PWMU.CO – Sudah Tuwuk Beribadah pada Allah? Kolom oleh Bekti Sawiji, Mahasiswa S3 Universitas Negeri Islam (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Benarkah kita sudah tuwuk beribadah pada Allah? Suatu ketika saya mendengar percakapan tetangga yang membahas masalah beribadah: shalat.
Saat dia ditanya mengapa dia tidak pulang untuk shalat—karena waktu shalat sudah hampir habis—dia menjawab dengan ungkapan yang sangat mengejutkan.
Tetangga saya yang berumur kurang dari 35 tahun ini menjawab bahwa dia sudah tuwuk shalat. ‘Tuwuk’ adalah ungkapan bahasa Jawa yang memiliki arti perasaan puas akibat sudah banyak atau terlalu sering melakukan atau memakan sesuatu.
Ungkapan ini juga menyiratkan bahwa si pembicara enggan melakukan aktivitas yang sama akibat terlalu sering dan merasa apa yang dilakukan selama ini sudah cukup. Tidak perlu lagi.
Tak Ada Berhenti Shalat
Shalat bukanlah suatu aktivitas temporer sehingga seseorang perlu merasa tuwuk. Ibaratnya, ketika seseorang merasa gendut dan berat badannya nak maka dia akan melakukan diet dan olahraga. Begitu dia sudah mencapai berat badan ideal dia akan berhenti dari aktivitas diet dan olahraga tadi.
Shalat tidak demikian. Shalat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang sudah akil baligh. Saking wajibnya, shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Bepergian dan sakit juga tidak membatalkan kewajiban untuk melaksanakan shalat meski tentu ada rukhsah (keringanan).
Shalat adalah salah satu perwujudan keimanan seseorang kepada Allah SWT. Shalat juga bentuk peribadahan kepada Allah SWT. Beribadah kepada Allah merupakan perintah yang banyak disebut dalam al-Quran misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 21:
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Sembahlah (beribadahlah kepada) Tuhanmu ini bukanlah perintah sementara yang apabila sudah pernah dilakukan, seseorang bisa berhenti melakukannya lagi. Bukan! Ini perintah untuk sepanjang masa sampai maut menghentikan ibadah manusia kepada Allah.
Penyembahan kepada Allah yang sangat spesial adalah shalat. Ibadah inilah yang kelak di hari kiamat akan menyelamatkan manusia karena yang pertama kali dihisab di akhirat adalah perihal shalat.
Dalam Hadits Jami’ At-Tirmidzi No. 378 Kitab Shalat dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika shalatnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung.”
Ibadah Tak Pernah Cukup
Jadi tidak benar jika kita sudah merasa tuwuk dalam beribadah apapun kepada Allah SWT. Malah, jika boleh dikatakan maka sesungguhnya tidak akan pernah ibadah kita itu cukup apalagi kalau dibandingkan dengan (digunakan untuk menebus) dosa-dosa kita.
Kita makhluk yang maha kecil ini teramat sulit untuk memenuhi seluruh ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah. Orang yang sudah banyak amal jariahnya, belum tentu banyak juga nilai shalatnya.
Orang yang sudah shalat dengan baik belum tentu sudah berbuat baik kepada sesama. Orang yang sudah puasa ramadhan dan puasa sunnah, belum tentu sudah berinfaq. Kebaikan-kebaikan ibadah parsial ini acap dilakukan oleh kita sebagai umat Muslim.
Sikapi dengan Introspeksi
Saya menyikapi pernyataan tetangga tadi dengan cara saya sendiri. Tidak perlu saya memberi dia tausiah (karena belum punya kapasitas) agar dia sadar akan kesombongannya itu.
Saya lebih memilih untuk meninjau dan mengoreksi diri saya sendiri. Sudahkah saya banyak beribadah? Bagaimana shalat saya, puasa, zakat, infak, dan sedekah saya. Bagaimana ngaji dan ibadah saya yang lain?
Sebaliknya seberapa banyak dosa yang sudah saya lakukan kepada Allah? Penilaian terhadap diri sendiri ini lebih penting daripada sibuk menghakimi orang lain.
Setelah menilai diri—untuk memudahkan saya memperbanyak ibadah dan mencegah perbuatan dosa— saya lalu merenung dan menemukan sebuah analogi. Saya selalu membandingkan lamanya hidup di dunia dan di akhirat yang nyaris tidak bisa dibandingkan.
Untuk kebahagian dan keselamatan yang kekal di akhirat mengapa saya harus memanfaatkan dunia saya yang sebentar ini untuk berbuat dosa?
Analogi Meteran
Mari kita sejenak melihat dan membayangkan alat ukur panjang yaitu meter(an). Kita pasti pernah tahu orang mengukur tanah dengan menggunakan meteran yang cukup panjang: ada yang mencapai 100 meter.
Coba kita potong meteran itu sepanjang sepuluh cm. Hal ini kita lakukan untuk memvisualisasikan lamanya hidup di dunia dan akhirat yang sudah dikonversi ke satuan panjang.
Sambil kita memegang potongan sepanjang 10 cm itu kita bayangkan meteran tadi diulur sampai habis. Tanyakan pada diri kita, apakah perbandingan lama hidup di dunia dan akhirat kira-kira seperti itu: 10 cm berbanding 100 meter?
Tentu tidak bukan? Mungkin dengan dua buah meteran—200 m–masih kurang bukan? Saru lusin meteran? Satu pabrik?
Baiklah. Andaikan seluruh meteran, yang diproduksi pabrik-pabrik di seluruh dunia yang dibuat—sejak kali pertama pabrik buka sampai kelak tidak ada lagi pabrik meteran— disambung menjadi satu, apakah panjangnya itu mencerminkan perbandingan tadi.
Masih kurang! Akhirat adalah abadi, tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan panjangnya meteran yang ada di dunia ini. Maka, akankah kehidupan yang kekal itu akan kita korbankan dengan kesenangan yang hanya 10 cm tadi. Ingat 10 cm!
Jadi, jangan berbuat dosa sekecil apapun dan jangan pernah merasa tuwuk beribadah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni