Memilih Takdir: Menulis atau Ditulis? Kolom oleh Fathurrahman Syuhadi, penulis produktif PWMU.CO, Ketua MPK PDM Lamongan.
PWMU.CO – Ditulis atau menulis adalah aktivitas tidak jauh berbeda. Sama-sama mengeluarkan enerji dan pikiran.
Sebelum ada wabah pandemi Covid 19, aktivitas saya banyak ditulis oleh para kontributor PWMU.CO.
Hampir setiap bulan, satu atau dua aktivitas kegiatan saya di Hizbul Wathan (HW) maupun di Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan menghiasi media ini.
Tentu sebagai Ketua Kwarda HW dan Ketua MPK PDM Lamongan saya senang ditulis bila ada kegiatan. Ide dan gagasan segar yang saya sampaikan di kegiatan bisa nyambung kepada pembaca.
Setiap kegiatan HW atau MPK harus ada wacana baru yang bisa ditulis para kontributor. Kegiatan kecil atau besar harus ditulis dan diketahui warga persyarikatan.
Bila sebulan tidak ada kegiatan organisasi. Saya bersama teman teman aktivis di HW atau MPK mencoba membuat isu atau gagasan baru. Gol-nya harus ada yang ditulis.
Ternyata kondisi alam dan zaman berubah.
Pada saat ada wabah pandemi Covid019 ini, praktis kegiatan HW dan MPK tidak bisa tatap muka. Hal ini sesuai instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tentu tidak ada kegiatan saya yang bisa ditulis.
Agar aktivitas organisasi tetap terjaga dinamikanya lewat tulisan. Maka rumusnya harus dibalik.
Yang biasanya kegiatan saya ditulis, maka saat pandemi ini saya harus menulis. Prinsipnya yang bisa ditulis, maka jadilah tulisan yang bisa dinikmati pembaca.
Mula mula saya menulis opini. Saya tulis pengalaman hidup. Saya tulis ide-ide segar. Lalu saya kirim ke redaksi.
Begitu dimuat saya senang sekali. Senang karena pengalaman dan gagasan saya bisa dibaca orang lain. Senang karena saya bisa menulis untuk media.
Menulis Biografi Almarhum
Berbekal pengalaman pernah menulis sejarah Muhammadiyah, saya terinspirasi untuk menulis riwayat hidup tokoh-tokohnya. Kepribadiannya yang dapat dijadikan uswatun hasanah penting untuk ditulis. Jejaknya di organisasi maupun keluarganya menjadi bahan tulisan. Begitu juga dengan aktivitas anak-anaknya.
Pada awal tulisan saya tentang biografi tokoh masih jauh dari harapan. Tata bahasa maupun isinya masih belum memenuhi kreteria. Tapi saya berkeyakinan para editor akan memperhalus tulisan saya sehingga enak dibaca.
Pada akhirnya saya keterusan menulis profil tokoh aktivis persyarikatan yang sudah wafat. Pengalaman bersahabat dengan almarhum dan keluarganya memudahkan saya menulis.
Ada sebuah kebanggaan. Putra-putri para tokoh persyarikatan setelah ditinggal wafat orang tuanya kebanyakan sudah jauh dari aktivitas pergerakan Muhammadiyah. Begitu saya banyak berkomunikasi menulis tentang orangtuanya, mereka bersemangat untuk aktif di persyarikatan seperti orangtuanya.
Di sisi lain, biasanya kegiatan saya di HW atau MPK diberitakan. Kini saya harus memberitakan kegiatan aktivis lain. Karena masih wabah pandemi, saya harus mengikuti kaidah pemberitaan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.
Apa yang perlu dikabarkan kepada pembaca langsung saya tulis. Kabar senang maupun susah. Pokoknya ditulis dengan secepatnya. Ada kekurangan pasti akan diperbaiki editor.
Momentum Hari Pers Nasional ini harus dimanfaatkan untuk menulis apa yang bisa kita tulis. Untuk mengabarkan kegiatan Muhammadiyah bagian penting dalam dakwah di era medsos yang semakin canggih ini.
Selamat Hari Pers Nasional. Mau mengambil peran ditulis atau menulis?
Tapi yang jelas, menulis atau ditulis adalah takdir. Dan saya berdoa agar masih diberi kesempatan Allah untuk terus menulis. Artinya, jangan dulu saya jadi bahan ditulis dalam obituarium. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni