PWMU.CO – Generasi milenial butuh role model Jenderal Soedirman. Demikian kata Drs M Afnan Hadikusumo dalam Dialog Kebangsaan Pra Tanwir HW.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Tapak Suci Muhammadiyah tersebut menyampaikannya dalam kegiatan virtual Zoom Clouds Meeting bertema Menguatkan Karakter Muhammadiyah dan Bangsa, Jumat (12/2/21).
Afnan Hadikusumo menyampaikan, sejak awal kehadirannya, Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dengan peran kehidupan berbangsa dan bernegara. “Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah sudah melaksanakan dakwah dalam berbagai metode,” ujarnya.
Pertama, kata dia, melalui dakwah bil lisan, dengan pengajian. Kedua, bil hal dengan perbuatan, dengan keteladan, seperti mendirikan rumah sakit, membagikan zakat dengan kepanitiaan, dan menjalankan perintah surat al-Maun dengan mendirikan panti asuhan. “Al-Quran tidak hanya dibaca, tapi dipraktikkan dengan tindakan nyata,” paparnya.
Ketiga, dakwah bit tadwin, yakni dengan tulisan. Banyak tokoh berjuang dengan tulisan agar pikiran dibaca orang lain. “Walaupun tradisi membaca masih sangat rendah, tapi banyak pemikiran yang bisa dibaca karena masih tersimpan dalam arsip yang baik, termasuk di Perpustakaan Leiden, Belanda,” terang Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Kelima, lanjutnya, adalah dakwah bil hikmah, dengan arif dan bijaksana. Mengingatkan tanpa membuat malu atau tersinggung.
Peran Historis
Dalam menjalankan peran kebangsaannya, tambah Afnan, secara historis Muhammadiyah sudah terbaca perannya. Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari peran berbangsa. tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia. Ini terlihat dari kesediaan Ahmad Dahlan menjadi penasehat Sarekat Islam dan Budi Utomo. Termasuk sering dimintai nasehat oleh Ki Hajar Dewantara.
“Nama Ki Bagus Hadikusumo itu, konon kata ‘Ki’ diperoleh dari gelar yang diberikan Taman Siswa, karena sering diminta untuk mengajar oleh Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa yang nasionalis butuh sentuhan ideologis yang diberikan para tokoh Muhammadiyah,” ungkap Afnan.
Peran lainnya terlihat pada tahun 1937, saat Muhammadiyah terlibat pembentukan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dalam rangka melawan pendudukan penjajahan Belanda. Tahun 1943 dan 1945 Muhammadiyah terlibat dalam pembentukan Masyumi.
Tahun 1959-1966 Muhammadiyah diberi kesempatan masuk politik praktis di DPRGR. Tahun 1966 Muhammadiyah memprakarsai terbentuknya Parmusi. “Itulah peran Muhammadiyah dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini secara otomatis diikuti oleh Hizbul Wathan,” tuturnya.
Pendidikan Kepanduan
Hizbul Wathan, kata dia, menerjemahkan nilai-nilai Islam yang dimasukkan dalam pendidikan kepanduan, agar memiliki karakter yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Ali Imran ayat 102. “Kedua karakter solidaritas dan kerja sama seperti yang dituangkan dalam al-Quran. Wataawanuu ‘alal birri wattaqwa, walaa t’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. Bekerja sama dalam ketakwaan dan jangan bekerja sama dalam kejahatan,” tambahnya.
Ketiga, menurut Afnan adalah karakter loyalitas. Loyal dengan organisasi, loyal kepada senior. Dalam al-Quran disebut alwala’. Loyal kepada organisasi, loyal kepada bangsa. Keempat karakter kedisplinan. Ini diajarkan dalam baris berbaris. Kelima nilai-nilai ketegasan. “Hal ini seperti yang dimiliki oleh Jenderal Soedirman. Memiliki kelebihan,” ungkapnya.
Waktu perang gerilya, kata dia, ketika tiba waktu shalat ya shalat. Kalau ada masjid ya di masjid, kalau tidak ada ya tetap shalat tepat waktu. “Termasuk juga puasa Senin-Kamis. Ini sedang perang, lho,” tegas cucu Ki Bagus Hadi Kusumo ini.
Generasi Milenial Butuh Keteladanan
Menurut Afnan, Muhammadiyah mengamanatkan kepada warganya untuk selalu memiliki kepedulian terhadap bangsa. “Tidak boleh apatis terhadap politik, melalui berbagai saluruan dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, sebagaimana Ali Imran ayat 110,” katanya.
Walaupun saat ini, tambah dia, ada problem kebangsaan, Hizbul Wathan bisa terlibat dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pertama problem keteladanan. Sekarang sangat susah memperoleh keteladalanan yang nyata. “Tokoh seperti Jenderal Soedirman sudah jelas, tapi generasi milenial butuh role model yang nyata, tidak jauh dari zaman mereka,” kata Afnan.
Kedua, lanjutnya, adalah problem sistem politik. Indonesia terjebak pada demokrasi liberal. Orang kaya bisa menguasai partai dengan menggunakan modal mereka. “Juga ada canibalism politic, sama-sama calon saling memangsa. Dalam satu partai saling mangsa, apalagi dengan lain partai,”papar keponakan Djarnawi Hadikusumo ini.
Muslim yang Unggul
Sayyidina Ali, kata Afnan, pernah membagi persoalan mental ini pada tiga bagian. Pertama adalah budak, orang hanya taat kepada tuannya. Kedua mental pedagang. Orang yang hanya memikirkan untung dan rugi. “Ketika sebuah undang-undang dibuat yang dipikirkan hanya keuntungan,” ungkapnya.
Ketiga adalah mental pragmatis, yang sejak zaman Belanda sudah ada. Ada yang pragmatis, ada yang idealis. “Tantangan Muhammadiyah dan ortom ke depan adalah bagaimana bisa menciptakan individu muslim yang unggul. Hal ini mudah dalam pelatihan, tapi menantang dalam kehidupan sehari-hari,” tandas mantan anggota DPRD Yogyakarta ini.
Sebelumnya, dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Kwartir Pusat (Kwarpus) Hizbul Wathan (HW) Ramanda Endro Widyo menyampaikan, sebagai organisasi otonom Muhammadiyah (Ortom), HW telah mendapat amanat dalam melaksanakan semua kegiatannya.
“Yakni harus diarahkan kepada karakter melalui kepemilikan dan penghayatan lima macam cinta, yang berbasis ketaqwaan, keimanan, dan rasa syukur kepada Allah,” paparnya.
Menurut dia, kegiatan harus menyenangkan, menarik, menantang, dan mendidik dengan cara bernyanyi, bercerita, bermain, dan berpetualang. “Di sini pendidikan karakater Hizbul Wathan ditanamkan,” papar mantan Sekretaris Umum HW ini.
Lima Cinta HW
Menanamkan karakter dalam Hizbul Wathan, lanjut dia, juga harus mengarahkan pada lima cinta. “Pertama cinta kepada Allah. Jika semua dekat denga Allah maka semua akan berhasil. Sebagaimana diikrarkan dalam janji Hizbul Wathan,” ungkapnya.
Kedua cinta tanah air bangsa dan negara. Hal ini tertuang dalam janji pandu Hizbul Wathan bait satu dan dua. Ketiga cinta pada kolega, teman, dan handai taulan, ini sebagai bentuk amal shalih.
“Keempat cinta pada keluarga dan lingkungan. Sebagai bentuk pertolongan dan perlindungan kepada masyarakat. Kelima cinta pada dirinya sendiri, menghindarkan dari segala yang merugikan dirinya sendiri seperti, narkoba, korupsi, dzalim, dan lain-lain,” urainya. (*)
Penulis Moh Ernam. Editor Darul Setiawan.