Jepang Bentuk Menteri Urusan Kesepian, Ironi Era Modern oleh Denny JA, peneliti dan konsultan politik.
PWMU.CO– Inilah ironi peradaban modern. Di tengah kelimpahan ekonomi dan teknologi canggih, justru di era itu hati manusia banyak yang kesepian. Lalu bunuh diri.
Negeri Jepang pun merasa perlu mengangkat seorang menteri dengan tugas tak biasa. Mencari solusi penduduknya yang kesepian. Mencari jalan keluar mengurangi tingginya angka bunuh diri.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga baru saja menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Urusan Kesepian. Sebab isolasi sosial era pandemik covid-19 menambah jumlah bunuh diri di Jepang yang sebelumnya sudah tinggi.
Tahun lalu, Jepang mencatat 2.153 kematian akibat bunuh diri pada Oktober. Padahal angka kematian akibat pandemi covid-19 – pada 27 November 2020 – hanya 2.087.
Perdana Menteri Suga mengatakan, wanita lebih menderita akibat isolasi sosial. Jumlah yang bunuh diri naik signifikan. Menteri baru ditugasi mengidentifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Lalu mencari kebijakan terukur dan komprehensif untuk mengatasinya.
Sakamoto menerima tugas tak biasa ini. Kepada pers Ia menyatakan sedang mencari cara dan program untuk mengurangi kesepian dan perasaan terisolasi. Lalu kembali membuat individu di masyarakat saling terhubung dan berbahagia.
Mati karena Kenyang
Membaca berita itu, saya teringat tiga data. Cuplikan data itu disajikan kembali yang diambil dari buku saya terbit tahun lalu: The Spirituality of Happiness, Spiritualitas Baru Abad 21 Narasi Ilmu Pengetahuan.
Data pertama, soal kemakmuran. Global Burden of Diase Study 2010 melaporkan, mereka yang meninggal karena kelebihan kalori, karena penyakit yang berhubungan dengan obesitas, kini tiga kali lebih banyak ketimbang mereka yang mati karena penyakit yang berhubungan dengan kelaparan.
Untuk pertama kalinya dalam peradaban, jumlah yang mati karena kelebihan makan lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan karena kurang makanan.
Sejak munculnya homo sapiens dua ratus ribu tahun lalu, sejarah bergerak karena perebutan sumber daya makanan. Kini secara umum peradaban sudah kelebihan makanan. Mati karena eat more jauh lebih banyak dibanding mati karena eat less.
Kita memasuki apa yang disebut Inglehart sebagai zaman post-materialism. Ini zaman yang tak lagi disibukkan dengan kebutuhan pokok. Tapi ia sudah melampaui itu. Kebutuhan utama kita lebih pada aktualisasi diri, dan hidup yang lebih berkualitas.
Tentu tetap ada dan tetap banyak penduduk dunia yang masih berjuang untuk memenuhi basic need seperti makanan, rumah, dan rasa aman. Tapi peradaban sudah bergerak melahirkan lebih banyak dan lebih banyak lagi manusia yang kebutuhannya melampaui dunia materi.
Mati karena Kesepian
Data kedua yang saya pelajari adalah soal kesepian. Ini data dari WHO. Jumlah yang mati karena bunuh diri kini lebih banyak dibandingkan jumlah yang tewas karena konflik, perang, dan bencana alam digabung menjadi satu.
Setiap tahun sekitar 800 ribu hingga 1 juta manusia di seluruh dunia mati bunuh diri. Setiap empat detik ada yang bunuh diri di salah satu wilayah bumi.
Ini ironi peradaban post-materialism. Ketika kemakmuran materi melimpah semakin banyak yang bunuh diri. Apapun penyebab, pastilah yang bunuh diri merasa hidup yang tak lagi berharga untuk dijalani. Pastilah ia lama tenggelam dalam rasa putus asa dan depresi.
Data itu semakin menguatkan persepsi kita tentang manusia. Kelimpahan materi belaka tidak membuat peradaban itu nyaman bagi manusia di dalamnya.
Agama Baru
Data ketiga, saya baca dari Pew Research Center dan Adherent. com. Peradaban ini tidak kekurangan agama. Jumlah agama yang kini hadir sebanyak 4.300. Masing masing agama itu mempunyai konsep Tuhannya sendiri, konsep moralnya sendiri.
Sudah pasti masing masing penganut agama yang fanatik merasa hanya agamanya yang benar, dan ribuan agama lain salah. Ini psikologi penganut agama yang berlaku universal.
Persepsi benar sendiri tumbuh tak hanya di agama Kristen, Islam, Budha, Hindu, bahkan juga di kalangan penganut kepercayaan yang jauh lebih kecil.
Empat agama terbesar: Kristen, Islam, Hindu, dan Budha dipeluk oleh 75 persen populasi dunia. Penganut Kristen dan Islam jika ditotal sudah melampaui 50 persen penduduk bumi.
Agama ketiga terbesar ternyata, hasil Pew Research Center, bukan Hindu atau Budha. Ketiga terbesar adalah Non-Affiliated. Ini kumpulan individu yang tak lagi merasa perlu mengidentifikasikan diri dengan agama tertentu.
Di zaman ini, ketika segala hal bisa dilacak di Google, publik dapat pula melacak kisah sejarah yang tersimpan dalam kitab suci.
Arkeolog menemukan, misalnya, betapa sebagian nabi itu bukan tokoh historis, tak pernah hadir dalam sejarah. Atau kisahnya dilebih-lebihkan dibandingkan kisah sebenarnya, seperti yang ditemukan oleh arkeolog.
Ini dapat membuat mereka kehilangan makna dengan agamanya yang dulu. Ada yang percaya Tuhan tapi tak lagi lewat agama. Ada yang hanya percaya pada humanisme. Dan sebagainya.
Peradaban juga terus saja memproduksi agama baru. Agama Baha’i misalnya, lahir di tahun 1850. Kini menyebar di dua puluh negara, dengan total penganut sekitar 6 juta. Penganut terbesarnya berada di India dan Amerika Serikat.
Spiritualitas
Agama yang paling baru adalah Kopimisme. Pemerintah Swedia mengakuinya sebagai agama di tahun 2012. Ini agama yang sangat unik yang lahir di era informasi. Mereka meyakini informasi itu adalah suci. Tindakan mengkopi informasi itu (asal dari nama Kopimisme) adalah suci pula.
Peradaban baru ini sudah terlalu banyak agama. Membuat agama baru bukanlah solusi. Yang diperlukan semata spiritualitas baru. Ini bukan agama, tapi gaya hidup yang bisa dijalankan oleh semua penganut agama. Bahkan oleh mereka yang tak lagi percaya agama. Ia tidak berniat dan tak perlu menggantikan agama yang sudah ada.
Sebaliknya, spiritualitas baru itu membuat penganut agama lebih mendalam dan menghayati agama asalnya. Zaman baru membutuhkan spiritualitas baru. (*)
Editor Sugeng Purwanto