PWMU.CO– Medsos itu seperti pakai kaos kaki all size. Semuanya dipakai. Lebih buruk lagi asal pakai tanpa memahami apa tujuan bermedia sosial. Akibatnya tersebarlah ujaran kebencian dan hoaks.
Hal itu disampaikan praktisi komunikasi yang juga CEO Mediatrustpr Luthfi Subagio dalam diskusi Bermedsos secara Smart dan Bijak yang digelar Majelis Pustaka, Informasi dan Humas Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Sabtu (20/3/2021) malam.
Diskusi turut dihadiri Ketua PCIM Malaysia, Assoc Prof Sonny Zulhuda, pimpinan PCIM Malaysia, dosen komunikasi dari UPN Surabaya, Universitas Lampung dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung serta sejumlah peserta masyarakat umum.
Lutfi mengatakan, saat ini terjadi anomali media sehingga membuat persoalan menjadi rumit karena orang tidak paham membedakan kebenaran sebuah informasi.
”Kalau kita lihat medsos ada Whatsapp, ada Facebook, ada Twitter, ada Linkedin dan lain-lain. Biasanya medsos saya namakan kaos kaki karena orang memakai semuanya. Kita nggak ngerti kembali ke khittah medsos itu seperti apa. Kenapa? Asal pakai,” kata Lutfi Subagio.
Luthfi menyampaikan, orang memandang medsos kalau dilihat dari samping bagus, dipandang dari atas bagus namun dipandang dari depan jelek.
”Ini menimbulkan suatu persepsi yang beragam, yang kemudian di situ medsos tidak bisa berdiri sendiri. Kalau media berdiri sendiri sebagai satu kesatuan dari beragam orang, maka medsos ini kumpulan orang yang belum tentu benar,” katanya.
”Kita sekarang di era anomali media. Anomali media membuat persoalan jadi sulit. Kenapa? Sekarang ini tidak paham mana media dengan sumber yang benar dan mana yang tidak,” tuturnya
Degradasi Media
Mantan Pemimpin Redaksi Radar Surabaya ini menjelaskan, saat ini media online dan media cetak mengambil sumber berita dari media sosial. Terkadang netizen dijadikan sumber berita.
”Ini degradasi media yang sangat besar. Karena posisi sumber berita tidak pada tempat yang seharusnya. Diganti oleh posisi chit chat yang kira-kira tidak bermutu sehingga wajar kalau media itu turun grade-nya (kelas),” tandas dia.
Ketika media turun kelas, ujar mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jatim ini, maka yang terancam adalah kepercayaan terhadap media.
Pada kesempatan tersebut Luthfi memaparkan data terbaru dari sebuah lembaga yang memaparkan bahwa saat ini populasi penduduk 274,9 juta jiwa. Pengguna mobile phone 345 juta (125,6 persen), pengguna internet 202,6 (73,7 persen), pengguna medos paling besar usia 25 hingga 34 tahun, yang laki-laki 19,3 persen dan perempuan 14,8 persen.
Setelah pandemik berjalan, ujar dia, pengguna internet naik 15,5 persen (27 juta), penggunaan medsos naik 6,3 persen (10 juta) dan waktu rata-rata bermedsos 3 jam 15 menit sedangkan waktu membaca print maupun online satu jam 38 menit.
”Rata-rata pengguna internet usia 16 hingga 64 tahun yakni 8 jam 52 menit. Lebih semarak membaca medsos daripada membaca buku,” katanya.
Media sosial apa yang paling cocok digunakan termasuk oleh Warung Soto Lamongan PCIM Malaysia tergantung yang paling banyak digunakan di negara tersebut.
Dia mengungkapkan data medsos yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah You Tube 93,8%, WA 87,7%, IG 86,6%, FB 85,5%, Twitter 63,6%, FB Mesenger 52,4 %, Line 44,3%, Linkedin 39,4%, TikTok 38,7% dan Telegram 28,5%.
Malas Baca
Dia mengeaskan lagi, bermedia sosial bukanlah seperti memakai kaos kaki yang all size atau semua jenis aplikasi dapat dipakai untuk suatu materi.
”Kita tahu rendahnya literasi menjadi mesin pembunuh nomor satu, menjadi penangkap yang sebenarnya bukan polisi, semestinya dirinya sendiri, karena itu kemudian banyak sekali teman-teman yang malas membaca, malas mendengar, malas berpikir,” tegasnya.
Teman-teman, sambung dia, juga tidak percaya kepada siapa pun sehingga mendorong membuat konten yang kira-kira dipercaya sama dia dan belum tentu betul. Ketidakpercayaan yang tinggi sehingga orang mencari sumber lain.
Pada saat tersebut Luthfi meminta peserta membaca media tidak hanya dari satu sumber berita namun beberapa media untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya karena kepemilikan masing-masing media berbeda. Dia mengusulkan perlunya dibentuk lembaga pemantau sosial media atau Social Media Watch. (*)
Penulis Agus Setiawan Editor Sugeng Purwanto