Muhammadiyah Kembali Luruskan Kiblat Pendidikan Nasional, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Di tahun 2021 ini Muhammadiyah terusik lagi—dan kerena itu harus terlibat—persoalan pendidikan nasional. Kejadian serupa pernah terjadi tahun 1978, 1989, dan 2003. Intinya sama: soal agama dalam sistem pendidikan nasional.
Pertama, pada tahun 1978-1983 era Kabinet Pembangunan III pimpinan Presiden Soeharto, Menteri P dan K Daoed Joesoef, membuat ‘masalah’ dengan meniadakan libur sekolah puasa Ramadhan. Posisi umat Islam saat itu, termasuk Muhammadiyah, sangat dirugikan. Karena pelajar yang sedang berpuasa harus terpecah kegiatannya. Muhammadiyah saa itu ikut melayangkan protes.
Kedua, tahun 1988-1993 di era Kabinet Pembangunan V dengan pimpinan Presiden Soeharto, Mendikbud Prof Fuad Hasan melakukan pembatasan atau pengurangan pelajaran agama di sekolah umum. Juga mempermasalahkan pemakaian jilbab di sekolah negeri dan foto ijazah. Posisi umat Islam, juga Muhammadiyah, sangat dilemahkan. Muhamamdiyah bergerak membela kepentingan pelajar Islam.
Ketiga, tahun 2001-2004 dia era Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati dengan Mendiknas Prof A Malik Fajar. Saat itu muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas). RUU ini dianggap menguntungkan umat Islam. Karena itu Muhammadiyah harus mengawalnya.
Keempat, era Kabinet Indonesia Maju II di bawah Presiden Joko Widodo dengan Mendikbud Nadiem Makarim, muncul konsep Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Di situ menghilangkan frase agama dalam Visi Pendidikan Indonesia 2035.
Muhammadiyah yang memiliki amal usaha pendidikan terbesar di Indonesia tentu tidak tinggal diam. Muhammadiyah akan meluruskan kiblat pendidikan nasional. Pendidikan dengan spirit bingkai agama dan akhlakul karimah dikedepankan oleh organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini.
Mengawal UU Sisdiknas
Tahun 2003 Muhammadiyah berada di garda terdepan dalam mengawal RUU tentang Sisdiknas yang kemudian menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, 8 Juli 2003.
Prosesnya begitu panjang. Muhammadiyah se-Indonesia menyatu untuk mengawal RUU itu. Saat itu masyarakat terbelah menjadi dua. Pro-kontra atas RUU tersebut.
RUU ini memuat tentang anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Juga memuat perbaikan sistem pendidikan dengan terjaminnya kesejahteraan tenaga kependidikan. Kebebasan menjalankan ajaran agama, terutama bagi anak didik di semua tingkat pendidikan, juga ada di dalamnya.
Posisi Muhammadiyah saat itu ada pada pihak yang mendukung RUU, bersama elemen lainnya, seperti mahasiswa dan perguruan tinggi. Bahkan di Jawa Timur, Muhammadiyah harus melibatkan seluruh komponennya untuk mengawalnya.
Ribuan warga Muhammadiyah Jawa Timur pada bulan Mei 2003 yang dikawal Komkam tumplek blek memadati stadion Gelora Delta Sidoarjo untuk mengadakan tabligh akbar dan menyampaikan aspirasi mendukung diberlakukannya RUU ssidiknas.
Saat itu penulis sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur. Hadir memberi semangat dan tausyiyah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Ahmad Syafii Ma’arif.
Jalan panjang itu pernah dilakukan juga oleh Muhammadiyah pada tahun 1989 dalam mengawal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989—cikal bakal UU Sisdisnak yang kemudian direvisi menjadi UU No 20 tahun 2003. Saat itu penulis menjadi aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Pak Lukman Harun dan Pak Sutrisno Muhdam mewakili Pimpinan Pusat Muhammadiyah rajin turun ke daerah daerah. Termasuk ke kampus-kampus Muhammadiyah untuk memberikan pencerahan tentang pentingnya pelajaran agama dalam sistem pendidikan nasional
Muhammadiyah telah mengawal UU sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 dan Nomor 20 Tahun 2003. Hal ini merupakan perjuangan panjang yang sangat menguras energi demi masa depan bangsa.
Sikap yang harus berseberangan dengan ormas lain dan agama lain tidaklah menjadikan Muhammadiyah kehilangan muka. Muhammadiyah juga tidak menepuk dada atas kesuksesan mengawal UU Sisdiknas.
Peta Jalan Pendidikan Nasional
Pada tanggal 11 Desember 2020 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Dalam Visi Pendidikan Indonesia 2035 berbunyi, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Yang menjadi masalah karena hilangnya frase agama pada Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Tentu itu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
Hilangnya frase agama inilah yang mengusik Prof Haedar Nasher Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karena rumusan itu tidak lazim bagi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Apalagi proses perumusannya tidak transparan.
Keprihatinan yang disampaikan oleh Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini harus kita respon secepatnya.
Kemendikbud telah menabrak UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah mengusahan dan menyelenggarakan satu sisten pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Juga menabrak UU Nomor 20 Tahun 2003 entang Sisdiknas pada pasal 4 ayat 1: pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa
Visi Pendidikan Muhammadiyah
Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 sangat bertolak belakang juga dengan Visi Pendidikan Muhammadiyah, yaitu “terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam Ipteks sebagai perwujudan tajdid dakwah amar makruf nahi mungkar.”
Pendidikan Muhammadiyah telah menyiapkan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SWT sebagai Rabb dan menguasai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Ipteks).
Amal usaha pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah tidak boleh hanyut terbawa angin globalisasi yang dalam batas-batas tertentu membawa efek samping. Semakin merembesnya paham kehidupan yang merujuk pada paham materilisme, kapitalisme, dan liberalisme.
Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengitegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dan kemajuan yang holistik. Dari rahim pendidikan Islam inilah lahir generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadianya, sekaligus mampu menghadapi dan menjawab tantangan zaman. Inilah pendidikan Islam yang berkemajuan.
Tampilnya Muhammadiyah di garda terdepan dalam mengawal pendidikan nasional tentu agar agama menjadi spirit utama dalam pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena ruh agama bila telah dijauhkan dalam pendidikan nasional, maka tunggu saja kehancuran bangsa ini.
Mari ber-fastabiqul khairat, bersama Muhammadiyah meluruskan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni