PWMU.CO – Muhammadiyah dan NU menolak keras Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang salah satunya melegalkan miras.
Dalam wawancara di TV One, Senin (1/3/2021) Prof Dr Abdul Mu’ti MEd mengatakan, pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan tidak seharusnya hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tapi harus melihat aspek lain yang terdampak oleh akibat adanya kebijakan itu.
“Kalau saya membaca isi dari Perpres itu pertimbangan utamanya adalah ekonomi. Tentu pertimbangan ekonomi itu penting tapi tidak boleh mengabaikan aspek sosial dan moralitas yang menjadi bagian karakter dan jati diri bangsa Indonesia,” ujarnya.
Pemerintah Harus Kedepankan Moral dan Sosial
Menurut Mu’ti, Pemerintah memang memiliki kewajiban menyejahterakan rakyat (lewat ekonomi), tapi pemerintah juga memiliki kewajiban untuk membina moralitas.
“Kalau kita ikuti lirik lagu Indonesia Raya itu kan disebutkan selain bangun badannya juga harus dibangun jiwanya. Sehingga Indonesia ini harus sejahtera secara moral, sosial dan ekonomi,” katanya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu pun menegaskan, dalam konteks legalisasi miras ini, pertimbangan moral dan sosial sudah tentu harus lebih dikedepankan dari pada pertimbangan ekonomi.
Secara organsisasi, Mu’ti menambahkan, Muhammadiyah belum menentukan langkah apa yang akan dilakukan terkait Perpres tersebut.
“Tapi kalau boleh kami menyarankan, pemerintah sebaiknya mendengar apa yang menjadi aspirasi garda terbesar masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Menurut Mu’ti, Pemerintah sudah tidak seharusnya menimbulkan kontroversi dan keterbelahan di masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
“Selama ini kami merasa sudah terlalu sering ruang publik kita ini dipenuhi oleh kontroversi yang tidak seharusnya terjadi,” katanya.
“Sehingga sekali lagi kami meminta kepada pemerintah dengan kearifannya mendengar apa yang menjadi aspirasi sebagian besar masyarakat Indonesia,” tandasnya.
Kyai NU dan MUI Menolak Keras
Sementara itu Ketua PBNU Marsyudi Syuhud mengatakan, legalisasi miras ini menjadi perhatian banyak kalangan tidak hanya kiai-kiai di Majelis Ulama Indonesia (MUI) tapi juga di kalangan Nahdlatul Ulama.
“Kiai-kiai NU, mau di manapun, di pojokan mana saja, pasti jawabannya sama: menolak. Ini dulu sudah dikritisi PBNU sejak tahun 2013,” katanya.
Menurutnya, minuman keras meskipun ada manfaatnya dan yang diidam-idamkan adalah manfaat ekonomi, tapi miras lebih banyak mudhorotnya dari pada manfaat ekonomi.
“Kita ini punya kewajiban untuk hifzhun nafs wal aql, menjaga jiwa dan akal. Tentu dosa, yang turut meloloskan ini. Kita sudah mengambil langkah (untuk menolak) sejak tahun 2013. Sekarang juga kami menyampaikan. Tentu ini akan kami sampaikan terus,” tegasnya.
Marsyudi menambahkan, kalau Pemerintah mempertimbangkan aspek ekonomi, semestinya yang digencarkan adalah kebutuhan masyarakat yang masih impor.
“Sekarang kalau mau digencarkan ekonomi, ya kebutuhan makanan pokok saja masih import. Itu saja yang digencarin seperti kedelai atau kebutuhan-kebutuhan mendasar. Tidak usah melegalkan miras,” tandasnya.
Menurutnya jika miras ini dilegalkan, tentu masyarakat akan terkena dampak-dampak negatifnya.
“Wong sekarang polisi saja sudah pada bingung bagaimana menegakkan hukumnya. Miras itu bisa menjadi sumber kejahatan-kejahatan lainnya. Itu yang harus dipikirkan,” katanya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nuraftoni