PWMU.CO – Ujian praktik dilaksanakan siswa-siswi kelas XII IPA dan IPS SMA Muhammadiyah 4 (Smamiv) Surabaya yang berlangsung mulai (15/02/2021) hingga (18/02/2021)
Tahun ini menjadi tantangan tersendiri bagi para siswa karena ujian praktik ini dilaksanakan secara online dengan mengirim foto maupun video hasil praktik mereka. Salah satu yang menjadi perhatian adalah praktik membuat batik shibori.
Guru Seni Budaya Panca Setyaning Ati SPd mengimbau kepada para siswa untuk segera merancang dan menentukan bahan apa yang akan digunakan sebagai media membatik. Tak lupa juga menentukan model baju yang diinginkan. Sehingga siswa sudah menyiapkan bahan kainnya sendiri dan pewarnanya.
Panca menjelaskan, memilih batik shibori sebagai objek praktik karena merupakan budaya asli Indonesia yang harus dilestarikan, “Jika tidak kita lestarikan sendiri, maka akan diakui dan diambil oleh negara lain,” katanya.
Sehingga, menurutnya anak-anak muda penerus bangsa inilah yang seharusnya meneruskan pelestarian itu. Selain itu, batik shibori dinilai lebih simple dari pada batik tulis.
“Dalam pembuatannya, batik shibori tidak memerlukan waktu yang lama seperti batik tulis. Ini hanya dilakukan dalam beberapa jam saja sudah jadi. Biaya yang dikeluarkan pun tidak terlalu mahal dibandingkan dengan batik tulis,” terangnya.
Mengenal Batik Shibori
Istilah batik Shibori berasal dari Jepang. Shibori berasal dari kata kerja ‘shiboru’ yakni merupakan teknik pewarnaan kain yang mengandalkan ikatan dan celupan.
Motif yang dihasilkan seringkali tak jauh berbeda dengan batik (meskipun dari segi pengerjaan lebih mudah dan sederhana). Tak heran jenis kain yang satu ini acap kali disebut dengan batik asal Jepang.
Namun, negara Indonesia sendiri punya batik khas yang serupa dengan batik shibori yaitu batik ikat celup atau lebih familiar disebut batik jumput.
Di nusantara atau di daerah-daerah lain juga ada batik jumput dengan nama yang berbeda, misalnya di Kalimantan namanya Sasirangan, di Palembang namanya Tie Dyi, sedangkan di Jawa khususnya daerah Solo atau Yogyakarta namanya batik jumput atau celup.
Beda batik shibori dengan batik jumput terletak pada teknik pembuatannya. Batik jumput memakai kelereng yang diikat untuk memunculkan motifnya, sedangkan batik shibori lebih mengarah ke lipatan-lipatan kain.
Saat ini motif-motif batik jumput memang sedang booming di kalangan anak muda milenial. Namun mereka lebih mengenal dengan sebutan batik shibori atau tie dyi karena terdengar lebih keren sehingga membuat mereka penasaran dan tertarik untuk mempelajarinya.
Kendala Ujian Praktik di Tengah Pandemi
Panca menuturkan, sebenarnya banyak kendala yang dihadapi guru maupun siswa dengan adanya pandemi ini.
“Pertama, pembelajaran secara daring tentunya berbeda dengan pembelajaran ketika tatap muka, yang mana ketika dijelaskan anak-anak bisa bebas bertanya sebanyak mungkin ketika belum paham,” ucapnya.
Kedua, dia tidak dapat mendemonstrasikan secara langsung di hadapan para siswa ataupun mendampingi mereka selama proses pembatikan. Jadi harus benar-benar memutar otak agar ujian praktik ini tetap berlangsung.
Dia mengatakan, pada tahun sebelumnya, siswa membatik pada kain polos kemudian dijahit menjadi sebuah baju. Sekarang diganti dengan kaos yang sudah jadi yang banyak dijual di toko-toko maupun pasar.
“Atau bisa juga menggunakan pakaian mereka yang sudah usang sehingga bisa dibatik dan dipermak ulang. Karena pandemi ini juga berimbas pada perekonomian kita semua, jadi saya tidak mengharuskan para siswa untuk membeli kain yang baru,” tuturnya.
Panca mengaku was-was, bagaimana jika para siswa tidak berhasil praktik membuat batik shibori. Namun kekhawatiran itu sirna setelah tahu hasil karya para siswa yang begitu menakjubkan.
“Maa sya Allah. Ternyata di luar dugaan. Dengan adanya pandemi ini membuat siswa lebih mandiri dan berusaha agar batik shibori mereka jadi,” ungkapnya.
Siswa yang belum paham akan melihat tutorial di youtube. Sehingga mereka bereksperimen, bereksplorasi, dan menemukan cara-cara baru yang unik.
“Selain itu juga ada timbal balik antara guru dan siswa dengan saling sharing menemukan eksperimen-eksperimen yang tidak disengaja oleh siswa,” terangnya.
Jika ditanya apakah dari sekian murid ada yang gagal, tentunya ada. Namun dari kegagalan itu akhirnya para siswa mengerti apa yang menjadi penyebab kegagalan tersebut. Apakah dari jenis kainnya, pencampuran warnanya, tehniknya, maupun takaran dan perbandingan airnya.
Mengajak Siswa Terampil dan Mandiri
Dengan memilih atau mengajarkan batik shibori ke anak-anak, secara tidak langsung Panca berharap, bukan hanya pengetahuan saja yang didapat, tetapi juga skill (ketrampilan).
“Insyaallah ini sangat bermanfaat untuk bekal mereka ke depan dan dapat dijadikan sebagai modal usaha untuk masa depannya,” kata Panca.
Menurutnya hal ini juga untuk menggali potensi dan kreativitas siswa dalam pengaplikasian warna maupun teknik dalam pembuatan motif.
“Tidak usah menunggu setelah mereka lulus. Saat ini pun sudah ada yang membuat ketrampilan batik shibori ini kemudian dijual ke teman-temannya. Tapi bukan teman sesama Smamiv. melainkan komunitas mereka sendiri,” jelas Panca.
Jadi, dia ingin mengajarkan para siswa untuk mandiri dengan menjadi seorang pengusaha kemudian dapat menciptakan lapangan kerja. (*)
Kontributor Wahyu Prihantini Editor Nely Izzatul