
Konspirasi Meradikalkan Din Syamsuddin oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Penyematan radikal kepada Din Syamsuddin adalah tragedi demokrasi. Simbol ketidaktahuan dan kebodohan. Siapa pun pelakunya. Ini bagian konspirasi paling buruk, intimidasi ideologis yang melahirkan keresahan umum. Din radikal adalah ikhtiar menciptakan stereotype simplistis untuk menunjukkan wajah buruk Islam.
Tuduhan stereotype ini tak lepas dari pertarungan Islam dengan sekulerisme yang sedang berproses di negeri ini. Dalam sebuah tata krama demokrasi, ikhtiar membangun keseimbangan adalah kebutuhan.
Berbeda ketika penguasa dibenam takut karena banyak soal disembunyikan. Eropa abad tengah adalah contoh buruk ketika bui diisi penuh dengan siapa pun yang dianggap musuh negara atas dasar kriminalisasi.
Di antara agama-agama yang ada mungkin hanya Islam yang banyak dipertentangkan, dizalimi dan ditindas secara teologis. Pemimpin Islam kerap dipersekusi dengan tidak adil atas nama kebebasan dan kemerdekaan beragama yang dibangun.
Tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban bukan hanya masih ada tapi makin relevan. Islam menjadi agama yang paling sering mendapat perlakuan buruk. Bahkan secara sosiologis, Islam juga mengalami penindasan, penjajahan fisik, dan pembunuhan karakter.
Kolonialisme dan imperialisme Barat atas negara-negara Islam di Asia, Afrika, dan Timur Tengah setidaknya telah membuat hubungan Islam dan Eropa Kristen terus memburuk.
Barat tetap saja arogan. Bahkan hingga paro pertama abad 21 tak ada tanda-tanda itikad baik negara Barat memperbaiki hubungan. Bahkan sebaliknya bentuk penindasan dan penjajahan terhadap negara-negara Islam kian buruk dan variatif. Artinya, secara teologis Islam ditempatkan sebagai musuh bersama yang diberi cap sebagai musuh kemanusian dan peradaban.
Samuel Huntington memberi batasan tegas tentang tesis benturan peradaban. Islam digambarkan sebagai agresor. Benturan yang paling keras akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan permusuhan).
Fobia Islam
Jihad dan radikal, dua kata ini selalu dikaitkan dengan Islam dan dipersepsi sedemikian rupa seperti hantu dan melahirkan fobia. Kemudian dicarikan bentuknya secara fisik: celana cingkrang, jenggot, dan cadar. Dipadankan dengan khilafah, radikal ekstrem dan segala upaya untuk mengubah dasar Pancasila.
Kafir dan jihad sering digunakan secara simpang siur. Kerap melahirkan pemahaman dekonstruktif dan keburu menjadi citra buruk. Kabar buruknya adalah penggunaan idiom radikal, ekstrem dan fundamentalis jauh menyimpang dari makna teologis dan diseret pada wilayah politis.
Politisasi inilah yang kemudian banyak merepotkan, sebab digunakan untuk menunjuk pada lawan politik. Bahkan melebar pada istilah teknis lainnya semisal radikal, ekstrem, teroris, fundamentalis dan lainnya yang digunakan hanya untuk sekadar membedakan lawan politik, bukan yang ideologis. Ironisnya kemudian tidak bisa membedakan kapan digunakan secara politis dan kapan teologis. Sebuah pemisahan yang tidak mungkin di tengah politik identitas.
Sayangnya kebanyakan tak mau bersabar dan berpikir proporsional. Bahkan anehnya lagi pertengkaran penggunaan istilah kafir, misalnya, lebih seru di kalangan sesama muslim yang berbeda pilihan politiknya ketimbang dengan kafir generik.
Bisa saja ini bagian dari rencana konspirasi Barat untuk mendekonstruksi Islam yang dipersepsi sebagai ancaman. Digambarkan sebagai kill every thing. Membunuh semua sistem baik teologis dan sosial. Karena bentuk azalinya memang demikian. Karenanya Islam harus dilemahkan secara struktural dan teologis.
Maka perlawanan tak hanya cukup dengan fisik tapi butuh perlawanan konseptual sentrifugal, membuat opini bukan sebatas komentator untuk mematahkan image buruk yang mereka bangun.
Pemikiran-pemikiran Fazhlurrahman, Syeid Husein Nashr, Nurcholis Madjid, Chandra Muzhafar, Mahathir Mohammad, Ziauddin Sardar, Syafii Maarif, Din Syamsudin punya sumbangan besar untuk menjelaskan kepada Barat apa itu Islam meski di internal Islam para pemikir ini dicap liberal, di eksternal disebut radikal dan dimusuhi. Itulah intimidasi ideologi yang nyata. (*)
Editor Sugeng Purwanto