Kisah Mbah Sumo Dirikan Muhammadiyah Kesambi ditulis oleh Mohamad Su’ud, Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhamamdiyah Lamongan.
PWMU.CO – Di manapun berada seorang kader Muhammadiyah senantiasa menyebar kebaikan, baik diminta atau tidak. Dakwah sudah menyatu dalam setiap tindakan.
Itulah yang dilakukan oleh Raden Adenan Sumo Prawiro Dirjo—yang dikenal sebagai Mabh Sumo—seorang penggerak pendiri dan Muhammadiyah di Desa Kesambi, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan.
Usia muda yang sangat enerjik dan idealis mempengaruhi gaya dan cara dalam berdakwah. Tidak jarang terjadi “adu” argumentasi dengan masyarakat.
Raden Adenan Sumo Prawiro lahir pada tahun 1910. Dia menikah dalam usia muda: 20 tahun. Dia mempersunting seorang gadis bernama Juwariyah pada tahun 1930.
Dari perkawinan ini dikarunia enam orang. Yaitu: Supademi (alm), Drs H Hasan Abdullah (alm), Musta’in (alm), Siti Masrofah (alm), Drs H Hudori (alm), dan Zumaroh SAg.
Selain sebagai aktivis dakwah Sumo Prawiro juga sebagai sekretaris desa atau lebih dikenal dengan carik di Desa Kesambi, tahun 1930-1960.
Dakwah Mbah Sumo
Roni Firdaus—salah cucu Mbah Sumo dari Hudori— menuturkan, mbahnya itu termasuk orang yang getol dalam memperjuangkan Islam yang murni.
Pada tahun 1960, bersama rekan seperjuangan, Amir (besan, ayah dari istri Hudori), Bakhri (kepala desa waktu itu) dan Masdar, Mbak Sumo mendirikan Muhammadiyah di Desa Kesambi.
Waktu itu akidah umat Islam banyak terpapar oleh virus syirik. Islam tak lagi murni seperti saat dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam memperjuangkan Islam murni yang menjadi paham Muhammadiyah, Mbah Sumo dikenal dengan sikapnya yang tegas tapi lentur. Jika terjadi perselisahan dalam hal akidah Mbah Sumo tidak meluruskannya dengan cara kekerasan melainkan dengan pendekatan secara personal.
Semisal tentang tradisi nyadran, Mbah Sumo tegas menolak tapi tetap menghormati mereka yang melakukan. Dengan sikap seperti itu sebagian masyarakat ikut mendukung dakwah Mbah Sumo yang sehari-hari, bersama istrinya berdagang beras di Pasar Pucuk.
Dakwah Muhammadiyah yang terasa asing waktu itu menjadi bahan olok-olokan—sebagamana Roni Firdaus menceritakan. Mbah Sumo dan kawan-kawan seperjuangan sering diejek oleh mereka yang tidak sepaham.
Bahkan dengan kalimat-kalimat yang provokatif, seperti, “Orang Muhammadiyah kalau mati akan menjadi drangkong (hantu).” Namun Mbah Sumo menghadapinya dengan sabar: tidak membalas ejekan mereka.
Singkat cerita, untuk kenyamanan beribadah, akhirnya pada tahun 1976 para tokoh Muhammadiyah sepakat mendirikan masjid. Sebelumnya Mbah Sumo dan warga Muhammadiyah beribadah di satu masjid jamik desa.
Tapi karena sering menghadapi berbagai perbedaan, termasuk yang berujung ejekan itu, akhirnya Muhammadiyah membangun masid sendiri.
Kini, selain memiliki Masjid An-Nidhom, Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kesambi memiliki amal usaha berupa Madarsah Ibtidaiyah 1 Kesambi. Ada juga PAUD dan TK Aisyiyah.
Lulusan Sekolah Rakyat
Roni Firdaus menuturkan, Mbah Sumo hanyalah lulusan sekolah rakyat (SR)—kini sekolah dasar (SD). Dia juga tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren.
Tetapi pemahaman terhadap Islam cukup mumpuni. Juga kemampuannya berorganisasi. Terbukti, dia piawai mengelola organisasi, baik di Muhammadiyah maupun di desa.
Mbah Sumo juga ikut merintis berdirinya Madrasah Nidhamiyah sebagai cikal bakal berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) 1 Kesambi, Pucuk.
Pendidikan Keluarga ala Mbah Sumo
Mbah Sumo termasuk seorang ayah yang sukses dalam mengantarkan dan membimbing anak-anaknya menjadi kader Muhammadiyah.
Semua putra-putrinya adalah aktivis Muhammadiyah. Supademi misalaya aktif di Aisiyah; H Hasan Abdullah yang menjadi PNS di Kanwil Kemenag Jawa Timur aktif di Muhammadiyah Kota Malang; dan Musta’in pernah menjabat Kepala MIM 1 Kesambi.
H Hudori—yang sukses meniti karier sebagai Kepala MTsN Glagah, MTsN Babat—pernah menjabat Ketua PRM Kesambi periode 1995-2000. Sedangkan Zumaroh, disamping sebagai PNS yang mengajar Penddikan Agama Islam (PAI) di SDN Paji Pucuk adalah aktifis Aisiyah Kesambi.
Yang menarik, wasiat dan catatan Mbah Sumo terekam dengan melalui catatan H Hudori. Di antaranya adalah empat kiat sukses Mbah Sumo dalam mendidik putra-putrinya.
Yakni menanamkan hidup sederhana dan lebih mementingkan pendidikan agama putra-putrinya; menanamkan hidup jujur, ikhlas dan sabar; menekankan putra-putrinya untuk sekolah setinggi-tingginya walau merantau keluar kota; dan mendidik kebersamaan dan musyawarah.
“Inilah sekilah falsafah kehidupan Mbah Sumo yang sempat kami rangkum dari beberapa dokumen yang kami punya,” terang Roni Firdaus.
Mbah Sumo tutup usia pada tahun 1980. Dia meninggalkan corak pendidikan keluarga yang patut menjadi teladan siapapun. (*)
Penulis Mohamad Su’ud Editor Mohammad Nurfatoni