Ada Apa Shalat di Tanah Air Tak Sekhusyuk di Baitullah? Adalah tema dialog antara seorang ustadz dengan salah satu jamaahnya. Ditulis oleh Ustadz Abdul Aziz SE, penulis buku Berhaji kepada Allah. Instagram abdulazizofficial.id
PWMU.CO – Sepulang dari umrah di tahun 2019 yang lalu, seorang jamaah (J) berdialog dengan ustadz (U) untuk menceritakan suasana batinnya.
J: Ustadz saya kok lebih khusyuk shalat di depan kakbah ya, dari pada shalat di masjid perumahan
U: Apanya yang beda? Allah yang di Baitullah dan Allah yang di masjid sini kan sama. Apanya yang beda? Mungkin karpetnya lebih tebal, lebih wangi aromanya.
J: Iya beda Ustadz. Benar Allah-nya sama. Tapi suasana khusyuknya lebih cepat on kalau di Baitullah. Masjid saya di sini, karpetnya juga tebal dan wangi lah.
U: Kalau begitu masalahnya di suasana. Bedanya apa suasana dengan suasini? Kalau yang kita jumpai itu sama, akhirnya kan suasono, sono-sonoan (Rindu, selalu ingin jumpa). (Sua = jumpa).
J: Benar juga sih Ustadz, tapi rasanya beda (gak terima dia).
U: Kok bisa ya? Yang dihadapi sama, masak sih rasanya yang berbeda. Yang benar aja?
J : Benar Ustadz. Rasanya lain Ustadz. Beda banget. Gak sama. Lebih nikmat ibadah di Baitullah. Rindu sekali dengan Baitullah sudah lama gak umrah lagi, akibat pandemi Covid-19 ini.
Rindu Baitullah atau Allah
U: Baik, ini hanya analog. Maaf sebelumnya agak gak sopan. Dulu setelah akad nikah, Mas kan tidur di rumah istri kan. Ok! Setelah beberapa hari kemudian, Mas kan ajak istri tidur di rumah orangtua Mas kan? Istri yang sama, masa rasanya yang berbeda! Mas ini sebenarnya merindukan siapa sih?
J: Rindu Baitullah. Sebagaimana juga paket program umrah dengan tema Rindu Baitullah.
U : Waduh luruskan niat dulu Mas. Mas ini merindukan Baitullah atau pemilik Baitullah sih?
Baitullah hanya ada di Makkah. Baitullah itu artinya Rumah Allah makanya Mas hanya bisa khusyuk bila shalat di Baitullah. Masnya kan merindukan dan bisa menangis karena berjumpa dengan rumah-Nya.
فَلۡيَعۡبُدُواْ رَبَّ هَٰذَا ٱلۡبَيۡتِ
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Kakbah). (Quraysh 3)
Sebenarnya Mas, yang kita ingin jumpai dan yang kita sembah adalah Pemilik Baitullah, Pemilik Rumah-Nya, yaitu Allah SWT itulah yang kita sembah dan kita rindukan.
Bukankah Pemilik Baitullah dan Pemilik Masjid di tanah air juga sama, yaitu Allah SWT, berarti rasanya juga mesti sama kan Mas!
Allah SWT Berfirman:
“Rumah-Ku di muka bumi adalah masjid, para kekasih-Ku adalah mereka yang memakmurkan rumah-Ku, Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan-Ku hendaklah ia datang ke rumah-Ku, sungguh wajib bagi tuan rumah untuk menghormati tamunya” (Hadist Qudsi).
J: Kalau sama rasanya, kenapa kita di perintah ke Baitullah?
U: Karena ada berkah yang Allah berikan kepada Baitullah, sehingga jamaah yang datang ke Baitullah akan mendapatkan percikan keberkahan-Nya.
إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Ali Imran 96).
Tanda Kemabruran
J: Apa ciri atau tanda-tandanya jamaah haji umrah itu mendapatkan berkah dari Baitullah?
U: Tanda atau bukti bakti orang yang dapat berkah itu, terlihat dalam amal keseharian jamaah tersebut dalam menjalankan ibadah selama di Tanah Suci sebagaimana sabda Rasulullah SAW
الْحَجَّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ , قِيْلَ : وَمَا بِرُّهُ, قَالَ: إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَ طِيْبُ الْكَلاَمِ
“Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Dikatakan (kepada beliau): ‘Apakah bentuk bakti dalam haji itu?’ Beliau ber-kata: ‘Memberi makanan dan berbicara yang baik.’” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Bentuk dari bakti kebaikannya di Tanah Suci itu, terbawa sampai akhir hayatnya di Tanah Air. Itulah makna mabrur. Mabrur berasal dari kata birrun: baik. Mabrur adalah isim maf’ul yang artinya dibaikkan.
Allah menerima ibadah hajinya, maka pelaku haji tersebut (jamaah) diberi tanda sebagai bukti dan baktinya selama ibadah di Tanah Suci kepada Allah, berupa dibaikkan, mabrur oleh Allah. Maka jamaah tersebut meningkat ibadahnya dan selalu berbuat kebaikan sampai akhir hayatnya.
J: Masyaallah. Berarti Ustadz, bila tidak bertambah kebaikan dan bertambah iman-takwa jamaah yang pulang dari Tanah Suci apa bisa dikatakan mereka tidak mendapatkan keberkahan sehingga dikatakan tidak mabrur, tidak dibaikkan Allah?
U: Ulama Ibnul Qoyyim, menjelaskan apa arti berkah itu.
قَالَ ابْنُ الْقَيُّمِ – رَحِمَهُ اللهُ -: ” اَلْبَرَكَةُ حَقِيْقَتُهَا الثُّبُوْتُ وَاللُّزُوْمُ وَالْاِسْتِقْرَارُ
Berkata Ibnul Qayyim: berkah itu hakikatnya tetapnya (kebaikan) dan merupakan keharusan dan yang dilakukan terus menerus.
Manusia tidak bisa menilai ibadah seseorang: Allah menerima atau tidak, mabrur atau tidak, berkah atau tidaktidak? Itu semua adalah hak preogratif Allah. Hak mutlak Allah dalam menerima atau menolak amal ibadah seseorang. Oleh karena itu tetap berbaik sangka, husnudzan kepada Allah dan juga kepada makhluk-Nya. Wallahu’alam bissawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni