidak ada”. Revolusi uang dimulai dalam bentuk manik-manik, kerang, emas, perak, dan kertas. Dan dalam proses kembali “tidak ada”, menjadi bentuk bit-bit komputer, saham sampai bit coin.
Revolusi uang yang ditengarai mengarah kembali pada “tidak adanya” bentuk, diduga membuat sebagian kalangan khususnya umat Islam menghidupkan dinar-dirham. Sebuah upaya yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan oleh otoritas moneter dan pihak berwajib.
Tidak salah jika sebagian pihak menilai penangkapan Zaim Saidi sebagai bentuk kegaduhan yang mengada-ada karena gerakannya belum terbukti mengganggu sistem moneter. Pihak Bank Indonesia ditengarai juga terlalu mencampuri permainan sebagian kecil masyarakat yang bisa dikatakan seperti sedang bermain monopoli, melakukan jual beli dengan mata uang berbeda.
Mengapa Harus Ditangkap
Penting kiranya dilakukan tabayun antarberbagai pihak yang bisa dianggap sedang berselisih paham perihal dinar-dirham. Di mana penggunaan dinar-dirham bukan suatu bentuk pelaksanaan sunnah, tetapi juga bukan suatu perilaku haram jika menggunakannya.
Sebagaimana hukum dalam muamalah, kebebasan di dalamnya sangat luas sepanjang tidak ada larangan yang jelas dan sahih sebagaimana pelarangan riba dalam jual beli serta transaksi utang-piutang.
Dinar-dirham komunitas Bang Zaim Saidi haruskah menjadi sumber kegaduhan baru setelah isu khilafah, radikalisme, seragam jilbab dan ekstremisme?
Harusnya “uang bukanlah akar dari kejahatan, tetapi uang adalah puncak dari toleransi manusia” seperti ungkapan Yuval Noah Harari. Lalu haruskan “uang menjadi alasan kita berkelahi” sebagaimana diungkapkan Karl Marx. Saatnya menjadikan “uang adalah soal kepercayaan” seperti ungkapan Adam Smith.
Semoga uang bisa menjadikan warga milenial semakin mengingat Tuhan, Rabb semesta alam seperti dalam US Dollar: “In God we trust”. Peran uang sebagai pengingat Rabb semesta alam juga mengingatkan umat Islam pada mata uang berlafal Laa ilaha illallah yang pernah menjadi mata uang terkuat abad pertengahan.
Dengan senantiasa mengingat Allah semoga hati menjadi tenang bukan semata-mata karena uang. Kejayaan Islam juga kedamaian dunia dengan izin Allah Azza wa Jalla semoga dihadirkan bersama jiwa-jiwa umat Islam dan umat manusia yang tenang. Wallahu’alam bishshawab
(*)
Dinar-Dirham dan Mata Uang Tuhan: Editor Mohammad Nurfatoni