Kontroversi Pro LGBT Jadi Dubes Saudi oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Kontroversi pro LGBT Zuhairi Misrawi yang ditunjuk menjadi Duta Besar (Dubes) untuk Kerajaan Arab Saudi mencuat ke publik. Ini kontroversi kedua setelah Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama. Sebab reputasi Yaqut melekat sebagai Satpam Gereja, isu populisme Islam, Ahmadiyah-Syiah, dan toleransi yang kebablasan.
Zuhairi Misrawi adalah kader PDIP yang menjadi Komisaris Independen BUMN PT Yodya Karya (Persero) yang menjadi pembela Syiah Sampang dan pengecam spanduk Anti Syiah di Riau. Dikenal sebagai tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang mempersoalkan landasan ilmiah shalat gerhana, mengusung pluralisme dan membela kaum Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT).
Cuitannya soal pembelaan LGBT tersebar di media sosial. Menurutnya, LGBT itu makhluk yang diagung-agungkan Tuhan. ”LGBT juga manusia, makhluk yang sangat diagung-agungkan Tuhan. Kenapa harus didiskriminasi ?” tulis Zuhairi yang lulusan Universitas Al Azhar Kairo.
Misrawi mengecam beragama yang menebar kebencian. ”Menghormati LGBT karena kita sesama manusia. Soal orientasi seksual, kembali pada diri masing-masing,” katanya.
Pandangan Misrawi tentu melawan arus normal. Sebab LGBT itu perilaku menyimpang. Semestinya harus diluruskan dan dinyatakan salah karena munkar. Menerimanya sama saja dengan menoleransi penyimpangan kaum Nabi Luth yang diazab oleh Allah. Sangatlah keliru menyatakan bahwa Tuhan mengagung-agungkan LGBT. Kesimpulan yang membahayakan akidah dan syariah.
Semestinya pemerintah Jokowi jangan memakai kacamata buram dalam menentukan orang dan jabatan. Sangat tidak pas menempatkan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar RI di Riyadh. Hal ini dinilai melecehkan bangsa Indonesia sekaligus bangsa Saudi. Tokoh kontroversial dalam negeri ditempatkan di negara yang memiliki dua kota suci Makkah dan Madinah.
Pertimbangan Psiko-politik
Kekeliruan pemerintah dari aspek psiko-politik jika tetap menempatkan Zuhairi Misrawi sebagai Dubes Saudi, yaitu
Pertama, pemerintah dan masyarakat Saudi adalah puritan dalam keagamaan, sehingga sulit untuk akrab dengan figur yang mengagung-agungkan LGBT. Begitu juga dengan sikap pembelaan Misrawi kepada Syiah. Saudi Arabia adalah pendukung utama ahlus sunnah yang saat ini berkonflik dengan Iran pendukung Syiah.
Kedua, konsepsi Islam Nusantara yang digembar-gemborkan oleh Zuhairi Misrawi diinterpretasi sebagai anti-Arab yang menisbikan pengaruh Arab kepada bangsa Indonesia.
Pada tingkat ekstrem sikap anti Arab mewujud dalam omongan dan sikap anti Islam. Bagaimana Arab Saudi dapat menerima figur seperti ini? Diprediksi banyak permainan diplomasi yang tidak efektif. Diplomasi basa-basi.
Ketiga, Arab Saudi adalah negara petro dollar yang diburu banyak negara. Indonesia sedang mencoba mengais investasi dan utang luar negeri dari negeri ini. Banyak pejabat ber-make up yang terjun ke dalam Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) demi perburuan. Misrawi dinilai bukan diplomat yang kredibel untuk misi ini.
Keempat, dalam konteks global Arab Saudi adalah kepentingan Amerika. Amerika kini sedang bermusuhan dengan Cina. Sementara Indonesia bersahabat erat dengan pemerintah Cina. Beberapa tulisan Misrawi cenderung menyanjung Cina. ”Jasa Tionghoa sangat luar biasa kepada muslim Indonesia,” katanya. Benarkah?
Kelima, ketika hanya sekadar diplomasi basa-basi, maka Indonesia mengalami rawan politik dan rawan ibadah. Pelaksanaan ibadah haji dan umrah akan terkendala. Pandemi menjadi alasan politik untuk mempersulit. Sesungguhnya dibutuhkan Dubes yang gigih, supel, berpengalaman dan bersahabat. Politisi PDIP ini bukan orang yang tepat.
Mengingat proses belum final, persetujuan negara Saudi juga belum terbit, maka sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali penunjukan Zuhairi Misrawi sebagai Dubes Saudi. Pilihlah tokoh yang matang, bijaksana, dan tidak kontroversial. Salah pilih akan menjadi sebab dari kegaduhan politik dan keagamaan ke depan. (*)
Bandung, 24 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto