PWMU.CO– Diaspora Muhammadiyah wujudkan Islam kosmopolit. Itu yang diinginkan Haedar Nashir kepada kader-kader persyarikatan yang sekarang kuliah dan bekerja di luar negeri.
Harapan itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat memberi materi Baitul Arqom PCIM se-Eropa membahas Islam, Barat, dan diaspora kader persyarikatan, Sabtu (20/3/2021).
Menurut dia, pemikiran Islam yang berkemajuan memiliki kontekstualisasi yang tepat di tengah kelahiran reorientasi Islam dan Barat. Kedua entitas tersebut kini semakin didialogkan, bukan dipertentangkan. Entitas Islam di Barat merupakan sebuah hal yang sedang berkembang.
”Untuk mendialogkan Islam dan Barat, kader-kader Muhammadiyah yang berdiaspora di Eropa menjadi ujung tombak,” kata Haedar yang guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Anggota PCIM, sambung dia, apalagi pengurus perlu memahami ini agar bisa mendialogkan. Tidak mungkin kita bisa memberi sesuatu, jika tidak memiliki sesuatu. Tidak mungkin kita mendialogkan Islam, tanpa memahaminya dengan baik. Dalam konteks ini, Muhammadiyah di Eropa bisa memberikan narasi-narasi yang mencerahkan.
”Ketika orang dihadapkan kebuntuan dialog di tengah Islamfobia, termasuk yang menjebak kaum muslim sendiri seperti mudah curiga, reaktif, yang terkadang tanpa ilmu, kader Muhammadiyah bisa berperan,” sambung Haedar.
Missing Link
Islamfobia yang masih ada di Barat, sementara ada fobia yang lain di dalam muslim juga menjadi tantangan. Islam berkemajuan menerobos batas-atas tersebut. ”Kita perlu meniru cara KH Ahmad Dahlan dalam mengkontektualisasi Islam dan zaman,” tandasnya.
Muhammadiyah perlu mengunci ideologinya tetapi praktiknya luas. ”Orang Muhammadiyah harus seperti Muhammadiyah. Jangan seperti Ormas yang berpolitik. Atau partai politik. Itu sebabnya harus memahami kepribadian Muhammadiyah yang sudah ada sejak tahun 1962,” tuturnya.
Untuk memahami bayani, burhani dan irfani sebagai kepribadian Muhammadiyah, ujar dia, jangan sampai orang Muhammadiyah hanya hafal pendapat Muhammad Abduh, Al-Afghani, Ibn Taimiyah, Hamka, Natsir atau yang lain tetapi kurang atau tidak memahami pemikiran KH Ahmad Dahlan. Ini banyak yang missing link.
”Al-Quran menempati posisi tertinggi bagi Muhammadiyah,” jelas Haedar. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan ulama yang menerapkan metode bayani memang menempatkan teks dalam posisi utama dan tinggi, namun oleh mereka diikuti dengan olah pemikiran yang mendalam sehingga lahirlah ilmu-ilmu baru.
Sementara itu, irfani menempatkan pengalaman spiritual keagamaan. Dimensi ini terletak pada aspek batiniah, dan akal dipakai untuk menjelaskan pengalaman spiritual tersebut. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari irfani adalah kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional.
Metode burhani menempatkan akal dalam posisi yang tinggi dan menekankan analisis rasional. Dalam burhani, wahyu dan intuisi tidak mendapatkan tempat.
”Wujud konkrit Islam berkemajuan adalah kita ingin menghadirkan kosmopolit yang memiliki pranata yang mendukung. Kader-kader yang tidak mau pulang dari Eropa, tidak apa-apa. Tapi harus berteman dengan Barat. Islam dan Muhammadiyahnya harus kuat. Diaspora Muhammadiyah tetap penting. Mereka harus bergaul dengan siapapun, inklusif, tanpa diskriminasi, tanpa diri merasa bersih, benar, pandai dan paling segala-galanya,” lanjut Haedar.
Penulis Arya Wirayuda Editor Sugeng Purwanto