PWMU.CO – Pak Thohir, Hidupkan Pengajian dengan Sepeda Ontel. Mohammad Hasjim Thohir—atau orang-orang terdekatnya biasa memanggilnya Pak Thohir—lahir tanggal 10 Nopember 1923, di Desa Pangkatrejo, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan.
Semasa hidupnya dia mengabdikan diri di dunia pendidikan dan dakwah. Kepandaiannya di bidang Matematika dan Fisika—yang saat itu masih langkah—menjadikan Pak Thohir dibutuhkan oleh beberapa lembaga pendidikan, baik Muhammadiyah maupun NU.
Pak Thohir pernah menjadi guru di MTs Hidayatul Ummah Pringgonboyo, sekolah milik Yayasan Maarif NU. Selain itu dia mengajar di SMP Muhammadiyah 4 Pangkatrejo.
Menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Agama—kini Kementerian Agama—dia mendapat tugas mengajar d Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Kanunggerahan, Maduran. Dia kemudian dimutasi ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Pangkatrejo sebagai ‘guru diperbantukan’.
Pria berkaca mata itu juga pernah menjadi guru di SMP Wachid Hasjim, Parengan. Sebagai warga Muhammadiyah yang mengajar di lingkungan NU, Pak Thohir bisa menempatkan diri dengan baik dan bisa bergaul dengan guru-guru lainnya.
Dakwah Nafas Hidupnya
Menurut penuturan Diyana Mufidati—anak ketiga—ayahnya tiap bakda Maghrib mengisi kajian fikih di Masjid At-Taqwa, Pangkatrejo. Dia juga secara rutin—baik pekanan maupun bulanan—mengisi pengajian di Masjid Al-Jihad Pangkatrejo, Masjid Al-Arqom Parengan, Masjid Ar-Rodli Pangkatrejo, Masjid Al-Makrum Pringgoboyo.
“Semua dilakukan dengan memakai sepeda ontel. Sesekali dijemput oleh takmir,” ungkap Diyana.
Karena aktivitasnya yang padat itu, Pak Thohir hanya bisa berkumpul keluarga hanya setelah Isyak dan Shubuh. “Namun keterikatan batin ayah dengan keluarga sangat dekat dan membekas,” katanya.
Ayah yang Tak Pernah Diam
Pendidikan Pak Thohir dimulai dari MI Al-Abdaliyah, Pangkatrejo, Madrsah Tsanawiyah, SMA Katolik di Malang, dan D3 Fakultas Tarbiyah IAIN—kini UIN—Sunan Ampel Surabaya. Meski pernah mengenyam pendidikan di sekolah Katolik, tapi hal itu tak memengaruhi akidahnya. Bahkan akhirnya dia menjadi mubaligh.
Mohammad Hasjim Thohir menikah dengan Muslichah. Dari pernikahannya dia mendapat karunia tujuh anak. Yaitu Imam Suyuthi (Pegawai Kesos Kota Surabaya), Imam Syaukani (guru), Diyana Mufidati (guru dan aktivis Aisyiyah).
Selanjutnya: Imam al-Amin (bekerja di Graha Pena Jawa Pos), Imam Muttaqin (kontraktor), Nadhirotul Mawaddah (guru TK Aisyiyah Menganti, Gresik) dan Dahliyah Nur Fariha (tinggal di rumah Pangkatrejo).
Ketujuh anaknya tersebut semua aktivis danata anggota Muhammadiyah. Kepada anak-anaknya, Pak Thohir sangat perhatian dan bersikap hangat. Dia juga ayah yang disiplin. Oleh karena itu kepergiannya meninggalkan kenangan yang tidak terlupakan bagi anak-anaknya.
Diyana Mufidari menuturkan, ayahnya seorang yang disiplin dan tidak pernah marah kecuali dalam hal prinsip. “Ayah selalu bangun sebelum Subuh, untuk mengajak kami persiapan shalat berjamaah di masjid,” jelasnya kepada PWMU.CO, Senin (8/3/2021).
Bahkan, lanjut Diana, ayahnya sering memercikkan air di muka anak-anaknya bila tidak segera terjaga. “Sepulang dari masjid kami berkumpul di ruang tengah untuk menyiapkan perangkat belajar sekolah. Begitulah rutinitas yang kami lakukan. Semua atas pantauan dan bimbingan orangtua,” kenangnya.
Diana juga mengisahkan, setiap ada tamu, ayahnya selalu mengajak untuk shalat berjamaah dulu. Dia akan marah kepada anaknya, jika ada ada tamu tapi tdak diajak shalat.
Diyana paham betul bagaimana kebiasaan ayahnya sehari-hari. Mulai dari menyiapkan bahan pengajian, menata barang-barang yang berserakan, mengoreksi soal ujian, bersih-bersih rumah, dan mengerjakan apa saja yang dianggap kurang pantas.
“Ayah sangat rapi dan mencintai kebersihan. Saat usia sudah senja juga tidak mau diam. Ada-ada saja yang dikerjakan. Bahkan waktu libur juga tetap beraktivitas,” ungkapnya.
Teladan Hidup
Banyak yang dikenang oleh anak-anak Pak Thohir. Salah satunya adalah keteladannya dalam berjuang. Menurut Diyana, Pak Thohir termasuk perintis Hizbul Wathan, yang saat itu belum terikat secara organisatoris sebagai organisasi otonom Muhammadiyah
Pak Thohir juga dikenal akan kejujurannya. Diyana mengungkapkan, setiap ada pembangunan gedung amal usaha Muhammadiyah (AUM)—termasuk SMP Muhammadiyah IV Pangkatrejo—ayahnya selalu terlibat di dalamnya meski tak ada dalam struktur panitia.
“Ayah selalu memegang keuangan, karena dianggap jujur dan mumpuni,” ungkapnya.
Kebiasaan lain Pak Thohir yang diingat Diyana asalah suka menulis agenda pribadi. Apapun peristiwa ditulisnya. “Ayah juga suka di teras rumah, melihat orag lewat, sambil lisannya berdzikir,” kenangnya.
Yang juga tak pernah dilupakan Diyana adalah kemauan keras sang ayah. “Kalau meniatkan sesuatu akan diperjuangkan,” ujarnya. Diyana memberi contoh bagaimana perjuangan ayahnya ketika sakit untuk berhenti merokok karena dokter memintanya. “Akhirnya sukses berhenti merokok,” ujarnya.
Pak Thohir juga suka memuji secara langsung di depan anak-anaknya. “Pernah suatu hari ayah berkata, ‘Ibumu hanya lulusan madrasah ibtidaiyah, tapi bisa meluluskan anak-anaknya menjadi sarjana.’,” kenangnya.
Tiga Petuah yang Membekas
Imam Syaukani, putra kedua, masih sangat ingat beberapa petuah wejangan ayahnya saat masih hidup, di antaranya, pertama, tidak boleh makan malam sebelum baca al-Quran. Kedua, saat di rumah, jika makan harus bersama sama. Ketiga, hidup harus bersahaja. Tidak boleh boros, membeli sesuai kebutuhan,
Imam tak hanya mendapatkan tiga petuah itu. Dia mengaku banyak memperoleh kata-kata bijak dari ayahnya. “Karena ayah adalah mubaligh kampung, saya selalu ngintil di belakang ayah saat ceramah di desa-desa. Saat itulah, banyak mutiara-mutiara hidup yang aku peroleh langsung dari lisan ayahku,” kenang Ketua Korps Muballigh Muhammadiyah Kota Surabaya ini.ingat
Mohammad Hasjim Thohir, berpulang kepada Allah pada tanggal 8 Juli 2012. Meninggalkan banyak kenangan dan keteladan.
Penulis Mohamad Su’ud. Editor Mohammad Nurfatoni