PWMU.CO– Kampung Baduy di Lebak Banten dan Kasepuhan Ciptagelar Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi hingga kini belum mencatat kasus positif covid-19 yang terdeteksi. Dua kampung ini menarik perhatian media Australia, ABCNews untuk menulisnya.
Suku Baduy berpenduduk sekitar 12.000 jiwa tinggal di gugusan 65 desa seluas 50 kilometer persegi di Pegunungan Kendeng di Provinsi Banten. Jaraknya 160 kilometer dari ibu kota Jakarta.
Mereka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes. Merupakan sub-etnis Sunda. Orang Kanekes sejak abad ke-16 menolak pengaruh luar sebagai usaha mempertahankan pandangan dan nilai-nilai masyarakat tradisional Sunda.
Ada dua kelompok utama suku Baduy. Yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam secara ketat mempraktikkan cara hidup tradisional mereka dan dianggap sebagai pelindung keseimbangan dengan alam.
Misalnya, Baduy Dalam tidak menggunakan sabun saat mandi dan tidak menggunakan deterjen untuk mencuci pakaian karena tidak ingin mencemari air. Air bagi mereka merupakan sumber kehidupan.
Mereka mengenakan pakaian dan penutup kepala berwarna putih sebagai tanda kesucian. Mereka memiliki kontak yang sangat terbatas dengan orang luar.
Baduy Luar
Orang Baduy Luar, bisa dikenali dari pakaian hitam. Tinggal di sekitar 40 desa di sekitar kampung Baduy Dalam. Suku ini sebagai penyangga sekaligus melindungi kesucian Baduy Dalam dari pengaruh dunia luar.
Meski masih tinggal di wilayah adat, Baduy Luar tidak seketat Baduy Dalam. Mereka masih berinteraksi dengan dunia yang lebih luas dengan cara yang dirancang untuk membantu menopang Baduy Dalam.
Mereka menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan tidak menebangi pohon secara serampangan. Masyarakat Baduy juga membatasi interaksi dengan pihak luar dan meminta siapa saja yang masuk ke desa Baduy untuk menghormati tradisi masyarakatnya.
Suku Baduy mengikuti arahan seorang pemimpin yang sebut jaro. Tokoh adat Baduy yang juga Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, mengatakan, pihaknya melarang Baduy pergi ke tempat-tempat seperti Jakarta, Tangerang dan Bogor karena dianggap hotspot penularan covid-19. ”Untuk orang Baduy saya tegaskan tidak boleh kemana-mana, harus tinggal di rumah,” ujarnya.
Jaro Saija mengatakan, warga Baduy yang sudah merantau diminta pulang kampung. Sebelum memasuki permukiman adat, mereka lebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan. ”Kami menjamin permukiman Baduy bebas dari penyakit mematikan ini,” kata Saija.
”Kami juga menjaga agar pengunjung yang ingin masuk ke tanah adat Baduy menjalani pemeriksaan kesehatan,” sambungnya.
Jaro Saija juga mengatakan penduduk Baduy telah mengikuti protokol kesehatan. ”Kami mengikuti dan melaksanakan rekomendasi pemerintah seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker,” katanya. ”Orang Baduy Luar juga mencuci tangan pakai sabun karena boleh.”
Wisata Diketati
Pada masa awal pandemi covid-19, tidak ada pengunjung atau wisatawan yang diperbolehkan menghadiri ritual adat di desa Baduy yang biasanya terbuka untuk umum.
Di masa ini orang Baduy menikmati kehidupan mereka seperti biasa. Bertani di sawah, beternak lebah, mengolah gula aren, dan menenun kain.
”Sebenarnya sampai saat ini masih dilarang masuk ke daerah Baduy, namun ada beberapa pengunjung yang datang pada hari Sabtu dan Minggu. Jadi buat kami yang paling penting sekarang adalah mereka harus patuh aturan kesehatan,” kata Jaro Saija.
Persyaratan mengunjungi pemukiman masyarakat Baduy diperketat. Semua pintu masuk kawasan tanah adat sudah dilengkapi bak cuci tangan. Satu syarat lain mengunjungi desa Baduy adalah menunjukkan hasil tes antigen. ”Kami menolak tamu yang tidak mematuhi itu,” tutur Jaro Saija.
Masyarakat Baduy juga melakukan sejumlah ritual untu cegah covid. ”Saya mengumpulkan tetua adat dan berdoa, ada ritual khusus untuk keselamatan warga. Di pintu gerbang-pintu gerbang itu harus ditanemi air, ada doa-doanya,” cerita Jaro Saija.
Kasepuhan Ciptagelar
Di desa Kasepuhan Ciptagelar Cisolok berada di Pegunungan Halimun-Salak menerapkan karantina wilayah untuk mencegah covid.
Juru bicara komunitas Yoyo Yogasmana mengatakan, karantina wilayah Pertama, memberlakukan kebijakan blockdown. Bukan lockdown. Menutup semua akses masuk bagi pendatang dari luar masyarakat adat ke kawasan mereka.
Menurut Yoyo, istilah blockdown digunakan karena “biasanya banyak orang dari luar datang ke sini. Sementara orang sini mah nggak kemana-mana.”
Menutup kunjungan wisatawan. Seperti acara Seren Taun yang diadakan akhir Agustus 2020 hanya internal. Tertutup untuk wisatawan.
Kedua, sambung dia, menggelar ritual selamatan untuk meminta perlindungan sesuai adat akhir Maret lalu. Dalam pertemuan para kolot (tetua adat) membicarakan langkah menghadapi covid-19. Para sesepuh bersepakat: adakan ritual selametan.
Imbauan 3M juga diterapkan. Memakai masker, cuci tangan menjadi kebiasaan baru, juga jaga jarak. Tapi persediaan masker terbatas. Apalagi ketika ada warga Kasepuhan hendak ke kota wajib pakai masker. Warga pun punya siasat mengatasinya.
”Ya kami pakai saja ikat kepala. Kalau naik motor ikat kepalanya dilepas dijadikan masker. Selesai deh, aman,” kata Yoyo sambil tertawa.
Cerita lainnya soal status Orang Dalam Pengawasan (ODP) karena kerap bepergian ke kota. ”Orang yang dibilang ODP kan harus jaga jarak. Ya sudah, saat mereka balik dari kota, langsung jaga jarak ke ladang, bekerja. Kan jauh tuh dari orang-orang,” tuturnya lagi. (*)
Editor Sugeng Purwanto