Berita Ramah Anak dari Sisi Pembaca, kolom oleh Bekti Sawiji. Mahasiswa S3 Universitas Negeri Islam (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
PWMU.CO – Setiap pemberitaan di media, apapun, akan memberikan dampak bagi para pembacanya. Termasuk pembaca yang berusia belia atau anak-anak.
Sebuah survei oleh Commonsense di Amerika Serikat mendapati 63 persen anak mengatakan, membaca berita membuat mereka merasa takut, marah, sedih, atau depresi.
Namun tidak dijelaskan apakah yang dibaca adalah berita bagus atau buruk. Sebab reaksi ekstrem terhadap membaca berita ini tidak melulu negatif. Ada juga reaksi positif. Seperti membaca membuat mereka merasa pintar dan berpengetahuan luas.
Pertanyaannya, sudahkah memikirkan bagaimana membuat isi berita yang ramah anak—yang dapat mengurangi dampak buruk bagi pembaca anak?
Kasus Indonesia
Di Indonesia sudah ada pedoman pemberitaan ramah anak. Sayangnya pedoman tersebut hanya menjelaskan aturan mengenai bagaimana menulis berita tentang anak. Ketika anak menjadi objek pemberitaan, jurnalis dibatasi oleh pedoman ini. Dengan demikian anak akan terlindungi harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Pedoman pemberitaan ini tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019. Salah satu isisnya, jurnalis harus merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Jadi, aturan ini menempatkan anak sebagai objek yang harus terlindungi untuk tidak diberitakan secara membabi-buta. Terutama berita tentang kasus-kasus bernuansa negatif baik mengenai dirinya secara langsung maupun orang-orang terdekatnya.
Hal ini tentu menjaga dampak buruk akibat pemberitaan seperti anak dikucilkan di masyarakat, menjadi sasaran perundungan, dan perlakuan negatif lain terhadap anak.
Jadi peraturan ini belum mengatur bagaimana berita yang dikonsumsi anak tidak membawa dampak buruk bagi mereka sebagai pembaca. Dalam artikel ini saya memosisikan pemberitaan ramah anak dari sisi anak sebagai pembaca berita, bukan objek pemberitaan.
Informasi Buruk Berpengaruh bagi Anak
Saat masih kelas IV SD, tahun 1984-an, saya membaca sebuah leaflet yang berisi informasi tentang Gunung Semeru. Saya masih ingat leaflet itu berwarna dan dicetak dikertas artpaper tebal dan dilipat menjadi tiga bagian.
Informasi yang tertuang di situ adalah grafis Gunung Semeru dan potensi bahaya letusan dan banjir yang diakibatkan gunung tersebut jika meletus.
Yang membuat saya tidak bisa tidur saat itu, dalam peta tersebut tempat yang saya tinggali masuk daerah yang berpotensi terdampak jika letusan benar-benar terjadi.
Saya membayangkan rumah dan keluarga saya akan terseret banjir atau tertimpa pecahan batu yang disemburkan oleh Gunung Semeru. Saya lupa apakah saat itu diberi penjelasan atau tidak oleh orang tua saya.
Saat SMP saya membaca selembar materi foto kopi yang berisi pesan berantai. Isinya kira-kira menyatakan bahwa pesan tersebut adalah dari penjaga makam Nabi Muhammad SAW. Dan kita diminta agar memfotokopi sebanyak 20 kali dan membagikannya kepada orang lain.
Yang menakutkan adalah pernyataan bahwa jika tidak memfotokopi dan menyebarkan berita tersebut maka kita akan mendapatkan musibah dalam waktu dekat.
Untuk memfotokopinya saya tidak memiliki uang dan saya memilih deg-degan selama berhari-hari sampai saya melupakan informasi itu.
Sekarang setelah setua ini saya hanya bisa tersenyum mengingat peristiwa itu. Tetapi jangan menyangka hal itu baik-baik saja untuk anak. Sebab sedikit banyak informasi akan berdampak pada psikologi anak. Anak akan mendapatkan rasa trauma terhadap informasi yang demikian.
Informasi Traumatik
Cerita di atas cukup memberikan gambaran bahwa persepsi anak dengan orang dewasa terhadap suatu informasi atau berita sangat berbeda.
Menurut Underwood (2020), anak di bawah tujuh tahun kesulitan membedakan antara apa yang nyata dan yang palsu, yang dekat dan yang jauh, yang mungkin dan yang sangat tidak mungkin. Oleh karena itu tidak bagus memaparkan informasi-informasi traumatik kepada anak.
Sementara itu, berita-berita di media massa dan media sosial bagai sesuatu yang liar. Berita apapun akan memasuki ceruk baca dan dengar siapapun, termasuk anak.
Suatu ketika anak akan mendengarkan, sengaja maupun tidak kepala berita di televisi-televisi, atau membaca judul-judul berita di koran, di internet atau di tempat lain.
Bahkan anak bisa saja mendengar informasi secara tidak sengaja dari percakapan orang dewasa. Jika konten informasi yang mereka dengar atau baca tidak ramah terhadap mereka, maka mereka akan merasakan gejala emosional seperti marah, cemas, gelisah, atau takut.
Buat Anak Paham, Nyaman, dan Terlibat
Haruskah berita-berita yang tidak ramah anak dihapuskan di seluruh media pemberitaan? Atau haruskah jurnalis menulis berita yang sesuai dengan jiwa anak? Rasanya tidak mungkin.
Alih-alih menunggu media membuat berita dengan konten positif—-yang tidak membuat anak mengalami mood negatif—ada cara untuk membantu kita mencegah hal itu terjadi pada anak.
Agar anak terhindar dari dampak buruk berita yang tidak ramah anak adalah membuatnya paham dan nyaman. Berita-berita tentang peristiwa buruk baik alam maupun non-alam, mau tidak mau, akan tertangkap anak.
Hal itu akan berpengaruh jika mereka belum memahami isi berita tersebut. Yang mereka tahu adalah hal buruk telah terjadi pada suatu daerah. Mereka harus diberi pemahaman bahwa secara teori peristiwa buruk tersebut hanya bisa terjadi di daerah tertentu saja dan tidak akan melanda daerah mereka.
Atau juga pemahaman tentang perundungan yang bisa terjadi akibat kondisi-kondisi tertentu. Tidak semua anak akan menjadi korban perundungan apalagi jika hal itu sudah diantisipasi. Dengan demikian anak akan merasa nyaman karena mereka merasa tenang bahwa sesuatu tidak akan terjadi kepada mereka.
Melibatkan anak dalam diskusi keluarga mungkin menjadi cara lain untuk menghindarkan anak dari dampak buruk pemberitaan yang tidak ramah anak. Saat berkumpul keluarga, anak diajak untuk melihat-lihat informasi di internet.
Orang tua bisa mengajukan topik-topik tertentu yang anak ingin ketahui. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menawarkan judul-judul berita di internet yang menarik minat mereka. Orang tua kemudian membacakan berita-berita pilihan anak.
Tentu saja orang tua harus melompati topik-topik yang tidak sesuai dengan anak. Keterlibatan anak ini, di samping melindungi mereka dari dampak negatif juga dapat menjadikan anak lebih dekat dengan keluarga.
Ini bisa dibandingkan dengan kondisi di mana setiap anggota keluarga memegang HP untuk menjelajah informasi sendiri-sendiri.
Dan lagi, suasana demokratis akan lebih tercipta karena kita mengakomodasi keinginan semua anggota keluarga. Perasaan takut anak seperti dampak letusan gunung semeru atau rasa takut akan mendapat musibah seperti dalam cerita saya tadi tidak akan terjadi.
Semoga! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni