PWMU.CO – Kisah masa kecil Buya Hamka dan petuahnya pada keluarga. Kisah ini disampaikan oleh putra ke-9 Buya Hamka: Drs H Afif Hamka.
Afif Hamka menyampaikannya saat menjadi pemateri dalam webinar ke-16 Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM), Jumat (19/2/2021). Webinar ini mengambil tema Profil Ketokohan, Keulamaan dan Perjuangan KH Mas Mansur dan Prof Dr H Buya Hamka.
Dia menceritakan Buya Hamka lahir di Tanah Sirah, Sungai Batang, Maninjau pada Ahad 13 Muharram 1326 H bertepatan dengan 17 Februari 1908. Dia tumbuh dan dibesarkan di Maninjau.
“Kalau ada yang pernah ke Danau Maninjau bahkan berkunjung ke Museum Buya Hamka tempat lahir beliau, itu kita bisa melihat pemandangan yang indah. Alam yang indah di tepi danau, ada sawah membentang dan bunyi riak air danau. Semua itu membesarkan Hamka sejak kecil. Keindahan itulah barangkali yang mendidik dirinya untuk menjadi seniman,” ungkap pria yang juga anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.
Bayi Terbungkus Ketuban
Afif mengaku membaca kisah otobiografi Buya Hamka yang ditulis dalam buku Kenang-kenangan Hidup. Kisah sejak kecil sampai perjuangan setelah Jepang. Jadi setelah kemerdekaan tidak ditulis lagi.
Di salah satu tulisan menyebutkan saat keluar dari rahim ibunya—sebelum diazankan oleh ayahandanya—dukun beranak menyambut bayi yang masih terbungkus dalam bola-bola ketuban. Bola ketuban itulah yang dirobek oleh dukun beranak dan dikeluarkanlah bayinya.
“Menurut dongeng orang-orang tua kalau ada bayi yang lahir masih terbungkus ketuban maka kelak di masa dewasanya nanti dia akan menjadi tokoh yang hebat,” ujarnya.
Julukan Saat Kecil Malik
Saat kecil Buya Hamka dipanggil si Malik. Dan kalau dibaca dia itu anak badung dan bandel. Dia sudah ditinggalkan orang tuanya pergi ke Padang mengajar jadi ustadz. Dia ditinggal bersama angkunya atau pamannya.
“Pekerjaan pamannya mengail atau memancing ikan di danau Maninjau. Angkunya sering bercerita kisah tradisional Minang mulai Cindu Amato, Malin Kundang, Ngurai Rudin, Malin Deman, bahkan kadang-kadang cerita hantu.
Diajarkan pula pada Malik kecil ini Kesenian Randai yang berisikan pantun-pantun yang dinyanyikan. Pantun Minang itu mengandung filsafat. Dia hapal dan direnungkan,” paparnya.
Sekolah Diniyah dan Sekolah Arab
“Hamka serius sekali belajar Arab. Bahkan beliau mengenal filsafat-filsafat Yunani seperti Aristoteles, Plato dan sebagainya itu dari bahasa Arab,” jelasnya.
Tahun 1916, sambungnya, berdiri sekolah diniyah yang didirikan oleh tokoh yang bernama Zainuddin Labai Al Yunusiyah di Padang Panjang. Jadi Malik pagi sekolah diniyah dan petang sekolah Arab.
Hamka menjadi orang di lingkungan murid-murid ayahnya. Ayahnya seorang ulama juga yakni Abdul Karim Amrullah dan sempat menjadi doktor dari Al Azhar Kairo Mesir.
“Buya Hamka juga punya anak-anak yang kami istilahkan anak ke-11. Ada yang tinggal di Indonesia dan Malaysia. Jadi banyak sekali anak angkatnya,” ungkapnya.
Hamka merupakan tokoh yang hanya mengalami pendidikan formal sampai kelas III sekolah desa. Tetapi dia dikenal sebagai sastrawan, ulama bahkan juga sebagai sejarahwan.
“Bahkan Buya Hamka mendapatkan gelar doktor dari dua universitas di luar negeri. Yakni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan Kuala Lumpur Universitas Kebangsaan Malaysia,” urainya.
Takwa ala Buya Hamka
Buya Hamk mengajarkan keluarga untuk bertakwa. Yakni menjaga dan memelihara hubungan kita dengan Allah. Kita pelihara kasih sayang Allah dan jangan sampai cinta Allah itu putus. Maka dari itu harus selalu tampil prima.
“Saat remaja kalau mau wakuncar (waktu kunjungan pacar) setelah shalat Maghrib langsung bercermin di kamar, menyisir dan dandan sedemikian rupa. Ketemu kekasih saja tampil dengan gagah,” ungkapnya.
“Ingat kekasih kita itu ya Allah. Bagaimana menjaga supaya kelkasih kita senang pada kita. Jadi harus tampil gagah dihadapan Allah. Dengan rajin ibadah, tawaduk dan segala keshalehan itu akan disaksikan terus oleh kekasih kita Allah SWT,” tuturnya.
Jadi, lanjutnya, kalau mau menjadi sufi bukan penampilan sederhana, tetapi sufi itu harus gagah. Tali cinta kita kepada Allah yang menimbulkan sifat sufi dalam diri kita.
“Kita disuruh membaca karyanya Tasawuf Modern. Semakin modern orang dan semakin tampil prima seseorang maka semakin menjaga hubungannya dengan Allah. Tasawuf modern itu ya takwa kepada Allah,” tegasnya.
Shalat Subuh Hari Jumat
Kemudian Afif menceritakan pengalamannya saat masih anak-anak. Mulai dari awal tinggal di Jakarta di depan rumah itu Masjid Agung Al-Azhar. Buya Hamka dijadikan imam besarnya. Kalau Subuh semuanya dibangunkan untuk berjamaah di masjid.
“Biasanya kalau Subuh hari Jumat ada istimewanya. Rakaat pertama baca surat as-Sajdah. Shalat Subuh dengan sujud Tilawah di rakaat pertama. Itu menurut saya shalat yang paling lama. Istilahnya sembahyang balantuang. Shalat yang paling menyiksa sehingga muka saya kusut,” kisahnya.
Melihat wajah yang kusut, Buya Hamka menegur dengan nasehat-nasehatnya agar jangan kusut muka.
“Kamu harus ingat nama shalat sajadah itu ketika kita sujud yang kita baca adalah doa:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Maknanya wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang nembentuknya, yang nembentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta,” tuturnya.
Penglihatan dan Pendengaran Istimewa
Buya Hamka mengatakan kita selalu memperbagus wajah kita. Ke mana-mana kita tampil dengan gagah mengangkat muka kita. Di situ ada mata, hidung, telinga, muka, wajah dan itu kita sujudkan ke hadapan Allah, karena Allah yang menciptakan itu semua.
“Yakinlah kamu akan merasakan kalau kamu sudah meresapi dan menjalankan sujud tilawah maka kamu akan melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Dengan kekuatan dan dayanya Allah maka telingamu akan bisa mendengar sesuatu yang tidak didengar orang lain,” ungkapnya.
Buya Hamka bercerita suatu hari ketika makan sahur bersama ayahnya, tiba-tiba ayahnya berhenti sejenak dan berucap inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sudah mendahului pamannya Buya di Mekkah yang menjadi mukimin.
“Sehari kemudian datang telegram yang mengabarkan bahwa pamannya yang di Mekkah meninggal dunia. Jadi itu kehebatan kalau sudah dikabulkan oleh Allah mendapat kekuatan penglihatan dan pendengaran maka kita mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain,” paparnya.
Rumah kami, lanjutnya , di dekat Masjid Al Azhar ada seperti jam bicara layaknya di rumah dokter zaman dulu. Menerima tamu dari jam sekian ke jam sekian. Jadi sore setelah asar, rumah kami didatangi orang-orang dan antri untuk bertemu Buya Hamka.
“Ada yang mengadukan masalah keluarga dan minta nasihat. Ada yang datang untuk masuk Islam dan macam-macam lainnya. Ada juga suami istri yang bertengkar datang ke Buya dan pulangnya sudah bergandengan tangan,” kisahnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.