PWMU.CO– Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) menurut kesaksian Jenderal M Jusuf diketik oleh Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer rangkap tiga dengan kertas karbon.
Surat pertama yang asli diserahkan dan ditandatangani Presiden Sukarno. Kemudian dibawa Brigjen Basuki Rachmat untuk diserahkan kepada Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. Setelah penyerahan itu keberadaan Supersemar yang asli dengan tanda tangan Bung Karno tak diketahui keberadaannya.
Menurut M Jusuf, kopi surat kedua disimpan oleh Brigjen Saboer. Sedangkan kopi surat ketiga diambil olehnya. Dua kopi surat ini tanpa tanda tangan Bung Karno.
M Jusuf ketika ditanya soal Supersemar ini tak pernah mau menyinggung atau menjawab dengan jelas. Rahasia itu terus dibawa hingga kematiannya.
”Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi padaku,” begitu penjelasannya dalam buku biografin Panglima Para Prajurit tulisan Atmadji Sumarkidjo.
Saksi lain Amirmachmud dalam berita Kompas mengatakan, surat perintah itu terdiri atas dua lembar. ”Yang saya masih ingat, Supersemar itu dua lembar. Lembar keduanya ditandatangani Bung Karno,” kata Amirmachmud.
Ia mengatakan, hilangnya naskah asli Supersemar tidak perlu diributkan karena sudah ada TAP MPRS tahun 1966.
Kesaksian Moerdiono
Bekas Menteri Sekretaris Negara Moerdiono mengatakan saat itu ditugasi menggandakan Supersemar. Saat itu dia berpangkat letnan satu. Ia yakin, naskah aslinya memang ada.
”Waktu itu, pangkat saya letnan satu atau letnan dua. Saya berkantor di Gabungan Lima Komando Operasi Tinggi di Merdeka Barat 14. Saya yakin betul dan seyakin-yakinnya dokumen itu dibawa ke kantor saya, kemudian digandakan di salah satu ruangan di belakang,” cerita dia seperti dimuat Kompas, 14 Oktober 1994.
”Saya ingat betul karena malam itu saya mendapatkan copy. Mungkin ada yang menanyakan apakah sudah ada fotocopy waktu itu. Istilahnya lupa, bukan fotocopy, tetapi pasti ada. Diam-diam saya sudah menemukan siapa yang membuat dan mengerjakan penggandaan semacam fotocopy itu,” ujar Moerdiono.
Ketika rapat dengar pendapat dengan DPR, 16 September 1993, membahas juga soal naskah asli Supersemar. Moerdiono menjelaskan, surat itu dibawa langsung oleh tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amirmachmud, dan M Yusuf dari Bogor ke Kostrad.
Di Kostrad, naskah itu diserahkan kepada Letjen Soeharto. ”Untuk diperbanyak di pojok kantor saya,” cerita Moerdiono dalam berita Kompas, 18 September 1993.
Ia mengaku tidak diizinkan memegang naskah aslinya. ”Saya hanya mendapat satu naskah fotocopy yang masing hangat,” ujarnya. ”Surat perintah itu ada. Namun, kenapa belum ditemukan, ya karena kesingsal, keselisut, atau ketriwalan (terselip),” kata Moerdiono.
Penjelasan Probosutedjo
Adik Soeharto, Probosutedjo punya penjelasan juga tentang beberapa versi Supersemar. Dalam buku Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto disinggung juga peristiwa pada 11 Maret 1966 itu.
Probo menceritakan Supersemar bersumber dari penuturan kakaknya. Pada hari itu Soeharto sedang sakit flu berat. Siang harinya di rumah dinas Soeharto Jl. Agus Salim Jakarta, tiga jenderal datang habis rapat dari Istana Merdeka. Mereka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Amirmachmud.
Berempat mereka membicarakan situasi negara yang semakin kacau. Ada demonstrasi mahasiswa. Situasi ini membawa kesalahpahaman antara Angkatan Darat dengan Presiden Sukarno.
Soeharto mengatakan, dia bersedia mengatasi keadaan ini jika ada surat perintah resmi dari Bung Karno. Maka ketiga jenderal itu berangkat ke Istana Bogor menghadap Bung Karno. Dari situ keluarlah Supersemar.
Malam-malam tiga jenderal itu datang lagi ke rumah Soeharto menyerahkan Supersemar dari Bung Karno. Setelah membaca isinya, dini hari itu juga Soeharto meminta stafnya membuat Surat Keputusan Presiden pembubaran PKI.
Esok pagi 12 Maret 1966, Soeharto merekam suaranya membacakan surat keputusan presiden pembubaran PKI untuk disiarkan RRI.
Di saat bersamaan, kata Probo, di Sekretariat Negara dilakukan penggandaan Supersemar dengan cara mengetik lagi berdasarkan naskah asli dan diperbanyak dengan mesin stensil. ”Tak ada yang memperhatikan naskah asli,” kata Probo.
Semua fokus pada penyebaran isinya yang harus diketahui di segenap negeri. Soeharto tak mengira belakangan keberadaan naskah asli Supersemar dipertanyakan.
Probo menepis tuduhan Soeharto merekayasa isi Supersemar. Dia menyebut, saat Supersemar dibacakan, posisi Presiden Sukarno masih kuat. ”Tidak mungkin Mas Harto gegabah menafsirkan Supersemar karena risikonya, dia bisa dikecam Bung Karno dan dipenjarakan,” tuturnya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto