KH Mas Mansur dan Pesan Nyai Walidah oleh Adistiar Prayoga, alumnus Program Pascasarjana Manajemen Bisnis IPB.
PWMU.CO– KH Mas Mansur seorang organisatoris. Namun bukan tipe orator dengan pidato yang membakar membara. Dia mewakili sosok santri sekaligus intelektual yang terdikotomi pada masanya.
Kata-katanya tenang penuh hikmah tapi padat berisi. ”Tidak terasa meraba-raba kertas dan pena, pasti banyak mutiara penting yang perlu dicatat dari dari lisannya,” tutur Buya Hamka menjelaskan sosok KH Mas Mansur ketika menutup Konferensi Muhammadiyah di Binjai Sumatera Timur tahun 1940 (Aqsha, Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran).
Teladan kesahajaannya tergambar setelah Mas Mansur melewati riuh rendah organisasi antara golongan muda dan tua pada Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta, 6-15 Oktober 1937.
Hasil kongres mengamanatkan kepada Mas Mansur sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah di usia 41 tahun walapun awalnya menolak. (Hadikusumo 1980, Matahari-Matahari Muhammadiyah).
Sesaat setelah kongres dia bergegas ke kampung Kauman, Notoprajan, Yogyakarta, mengunjungi Nyai Walidah, istri KH Ahmad Dahlan. Dialog dua orang ini ditulis Subagijo (1982) dalam bukunya KH Mas Mansur: Pembaharu Islam di Indonesia.
”Ibu, sekarang saya terpilih, lagi memikul beban yang sangat berat ini buat menjalankan bahtera peninggalan almarhum,” tutur Mas Mansur.
”Bagus, saya ucapkan selamat untukmu wahai anakku,” jawab Nyai Walidah.
”Saya harap ibu catat, doakan kepada Allah moga-moga saya dianugerahi Allah empat perkara. Yaitu dianugrahi kesabaran, dianugerahi kemajuan, dianugerahi ketakwaan, dan dianugerahi tawakal.” lanjut Mas Mansur dengan penuh hormat.
Ibarat Sapu Kawat
Mas Mansur memimpin Muhammadiyah dua periode. Kiai Dahlan telah mengenalnya sejak muda ketika baru lulus dari Al-Azhar Mesir langsung bertamu ke Kauman sebelum pulang ke Surabaya.
Beberapa tahun kemudian Kiai Dahlan berujar pada santri-santrinya. ”Nah, kini telah kita pegang sapu kawat Jawa Timur.” (Hadikusumo 1980). Kiai Dahlan optimistis sapu kawat ini bisa membuka perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur.
Pergaulan cukup luas di kalangan kiai dan tokoh nasionalis. Membentuk Taswirul Afkar bersama KH Wahab Chasbullah. Juga menjadi empat serangkai membangun Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) bersama Ir, Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara. Dia akrab dengan dr Soetomo dalam Studi Club Surabaya.
Ada tiga kemajuan dakwah Muhammadiyah selama masa kepemimpinannya. Pertama, bidang pendidikan, membangun MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) untuk bumiputera. (Mulkhan 1990, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial). Sekolah yang populer disebut Inheemse MULO Moehammadijah ini tercatat sebagai SMP pribumi pertama di tanah air. Kurikulumnya mengintegrasikan ala Belanda dan pesantren. Bahasa pengantar memakai Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia.
Menurut Peacock (1978) dalam Purifying, the Faith: the Muhammadiyah Movement in Indonesian, saat kepemimpinan KH Mas Mansur pada tahun 1939 terdapat 1.744 sekolah Muhammadiyah.
Ada Sekolah Rendah, Hollandsch Inlandsche School (HIS), Sekolah Menengah Pertama/MULO, Sekolah Menegah Atas/Algemene Middelbare School (AMS), dan Sekolah Pendidikan Guru/Hogere Indlandsche Kweekschool (HIK).
Selain itu, Mas Mansur juga merintis berdirinya Pesantren Muhammadiyah (Madrasah Mu’alimin) untuk putra dan putri (Muallimat) pada tahun 1938. Pada tahun yang sama, menyusun program beasiswa untuk anak yatim serta fakir miskin (Mulkhan 1990).
PKO
Kedua, bidang kesehatan, mengokohkan peran jaringan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) sebagai implementasi program tafsir surat al-Maun yang disampaikan oleh HM Sudjak pada 17 Juni 1920.
Peran PKO (dibaca PKU) pada masa itu dikuatkan integrasinya antara kegiatan sebagai balai pengobatan dengan pelayanan sosial lainnya seperti rumah obat, rumah yatim atau panti asuhan (weeshuis), dan rumah miskin (armhuis). Yang terakhir ini berperan sebagai balai sosial dan pelatihan keterampilan untuk para tunawisma di sekitar Kraton Yogyakarta.
Berdasarkan catatan PKO,pada akhir tahun 1938 terdapat 33 orang tinggal di rumah miskin dan 1.023 orang pasien dirawat di poliklinik. Tahun 1938 digagas program pelatihan tambahan untuk penghuni rumah miskin.
Verslag Tahoenan Moehammadijah Penolong Kesengsaraan Omoem Tahoen 1938 menyebutkan, pada 1938 PKO Muhammadiyah merencanakan program pelatihan tambahan supaya para tunawisma mendapatkan basic skill yang mampu menjadi bekal hidup ketika mereka keluar dari rumah miskin.
Ekonomi
Ketiga, bidang ekonomi. KH Mas Mansur meletakkan gagasan Bank Muhammadiyah yang memiliki prinsip anti-riba (Mulkhan1990). Bunga bank yang diterapkan oleh pemerintah kolonial adalah riba. Solusinya, Mas Mansur mengajak pengelolaan simpanan umat dengan membentuk kapitaal vorming.
Dari situ, diharapkan akan muncul Bank Muhammadiyah dengan prinsip-prinsip kerja diantaranya (Ramadhani 2019; Dinamika Politik Muhammadiyah pada Masa Kepemimpinan KH. Mas Mansur, 1937-1942): (1) Menerima simpan berupa uang dengan memberikan laba. (2) Menerima simpan berupa barang dengan bea administrasi. (3) Menerima jasa pengiriman uang dan barang. (4) Menerima pinjam uang tanpa riba. (5) Mendirikan sebuah usaha, seperti pertanian dan perkebunan.
Meskipun gagasan tersebut belum sempat terwujud pada masa kepemimpinannya (1937-1942), namun pemikiran-pemikiran KH Mas Mansur telah melampaui zamannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto