![Padepokan Hizbul Wathan](https://i0.wp.com/pwmu.co/wp-content/uploads/2021/03/Nurbani-Yusuf-skets.jpg?resize=500%2C528&ssl=1)
Padepokan Hizbul Wathan oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– 25 tahun lalu ketika Kiai Abdullah Hasyim ngendikan hendak mendirikan padepokan, saya belum ngeh. Sekarang saya baru mengerti agar setiap kader tidak berhenti mengabdi di Muhammadiyah. Agar setiap pimpinan kembali mendhito memberi kesempatan pada kader muda terbaik, dengan tidak menanggalkan gelar kulturalnya sebagai ulama, seiring habis masa berlakunya SK.
Bukan universitas, rumah sakit, sekolah boarding, panti asuhan, atau hotel berbintang tapi padepokan. Sesuatu yang masih langka di persyarikatan.
Padepokan Hizbul Wathan di Dau Malang adalah ikhtiar Kiai Abdullah Hasyim agar tetap bisa berkhidmah di persyarikatan. Usai menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten/Kota Malang dan Pembantu Rektor IV UMM.
Kiai Abdullah Hasyim memberi tanda simbolik. Bahwa mengurus Muhammadiyah tidak ada masa pensiun. Tidak harus menjadi pengurus, tidak harus menjadi karyawan di amal usaha atau batas umur. Itulah kemudian yang menjadi kultur spesial di Padepokan Hizbul Wathan hingga sekarang.
Tempat Jagongan
Padepokan Hizbul Wathan seakan menjadi etalase memecah kebuntuan di tengah formalitas beku, birokrasi kaku, dan struktur yang rigid. Jujur diakui, suasana ini demikian dominan di persyarikatan.
Banyak kader dan aktivis yang rindu suasana nonformal. Sekadar njagong, ngopi dan ngudut. Padepokan Hizbul Wathan ini menjadi jujugan banyak orang, termasuk saya, ketika penat dan lelah. Di tempat ini semua bisa ngomong apapun, tentang apapun, tanpa sekat dan status sosial. Semua sama: kader.
Disebabkan karena sebagain besar pimpinan dan pengurus adalah pegawai kantoran, maka njagong menjadi sangat langka. Ditambah fatwa haram rokok melahirkan suasana semakin formal. Di Padepokan Hizbul Wathan ini, kekusutan itu bisa diurai dengan ketawa dan senyum jenaka.
Bersyukur kemudian kerinduan terhadap suasana kultural direspon positif oleh banyak kader. Setidaknya ada Rumah Baca Cerdas (RBC) Malik Fadjar, dan Gazebo Literasi di Malang, Jambu Institut di Jombang dan Komunitas Padhang Makhsyar di Batu.
Ikhtiar menghidupkan kembali suasana silaturrahim, sekadar ngaji, ngopi dan ngudut dalam satu kemasan yang tidak dipisah. (*)
Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post