Ing Sinyal Sung Tulodho oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Ing sinyal sung tulodho, ing kuota mangun karso, tut wifi handayani.
Itu plesetan dari slogan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika memasuki sekolah online di masa pandemi covid-19. Plesetan ini beredar di media sosial. Maknanya sudah berbeda jauh dengan slogan aslinya.
Aslinya berbunyi Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Artinya, dalam proses pendidikan itu di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang selalu mendukung.
Di zaman sekolah online yang sudah berlangsung setahun ini, slogan plesetan itu bermakna ada sinyal baru bisa memberi contoh, ada kuota bisa semangat, punya wifi lebih mendukung. Slogan lelucon Ing sinyal sung tulodho, ing kuota mangun karso, tut wifi handayani bisa menghibur hati di masa getir ini.
Plesetan slogan itu adalah cara masyarakat menggambarkan ketidakberdayaannya mengikuti sekolah online. Sebab sekolah ini menuntut kecanggihan teknologi internet, satelit, dan perangkat HP, laptop, atau komputer.
Pakar pendidikan boleh saja nggedabrus bahwa sekolah online adalah proses pembelajaran masa depan yang tak perlu lagi membangun fasilitas gedung sekolah. Belajar bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja dengan cara online. Tapi bagi rakyat miskin apalagi yang tinggal terpencil gambaran ideal sekolah masa depan itu ambyar.
Sebab langit rumah mereka tak dilalui sinyal internet maupun jaringan wifi. Mereka juga tak mampu membeli HP android meskipun yang harganya murah. Kalau pun bisa beli HP android murah, ternyata susah juga dipakai belajar online karena perangkatnya lemot.
Jadi sekolah masa depan itu hanya milik orang kota dan punya uang. Karena di kota jaringan internet tersedia. Operator telepon seluler lebih banyak membidik orang kota jadi pangsa pasar sehingga menyediakan jaringannya. Di desa dan pelosok masih susah sinyal. Susahnya lagi sinyal belum bisa dibeli.
Biaya Tinggi
Sekolah online meminta biaya tinggi. Selain membayar SPP, sekarang orangtua harus menyediakan uang kuota atau dana langganan wifi. Kemendikbud mencoba memberi bantuan uang kuota Rp 100 ribu per bulan. Walaupun tidak semua murid menerimanya.
Uang Rp 100 ribu itu kalau dibelikan paket kuota dapat 15 GB. Satu kali zoom untuk belajar online selama 45 menit butuh 1 GB. Belajar online sehari bisa dua kali sehingga butuh 2 GB. Jadi paket kuota 15 GB itu hanya cukup untuk tujuh hari. Hari-hari berikutnya tanggungan orangtua.
Karena itulah di saat belajar online berlangsung tidak selalu dihadiri penuh oleh siswa satu kelas. Kadang ada sepuluh murid tak ikut. Bahkan suatu waktu hanya separo siswa yang hadir online. Selebihnya absen dengan alasan kehabisan kuota.
Di perkuliahan perguruan tinggi juga sama. Sering terjadi di tengah kuliah online tiba-tiba sejumlah mahasiswa menghilang dari layar monitor. Setelah ditelisik ternyata mereka kuotanya habis.
Setahun sekolah online berlangsung ternyata muncul kerinduan bertemu teman sekolah dan guru. Rindu bercengkerama dan bermain. Sangat terasa sekolah tatap muka itu lebih asyik. Apalagi menikmati cara mengajar guru yang enak didengar. Kangen juga makanan kantin. Sekolah online membosankan.
Selama pandemi ini makin terasa manusia itu sebagai makhluk sosial. Butuh berkumpul dan berinteraksi. PSBB, masker, dan jaga jarak membuatnya teralienasi. Kesepian. Sebab itu banyak yang melanggar larangan berkerumun.
Emak-Emak Protes
Di media sosial juga beredar video emak-emak mengeluh soal belajar online. Tugasnya menjadi bertambah. Mengurus rumah, mengasuh anak, memasak, melayani suami, sekarang dapat tambahan tugas menjadi guru. Mengajar matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. Tambah puyeng kepalanya sebab kebanyakan tak mampu menjalankan.
Emak-emak ini menghendaki akhiri sekolah online, dan mempertanyakan kapan sekolah dibuka lagi. Kalau situasi ini berlangsung lebih lama mereka khawatir bisa stress dan stroke. Sebab tiap hari uring-uringan dengan anak saat mendampingi sekolah online.
Urusan belajar, ada perbedaan sikap dan psikologi ketika anak berhadapan dengan guru dan emaknya. Kepada guru, anak lebih percaya dan memperhatikan dibandingkan kepada emaknya. Mungkin di benak anak, terbayang emaknya ini tukang ngomel bukan guru.
Dari pengalaman seperti ini ternyata tidak setiap keluarga bisa menjadi ruang belajar. Tidak semua orangtua bisa mengajari anaknya. Karena itu butuh sekolah dan guru yang mengajarkan ilmu dan pengalaman hidup.
Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana dalam tataran praktik anjuran deschooling society itu dilaksanakan. Hanya orangtua yang punya kecerdasan dan waktu luang yang bisa melakukan. Orangtua miskin yang keduanya harus bekerja sulit melakukan. Terbukti anak-anak keluarga miskin banyak telantar, putus sekolah, lalu menjadi anak jalanan.
Ada yang praktik home schooling tapi ini pun dilaksanakan dengan menghadirkan guru di rumah. Hanya orang kaya yang bisa terapkan ini karena membayar guru privat.
Memang asal mula sekolah itu untuk memenuhi kebutuhan industri. Mencetak tenaga terampil guna menjadi buruh menjalankan mesin pabrik. Munculnya sekolah di Indonesia pun saat zaman kolonial. Ketika perkebunan dan pabrik milik Belanda itu perlu tenaga rendahan. Maka dibuka Tweede School. Sekolah kelas dua. Untuk pribumi. Mencetak juru tulis dan juru pembukuan. Sekolah kelas utama hanya untuk anak-anak Belanda. Dari sinilah asal mula orang pribumi selalu bercita-cita menjadi pegawai negeri. Sudah bangga sebagai juru tulis.
Learning Loss
Hanya pondok pesantren tradisional yang lepas dari tuntutan dunia industri. Pesantren mengajarkan agama yang tak dibutuhkan industri kapitalis. Melahirkan ustadz, kiai sebagai juru dakwah. Hidup dengan bertani atau berdagang. Namun selama bertahun-tahun kalangan terdidik dari pesantren inilah yang mencerdaskan anak negeri sebelum kolonial datang. Mengenalkan huruf dan pedoman hidup.
Apakah pondok pesantren yang tepat menjadi model deschooling society? Pembelajaran berbasis pada masyarakat untuk kepentingan masyarakat bukan industri kapitalis. Pesantren melahirkan manusia merdeka yang mampu memicu perkembangan dan kecerdasan masyarakat dengan dasar teologis. Pesantren tak pernah melahirkan santri yang bercita-cita jadi pegawai negeri.
Terlepas semua itu, masalah sekolah online harus segera dibenahi. Sudah muncul istilah learning loss untuk murid yang kehilangan pengalaman belajarnya. Kompetensi dan capaian belajar menurun. Akibat kurangnya kualitas dan fasilitas bagi anak yang menjalankan sekolah online. Juga kesenjangan kualitas antara yang punya akses teknologi dan yang tidak.
Pandemi covid-19 harus segera diatasi pemerintah. Uang yang dikeluarkan sudah triliunan. Itu pun bersumber dari utang. Jangan hanya mikir korupsi dan menang Pemilu. Kalau sekolah online diteruskan seperti ini maka learning loss makin lebar. Akibatnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya tertulis di Pembukaan UUD 45. (*)
Editor Sugeng Purwanto