Sekolah dan Gender oleh Daniel Mohammad Rosyid, dosen ITS, pakar pendidikan. Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Persekolahan formal tidak saja mengerdilkan pendidikan karena mempersempit kesempatan belajar. Sekadar menyiapkan buruh yang cukup terampil menjalankan pabrik sekaligus cukup dungu bekerja bagi kepentingan pemilik modal. Tapi juga telah berhasil menggoyahkan identitas gender.
Oleh Sir Ken Robinson dikatakan bahwa persekolahan paling bertanggung jawab atas mismanajemen sumberdaya manusia selama ini.
Kurikulum seragam ditentukan terpusat top down, outside-in, tidak saja netral gender sehingga menghambat perkembangan sehat jati diri murid, pembelajaran di kelas telah menghambat perkembangan sehat murid laki-laki.
Fitrah laki-laki adalah menjelajah di luar ruang. Beda dengan perempuan yang senang di dalam ruang. Akibatnya pembelajaran di kelas membosankan bagi banyak murid laki-laki. Kebosanan ini yang mengganggu kinerja belajar murid laki-laki.
Rasa bosan adalah hasil belajar yang tidak pernah direncanakan oleh kurikulum. Inilah sebab mengapa rata-rata prestasi murid laki-laki hampir selalu di bawah murid perempuan selama paling tidak 20 tahun terakhir.
Bukti paling mutakhir betapa persekolahan menurunkan kinerja belajar murid pria adalah hasil SNMPTN 2021 yang prestasi puncaknya didominasi oleh murid perempuan. Di Universitas Airlangga, empat calon mahasiswa termuda (15 tahun) dari Madiun, Jakarta, Ponorogo, dan Sidoarjo semuanya perempuan.
Persekolahan juga menurunkan maskulinitas murid laki-laki. Sebelumnya, Serda Apriliani Manganang mengubah nama menjadi Apriliano setelah resmi (kembali) menjadi pria.
LGBT
Perubahan perilaku seksual yang makin marak akhir-akhir ini, seperti LGBT, sebagian disebabkan oleh dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan kita selama 40 tahun terakhir ini.
Ini sebuah kerugian SDM yang tak ternilai saat warga muda laki-laki dan perempuan disekolahkan dengan model monopoli radikal persekolahan yang keliru ini.
Pengurangan peran sekolah akibat internet dan pandemi, sebenarnya membuka peluang bagi pengurangan monopoli persekolahan dalam sistem pendidikan nasional. Bagi warga muda laki-laki, kesempatan belajar dari rumah harus diarahkan untuk pembelajaran 3D di luar ruang. Sesuai dengan fitrahnya, tidak menghabiskan waktu di depan monitor 2D.
Saatnya tiba meninggalkan paradigma sekolah ke paradigma belajar atau berguru. Era otodidak dan sekolah rumah telah tiba. Ini lebih tepat dalam ketersediaan internet yang makin luas dan anggaran yang makin terbatas. Ini makna sebenarnya dari Merdeka Belajar. Warga muda, terutama laki-laki, tetap memerlukan pengalaman 3D di luar ruang/kelas. Warga pria dan perempuan memerlukan pembelajaran yang sesuai dengan fitrahnya masing-masing. (*)
Rosyid College of Arts Gunung Anyar Surabaya, 24/03/2021.
Editor Sugeng Purwanto